Tuesday, August 30, 2005

Bagi Yang Merasa Benar

Image hosted by Photobucket.comBelakangan saya mulai merasa muak untuk mendengar berita dan melihat fenomena kekerasan akibat dari rasa kebangsaan dan terusiknya esensi keagamaan sebagai pembenaran terhadap tindak kekerasan, baik itu individu dan kelompok. Entah terlalu sering dibombardir media atau memang opini yang timbul malah lebih gila dibandingkan kenyataannya. Keyakinan yang disetir secara politis dipergunakan dalam kondisi yang tidak seragam, dan memang relatif gampang untuk mencapai sasaran. Dengan dalih agama dan dalih kesetiaan terhadap simbol negara, mereka meyakini tindakan represif atas nama kelompok dapat menunjukkan citra powerful dan merasa berhak membungkam kredibilitas hukum di negara ini yang memang sedang terpuruk.

Padahal, dalam konteks kehidupan untuk bernegara, tindak kekerasan atau represi oleh masyarakat sangat tidak dibenarkan. Yang berhak melakukan represi ( dalam wujud ’netral’) adalah negara. Masalahnya, dalam pandangan sebagian masyarakat, logika seperti ini terasa berbelit-belit, sementara penyimpangan sosial sering terjadi. Serba salah, memang hal ini yang membuat kondisi makin terpuruk, bak buah simalakama. Buah simalakama mulai terkuak kembali dengan munculnya bibit krisis ekonomi yang mengakibatkan rusaknya tatanan hegemoni sosial ekonomi masyarakat.

Apakah karena memang harus melalui proses pembelajaran seperti ini?

Apakah kekerasan dan perilaku sosial kita sudah mulai runtuh?. Apakah karena rasa nasionalis (ekonomi perut) yang mengesampingkan nilai moral? Pengaruh orientasi hidup untuk materi lewat perlakuan tak seimbang dalam media komunikasi ?. Itulah identitas yang tercermin lewat rasa bangga berlebihan (over), dan kesatuan kelompok yang disalah gunakan, legitimasi palsu dalam wujud nasionalisme. Kebanggaan diwujudkan dalam simbol legitimasi sosial yang didukung oleh masyarakat tertentu. Toh, yang bertanggung jawab hanya seorang. Pembelajaran, seperti halnya seorang calon anggota mafia yang harus bertarung dengan puluhan orang untuk masuk kedalam keanggotaan kubu itu.

Apaan sih Nasionalisme itu?

Rasanya gampang, nasionalisme baru muncul kalau hal itu menyakut harga diri dan olahraga. Jujur saja, saya lihat rasa akan hal itu baru muncul jika ada sesuatu yang mengusik harga diri bangsa ini, dan pertandingan bulu tangkis atau PSSI di kancah Asia Tenggara. Nasionalisme adalah cangkang dari globalisme dalam lingkup paling kecil. Sedangkan Globalisme merupakan arena pencarian jati diri dalam suasana abstraksi yang tak bernyawa. Bagi mereka, globalisme telah memberikan arus dan celah masuknya intervensi budaya dan kultur asing yang sangat berbeda dari yang sudah ada. Alhasil, bagi mereka, globalisasi menciptakan era dingin tanpa norma dan pijakan sosial yang jelas, dalam konteks yang plural. Itulah yang melatari bagaimana saat ini, nasionalis yang timbul karena terusik, yang timbul karena balutan ekonomi, lapar dan kebencian dan rasa sensitifitas.

Image hosted by Photobucket.com Bagi beberapa golongan dengan latar belakang masyarakat yang berbeda dan tingkat pemahaman sosial yang cenderung berlawanan, sensitivitas akan arus perubahan sering disalah artikan dalam gerakan yang dilawan dalam segi fisik. Semua itu bisa jadi karena ketakutan terhadap arus, dengan mengedepankan pemahaman sempit dan ketakutan akan perubahan. Simbol legitimasi sebenarnya diperlukan oleh tiap kerumunan individu dalam satu wadah yang disebut masyarakat, untuk menentukan kearah mana mereka akan bergerak. Dalam hal ini wujud masyarakat bak anak ayam kehilangan induk sudah tergambar dalam hal ini. Salah kaprah dan cenderung mencelakakan individu lain.

