Wednesday, February 02, 2005

Globalisasi = Setan Alas

Inspirasi modernitas?

Saya berpikir dengan brand dan keaslian suatu produk, maka saya senang(sekedarnya).

Dunia mengecil. Yang demikian menandakan globalisasi. Itulah arti menjadi modern: mau berubah, maju, mengatasi alam, jarak, waktu, dan mengabdi pada ilmu dan teknologi.Ekspresivitas batin yang telah bercampur dengan fasilitator teknologi. Era yang kognitif.Semoga masih benar definisinya saat ini.

Apakah menunjang secara keseluruhan ?

Pola industri yang menekan dan menghasilkan produk dan kemajuan negara maju ternyata secara kapital, hal ini di hasilkan mengacu pada sistemik faktor ekonomi terhadap negara negara berkembang ?

"Saya membayangkan, betapa lelah dan tertekannya buruh buruh berusia muda dengan upah minimum di bawah rata rata (mungkin terampas masa depannya)yang sedang mengerjakan produk bergengsi olahraga yang terletak di pabrik pabrik di daerah penunjang kota besar yang kemudian di pakai untuk mengisi butik butik eksklusif, di kota kota besar di Indonesia, kemudian menjadi suatu komoditas tentang gaya hidup di berbagai media yang menekankan imaji untuk kemudian coba di sebarluaskan ke khalayak seusia sang buruh ...."



Agus Suwage, Pressure and Pleasure, 1999 Military tent, cinema advertisement banners, paint, spot lights

hal mana yang mengakibatkan pandangan positivistik terhadap pembajakan merek dan aksi perjuangan hak yang berputar putar laksana lingkaran setan.

Penuh dilema. Globalisasi mengantar kita sekaligus ke dua arah yang saling berlainan. Persahabatan dengan modal, teknologi komunikasi, mesin-mesin produksi massal membawa kita ke tingkat baru keterjaminan hidup. Namun bukan berarti tidak ada yang dikorbankan dalam meniti ke tingkatan tersebut. Banyak sudah yang harus dibayar sebagai biaya pada pengorbanan tak berdosa alam dan pekerja-pekerja otot yang tetap saja tertindas. Yang ini adalah jalan lain lagi menuju kehancuran alam sekaligus eksistensi manusia sebagai pembentuk dan perencana masa depan dunia.


- Agus Suwage, Self Portrait -

Inilah penyimpangan, semenjak revolusi industri terjadi sekalipun di Eropa awal abad 18, teknologi massal di terapkan dan swasta di beri kebebasan sebebas bebasnya terhadap pengelolaan hasil alam, invasi akan sumber daya alam telah menjelajah jauh semenjak pembenaran lewat kolonialisme, kebersamaan pengelolaan masyarakat dunia, kesadaran kapitalistik mencengkram negara negara dunia ketiga pun, hanya bisa menerima dan inilah apa yang disebut naluri instingtif manusia, rasio yang terabaikan dengan menganggap hal di luar manusia sebagai komoditas dan alat belaka.

Penghancuran dan peleburan humanistik .

Saya terkesima dengan sebuah hasil laporan lokakarya tentang dialog antara pemerhati masalah budaya di beberapa negara yang kebetulan non sentral atau blok blok mainstream ("Fixing the Bridge", Cemeti Art Foundation, Yogyakarta 2004). Globalisme ditenggarai menjadi biang kerok yang makin memperkeruh tekanan politis sosial budaya negara negara maju terhadap laju gerak pertumbuhan negara dunia ketiga dan ke empat. Hal mana yang di analisa lewat perkembangan dialog budaya, dalam konteks seni rupa, wahana sosial dan medan kritis terhadap kanon budaya pusat di negara Eropa dan Amerika.

Saya berpikir dengan segala elemen yang menafasi gerak gerik kehidupan selain air dan udara di bumi ini. Yakni Reebok, Nike, Siemens, Prada (palsu), Samsung,Merek merek abal abal di pinggir jalan, dvd bajakan, pecel lele dan jika minum coca cola dan teh manis anget sama kompleksnya makan di Hanamasa dan warung capcay Mas Slamet dan di tambahi pula oleh printer epson dan geliat transportasi dan komunikasi lewat jaringan internet. Kesamaan secara belaka di berbagai kota besar di seluruh dunia. Potret kaum muda di dunia lewat nafas globalisasi.

