Monday, August 22, 2005

ke-LAPAR-an

Image hosted by Photobucket.comSyahdan, di tahun 85 atau 86, Bob Geldof, sang penggagas Konser Live Aid yang pertama, pernah memaki-maki dan berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia (saya lupa tempatnya dimana), karena maraknya pembajakan kaset rekaman konser tersebut di Indonesia yang terbilang luar biasa. Sedianya uang hasil penjualan itu untuk disumbangkan untuk mengatasi kelaparan di Etiophia. Yang ini malah semakin tidak jelas, uang hasil penjualan tersebut menguap kemana. Untuk 20 tahun kemudian pembajakan menjadi dilematis dan kelaparan (busung lapar,kemiskinan) muncul di Indonesia. Aha!

Kelaparan, adalah bentuk dari kemiskinan paling akhir di Indonesia, dan bukan sekedar cerita isapan jempol. Kelaparan tidak hanya sebuah dongeng masa lalu dari nenek moyang kita yang hidup pada masa pergerakan dan revolusi fisik sebelum kemerdekaan Indonesia. Tapi sekarang, setelah hampir 60 tahun Indonesia merdeka secara politik, kelaparan adalah fakta, kejadian nyata, bukan mimpi atau sekadar cerita indah yang gemar mengangkat tema kemiskinan.

Adalah ironis bahwa di dunia sebenarnya tidak akan terjadi kekurangan pangan, mengingat era modern dan komunikasi lintas global saat ini. Yang kemudian menjadikannya kekurangan adalah tentang mekanisme –lapangan kerja, transportasi, distribusi, akses—yang memungkinkan semua orang mendapat pangan. Yang juga tidak ada ialah kemauan politik untuk membuatnya terjadi. Tema politis yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan segelintir orang demi kepentingan golongan yang lebih besar.

Terbayang saat kita kecil, jika ditanyakan tentang bencana kelaparan, maka Ethiopia adalah suatu wilayah penderita kelaparan di benua Afrika, yang sangat jelas ada di benak kita. Sedangkan jika saat ini jika mendengar tentang kelaparan, yah mau tak mau negara yang masih ingin disebut berkembang ini, mengalami kondisi yang sama dengan apa yang dialami di tahun 80-an tersebut.

Sperti kita lihat, Niger, Somalia, Ethiopia, Sudan dan lainnya. Semua menunjuk pada hancur leburnya, keadaan sosial dan politis di sana. Tampuk kekuasaan lebih menarik untuk diperebutkan dibandingkan menata keadaan dan porak-porandanya kehidupan untuk kearah yang lebih manusiawi, hidup selayaknya manusia, bukan terbaring pahit, diam tak bergerak, dengan mata kosong dan perut membesar, dikerubungi lalar dan ulat, sambil menunggu hitungan ajal. Masihkah ada suatu tempat yang merdeka lahir bathin dan hidup dengan layak diatasnya? Mampukah kita menolong mereka?

Kelaparan merupakan buah penting dari ketimpangan Akses pangan. Dan ini terjadi di negara-negara yang melakukan kesalahan dalam sistem distribusi makanan yang benar benar tidak merata. Dengan kata lain, ada satu kesalahan sistemik yang diakibatkan oleh sistem pemerintahan sehingga implikasinya meluas kemana mana. Sistem yang despotik, partai tunggal yang tak berpihak dan otoriter terselubung yang mengakibatkan skema sistem yang cenderung diktator muncul. Demokrasi yang dijalankan tidak mendukung empati terhadap permasalahan ini. Kelaparan dan penyakit yang muncul malah dianggap karena kesalahan sendiri (saya jadi teringat pernyataan arogan dan picik seorang menteri atas hal ini), bahkan penyakit yang ikut mendukung permasalahan ini bertambah hancur-hancuran ditanggapi dingin oleh pejabat pemerintahan. Ketimpangan akses pangan karena wujud perlakuan terhadap demokrasi ditanggapi dengan arogan. Permasalahan yang timbul karena kurangnya perhatian, karena tidak adanya akses komunikasi yang diciptakan ataupun inisiatif untuk menciptakannya.

Jangan berbicara tentang gaya hidup kalau masih ada Busung Lapar. Sistem kapital dengan K besar memang mendukung nilai apatis dan tidak perduli. Penderitaan rakyat adalah buah tertawa para lembaga donor asing dan cekikan maut sistem harga yang diperuntukan memang untuk kepentingan golongan. Pelaku bisnis, lokal, internasional merupakan peruntukan dan prioritas utama dalam menciptakan ladang pembangunan dan pekerjaan dari sektor ekonomi, industri. Tapi jangan pernah bertanya apakah ada jalan layak untuk mencapai lokasi pedalaman di daerah terpencil dari Sumatera bagian selatan. Dan jangan pula ditanyakan bagaimana mereka harus berjalan sejauh belasan kilometer hanya untuk menempuh pendidikan sekolah dasar setiap harinya. Jangan harap akan ada perbaikan jika sistem masih berlanjut seperti ini. Distribusi kemakmuran dan perbaikan yang terputus putus dan memang tak layak untuk diperjuangkan. Berlaku demi perut sendiri tanpa memperhatikan perut lain yang ikut berkepentingan didalamnya.

Semoga saja, pendidikan merupakan modal dasar yang sangat penting untuk menumbuhkan bibit- bibit keinginan melawan kemiskinan dan kelaparan.

Image hosted by Photobucket.comKelaparan memang sangat tidak enak, sangat menyedihkan, menyakitkan bisa jadi buah penyakit konspirasi akut penopang kehidupan sosial. Baik itu kemiskinan, kehilangan pekerjaan, dan kehidupan yang layak serta harga bahan pangan dan sandang yang mahal. Apakah kemudian kita masih mempunyai otoritas untuk mempertanyakan apakah keadilan yang seperti ini layak untuk mengetengahkan apa yang disebut kehidupan pada saat ini?

60 tahun yang masih tidak pernah bisa belajar dari yang sudah ada.

http://www.thehungersite.com

No comments: