Monday, November 28, 2005

Jack The Dripper

Cat lukis yang diteteskan (dripping) lewat ujung kuas kering di atas kanvas dan bergerak sesuka hati melintasi batas normatif penggunaan kanvas.

Inilah yang nampak dalam lukisan ini, yang dibuat oleh Jackson Pollock (1912 -1956).

Image hosted by Photobucket.comPollock, telah mendeskripsikan seni lukis yang lebih mengikuti irama hati. Sebuah gaya melukis yang disebut sebagai: Action Painting, sebuah mode aksidental dalam gestur dan irama ekspresi penggunaan leleran cat lukis yang jatuh di atas canvas. Sebenarnya tidak ada yang menarik jikalau sekedar menghayal bahwa Pollock lahir di era sekarang, dan mentahbiskan format digital (penggunaan komputer) selayaknya mode action painting ini. Tetapi itu berbeda, karena yang dibahas disini adalah seorang seniman besar Amerika, yang terkenal karena suatu teknik dan terobosan baru dalam inovasi abstrak dan kemudian menjadi mahakarya penting, dalam era seni sesudah perang. Alkisah perjuangan Pollock berawal dari lukisan figuratif yang dibuat ditahun 40-an awal sampai inovasi dalam mengungkap gaya yang kemudian dikategorikan Abstrak Ekspresionisme, adalah memang sebuah upaya enerjik untuk mencuatkan kebebasan artistik dan tekhnik, dengan ujud tak baku dan memang sangat subtil. Memang terungkap filsafat bentuk, makna dan ekspresi rupa dari sebuah medium, yang dalam hal ini adalah bentuk baru seni lukis abstrak Amerika, sebelum era Pop.

Image hosted by Photobucket.com

Ia memang sukses memberi warna baru dalam perjalanan ’akhir’ dari formalisme seni lukis.

Pollock lahir disaat seni lukis amerika membutuhkan sebuah terobosan di tahun –tahun itu. Simak ucapannya, yang mengatakan keinginan kuat untuk mengekspresikan perasaan, dibandingkan melukiskan perasaan itu. Dengan kata lain, opsi bentuk yang chaotic dan tak ada awal dan tak ada akhir, Pollock memang sukses mengatakan itu kepada para audiens karya-karyanya, tanpa harus memperdulikan penamaan karya yang terlalu sering diberi judul ”Untitled” dan "Number".

Sang bintang dan tokoh seniman terkenal itu akhirnya takluk oleh alkohol, dan meinggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil, di tahun 1956.

Check it dan yang ini.

Thursday, November 24, 2005

Let's Have a War

Ada yang berperang.

Berjuang atas nama satu tujuan.

Sampai mati pun, rasanya tidak rela melihat musuh makin menggila. Mati, mati .. ayo mati demi kemenangan.

Kalaupun mati jangan sampai sia-sia.Titik.

.............................................

Saya baru sadar kembali, ternyata peperangan masih belum selesai. Diam-diam masih menggeliat dan hadir di depan mata untuk terus berlangsung, bahkan dalam eksepsi media sendiri. Perang melawan sesuatu yang nyata. Konsepsi perang memang bisa dituliskan dalam ribuan buku, tapi intinya cuma satu, perlawanan terhadap kedua belah pihak.

Perang di seluruh muka bumi ini, tidak pernah ada yang membawa pada kebaikan atau paling tidak perubahan yang lebih baik. Perang selalu membawa malapetaka, kengerian, duka, tangis dan penderitaan yang berkepanjangan. Apapun alasan yang dikemukakan dan demi tujuan apapun perang tidak dan tidak akan pernah bersifat konstruktif justru sebaliknya ia amatlah destruktif. Perang selalu dan pasti membawa dampak psikologis yang mendalam dan meluas pada banyak orang hingga luka dan trauma akibat peperangan itu sulit untuk disembuhkan bahkan untuk jangka waktu yang cukup lama.

Image hosted by Photobucket.com

Apakah manusia memang ditakdirkan lahir dengan kekerasan untuk melatar belakangi peradabannya?. Sejarah berkata demikian.

Perang memang sudah lama muncul disekeliling kita. Apakah itu terasa secara langsung atau tidak, urusan nurani memang paling kental untuk terpanggil. Mulai dari Mahatma Gandhi sampai Ernest Hemmingway yang tidak percaya dan muak dengan politik, sampai seorang Misno, sang pelaku bom bunuh diri sekalipun, ada rasa kemuakan terhadap representasi politis pihak penguasa yang memang mengibas-kibaskan aroma arogansi kuasa, dan bedanya mereka dalam kurun waktu yang jauh berbeda pula merepresentasikan keyakinan untuk melawan dalam wujud yang berbeda, tulisan, ideologi, novel dan yang terakhir bom!(bunuh diri pula).

.............................................

Saya sadar, banyak kepentingan yang melatar belakangi hal ini. Terorisme, peperangan antar etnis, perang karena perbedaan keyakinan, tawuran anak kuliahan dan lainnya, itu hanya secuil dibandingkan dengan peperangan lebih besar yang melanda belahan dunia lain, dengan alat yang lebih kejam tentunya.

Teror dan untuk melawan teror itu sendiri.