Film-film yang kita tonton di bioskop adalah hasil penguasaan sekitar enam – tujuh perusahaan film di dunia saja. Mereka amat sangat menentukan apa yang kita tonton. Dalam banyak hal juga menentukan pembentukan selera kultural kita. Itu bukan terjadi di film saja, tetapi dalam musik juga. Selera kultural secara keseluruhan amat sangat ditentukan oleh kinerja globalisasi dewasa ini. Jadi bukan hanya film atau musik, tetapi juga bungkus kultural secara keseluruhan.

Globalisasi mengesampingkan kesejahteraan bersama dan itu pasti.

Setuju atau tidak , kesempatan untuk mengakomodir hal ini terjadi lewat penilaian relevansi dan ketidak relevansinya pada manusia. Saya melihat tidak ada yang perlu di takutkan, toh ini adalah salah satu cara mencermati pemikiran lain tentang apa yang terjadi di belahan dunia saat ini. Menentang globalisasi adalah belaka konyol semata sebagai kemajuan yang tak dapat di lawan, dan menikmatinya adalah terseret pada arus enigmatik yang menekan batiniah menjadi konsumtif belaka.

(ampun deh)

3 comments:

wahyudi pratama said...

Ada yang kebanyakan mikir kayak gini ada yang cuek dengan memakai elemen berlawanan ..brand dan memperjuangkan apa yang ada di balik lintang pukang nya perjalanan sang pengusung brand itu ...

walo saya suka sebal kadang sama LSM yang jejeritan tereak tereak tanpa ngasih solusi dan cara yang baik untuk memperjuangkan itu ..emang semuanya di pake dengan metode perlawanan kolektif ...saya pribadi senang sama hal2 kayak gitu ..sebagai counter nya

iya sih mas kere, emang saya suka ngelihat hal hal seperti itu jadi ambigu ..jadi gak tersentuh dengan konteks berpikir seperti ini, saya gak bisa ngasih solusi cuma inilah realitas...sama seperti sosok Butet yang ngajarin anak suku rimba yang akhirnya menyerah ama keadaan dengan mengajar baca tulis kepada mereka supaya tidak dapat di tipu leat surat surat eksploitasi hutan sama orang kota ..itu aja .... bagaimanapun kita gak akan bisa ngerubah dunia, ngelawan kapitalistik ...wahh saya jadi sedih gini ...

gombal itu enak ...merayakan nihilitas batasan pahit dan senang ..wahhh lagi lagi sayaa jadi mumet apa saya mending nulis nulis aja trus atau mengkritisi wacana kesekarangannya aja ? atau kita disko aja ampe lecet ??

/ n i k k / said...

tak mungkin dihinggapi rasa bersalah jika sehari-hari kita melakukan hal2 globalistik semisal memakai internet atau sekedar jalan2 ke mall yang absurd. ingat kan Yud, ketika dulu mampir ke Plasa Fuckin Senayan? saya pribadi merasa berada di tengah rimba (bukan Suryorimba Suroto mas-mu itu Yud) yang pepohonannya berupa banner2 kapitalistik-seduktif-persuatif, bahkan tak jarang pulak erotik, dengan binatang2 di dalamnya yang memakai selubung mewah full-fuckin branded, kicauan burungnya berupa gemerlap asesoris menyilaukan! TERSESAT! itulah yang saya pikirkan kala itu, dan akhirnya kita keluar rimba itu melangkah mencari sepiring nasi padang yang oalaahh... teramat jauhnya bagui sepasang kaki ini!

Itu segelintir instansi globalisasi yang saya tentang saat ini, suka atau tidak! Habisnya akan bakal tambah emosi jika harus mencak-mencak menghujatnya sebagai faktor utama dehumanisasi!

Mending saya tetap berselera lesehan atau sekedar makan di warteg deket kost saya yang sudah tidak ada lagi pelayan imutnya (hehehe...) Ah! Barangkali memang hidup dalam pusaran ini begitu memikat, walau beberapa diantara kita masih punya kesadaran sangat tinggi terhadap kritik budayanya.

Masih mau melawan???
kalo saya MASIH!

http://dreddzeist.blogspot.com/2005/01/whats-wrong-with-neoclassical.html

kliknklik said...

Globalisasi memiliki kekurangan dan kelebihan , tergantung dari sisimana kita melihatnya. btw very inspirational blog