Rasanya banyak yang putus asa, dan berbelok untuk mendukung peperangan dengan harapan sesudah itu semua akan berakhir. Salah besar. Upaya ini malah melahirkan proto-proto baru untuk membiakkan bibit kebencian dari pihak yang kalah. Perang sebagai salah satu jawaban utama, dan untuk itu siapapun bisa memulainya. Dengan alasan jihad semua bisa dibalikkan. Dengan alasan kesucian semua bisa ditundukkan. Dengan alasan keselamatan, semua nurani dan belas kasihan dikesampingkan demi apa yang disebut emas hitam. Semua orang menangis pilu melihat penderitaan nun jauh tak terperi. Dan semua orang ingin tahu apa yang telah terjadi. Sayang hal ini menjadi komoditas media yang nikmat untuk dilahap dan sasaran empuk nilai filosofis bedah opini kemanusiaan. Semua orang turut ambil bagian tanpa mau merasakan penderitaan. Instingtif, brutal tapi nyaman. perang adalah komoditas, jaman ini memang edan, Raden Mas Ronggowarsito mungkin sekarang sudah gatal-gatal ketika apa yang diramalkan tentang ke-edanan manusia mulai nampak ujudnya.

Harapan selalu ada, namun semua kandas melihat kondisi sekarang.

Ketika kekuasaan mulai menindas dan selalu ada gerakan yang merasa terpanggil untuk menghadangnya. Dan ketika segala cara terasa tak bisa dikompromikan, hanya satu kata : lawan!. Sama saja, hal ini muncul karena kuasa dan dialog yang terputus. Kesan heroik, tapi tetap tidak jelas. Untuk mengatakan dengan intonasi kuat, kata "Lawan", yang ada malah anarkis. Arogansi akan selalu melahirkan reservoir potensi terhadap sebuah Perang baru.

Sayang, efeknya selalu salah sasaran. Dan suasana hening damai tercipta ketika manusia terlelap di malam hari. Dan untuk kemudian bernafas di pagi harinya dan untuk bermain dengan ego dan naluri masing-masing. Untuk saling memuji kepalsuan dalam meloloskan birahi kuasa.

Tuesday, November 22, 2005

Conceptual Art

"If you like conceptual art, think about honking." - Bumper sticker, c. 1977 -

Beberapa orang mungkin berpikir jika sebuah karya seni, dibuat memang untuk merepresentasikan tentang suatu imajinasi, suatu jarak dan keterkaitan yang absurd, dan selebihnya lagi, cenderung tidak mengerti.

Untuk itulah gunanya penjelasan. Tapi tentang apa? (omong-omong sudah hampir sebulan ini saya tidak posting di blog ini)

Namun saya juga tidak akan merepresentasikan tentang hal itu, bagaimanapun perbenturan dengan solusi pemikiran khalayak ramai masih ada, apalagi tentang hal ini, seni.

Oh ya,sudah sangat jamak, seni rupa tak sekedar seni lukis, patung, instalasi dan performance semata. Seni merambah ke dalam wujud pemikiran dan wahana pemikiran yang lebih kompleks. Andaikata hal itu bisa dinikmati pun, rasanya kening berkerut dan pemahaman terbengong-bengong oleh visual kompleks adalah layak. Karena dalam hal ini ideal dan hal yang memang ideal nampak dalam sebuah karya seni. Seorang seniman memang selalu dituntut egois, dalam berkarya, sangat.

Walau kerja kelompok sangat penting dan menjadi trend saat ini.

Ok, kali ini saya akan membahas sebuah jenis karya rupa yang telah menjadi trade mark akan apa yang disebut sebagai seni konseptual. Karya-karya ini memang lekat dengan wujud yang cenderung simpel, minimalistik dan biasanya tiga dimensional. Karya konseptual biasanya merupakan sebuah karya yang menyajikan tentang apa yang ada dibalik realita. Dimana realita menyimpan kekhawatiran bagi setiap seniman akan wujud lain yang lebih kompleks.

Image hosted by Photobucket.com
Jenny Holzer, Truisms, 1983, computerized electronic sign

Conceptual Art, menurut beberapa sumber yang terpercaya (hehe), merupakan suatu babak baru (di masa 60-an loh) dalam karya perupaan yang lebih menekankan ide, dibandingkan visual akhir, bagi mereka ini merupakan bentuk penentangan terhadap formalisme yang memang menciptakan wujud ideal dalam perkembangan seni, dan mereka mengusung sebuah gagasan yang menolak mentah –mentah seni sebagai hasil akhir dari sebuah perjalanan ide.

Pada dasarnya mereka memang mengandaikan ’upaya pemetaan’ nilai simbolik suatu wujud, khasanah yang telah lama dilupakan dan menyeruak langsung kedalam nilai yang cenderung nihilis dan minimalis. Sebagai wujud nyata ekspresi sebuah masyarakat barat yang makin dingin dan cenderung terjauhkan oleh teknologi. Dan memang para seniman ini lebih menyeret permasalahan visual, kedalam wilayah yang labil, berat dan dingin dan serta merta menyeret pemahaman terlalu ke wilayah diskursivitas-intelektual ketimbang intensifikasi perasaan seperti indahnya lukisan, menariknya sosok figur dalam fotografi dan patung tembaga yang menggambarkan sosok seorang pemikir, lebih menarik dan meracau akan insight philosophy ketimbang insight aesthetic.

Selama 10 tahun kemudian, perkembangan seni rupa jenis ini memang perlahan buram, dan sejarah seni berubah kedalam wujud yang lebih masinal, dan ide pada akhirnya menjadi mesin hasrat yang telah di kembangkan secara umum dan biasa. Dan kemudian hal-hal yang biasa itu menjadi sesuatu yang eksklusif, ketika dikemas dalam ruang-ruang bersih galeri seni (Pop Art dan Contemporary).

Image hosted by Photobucket.com
Joseph Kosuth (American, 1945-), Clock (One and Five), English/Latin version, 1965, clock, photograph and printed texts on paper.

Secara umum karya ini mengasyikkan, aneh dan cenderung datar, sejurus kemudian kita sudah lupa dengan rumit dan kompleksnya dibalik realita yang (visual yang nampak) mereka tawarkan sesudah itu.

cek : Klik disini