Kekerasan dengan kelompok ?

Ini merupakan sebuah indikasi nyata bahwa anarki sosial yang terjadi di ruang-ruang publik sulit melepaskan diri dari simbol, idiom dan atribut bahkan keyakinan yang disandang oleh para pelakunya. Dengan kata lain, anarki sosial dalam konteks individu amat sangat berbahaya karena erat dengan tindakan kriminal, sedangkan kekerasan (secara sadar) yang dilakukan atas nama kelompok merupakan sebuah pertunjukan kesenjangan cita-cita (das Sollen - kalo kata Hegel) dengan kenyataan.

Kenyataan untuk hidup yang hakiki dan saling menghormati dihantam oleh pemahaman keyakinan yang dangkal dan cenderung gampangan, sehingga dirinya merasa berhak melukai orang lain tanpa merasa perlu untuk bertanggung jawab.

Friday, August 26, 2005

Komunikasi Visual Propaganda

Kaku, figur yang berotot dan tegar, tegas, wajah keras, dentuman mesin industri dan pekerja tambang yang luar biasa, selalu dicitrakan sebagai heroisme yang sangat sentral, namun selalu terlihat figur yang dipaparkan dalam posisi tiga perempat pandangan wajah, tak pernah menatap langsung kedepan. Itulah kesan yang saya dapatkan setelah menilik visual dan perkembangan poster- poster dimasa sosialis Uni Soviet dahulu. Warna merah yang dominan, minimalis kaku dengan ekspresi tunggal, ternyata memang diciptakan untuk menimbulkan semacam sensasi, perasaan kecil dan takjub yang terbius oleh propaganda pemerintah atau rezim tepatnya.

Image hosted by Photobucket.com

Belum lagi propaganda perang, tema-tema perlawanan terhadap neo-imperialisme-kolonialisme.

Itu juga yang terdapat dalam wujud visual propaganda realisme sosial di masa itu, dan Soviet (sekarang Rusia) sebagai figur sentral daripada hal ini. Setelah melihat poster, banner, dan visual yang merupakan replika historis dari sebuah masa, masa dimana dua kubu saling bertikai, barat dan timur. Kepentingan dua ideologis yang berbeda telah mengambil cara apapun untuk menciptakan imaji dan menumbuhkan suatu semangat dalam rangkaian propaganda. Tak ada hitam, tak ada putih, tak ada pula kesendirian dan kebersamaan, hilangnya rasa manusiawi ditunjukkan guna menciptakan heroisme sesaat yang mendukung peran suatu rezim. Baik Barat atau Timur.

Image hosted by Photobucket.comJika Hitler men-setting setiap pidato banner-banner raksasa bergambar swastika, untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan Bangsa besar a la NAZI, dan tema kerakyatan atau Narodsnot kata Joseph Stallin, maka memang terlihat upaya menciptakan citra megah itu selalu ada. Masih sebelas duabelas dengan Mao Tse Tung tentang tema-tema kerakyatan yang kemudian dikutip dan diinternalisasi sebagai sikap revolusioner. Dengan kata lain, pemposisian visual dalam poster, alat propaganda yang membutuhkan komunikasi secara gambar, harus menegaskan bahwa etika yang muncul adalah bersifat mudah dipahami dan sederhana dengan simbolisasi yang mudah dicerna.

Bagaimana di Indonesia sendiri?. Untuk melupakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), di Indonesia, yang pernah mengharu biru masa perkembangan seni rupa di Indonesia, rasanya amat janggal. Mereka yang pernah mencampur adukkan ideologi politis partai komunis dalam seni rupa dan apapun yang bersifat estetika dan kemudian memfragmentasinya sebagai jargon ideologis para seniman. Buah percaturan dan penyebaran ideologi dalam sebuah perang besar, perang ideologi. Alhasil, beberapa eksponen pembela Lekra seperti Joko Pekik, Amrus Natalsja maju paling depan dan menggembar-gemborkan seni kerakyatan untuk melawan apa yang disebut kolonialisme dan imperialisme.

Namun dengan berlebihannya propaganda dan muatan yang diinginkannya, alhasil kesan politik pun lebih mengemuka dari kemanusiaannya. Dalam hal ini, prinsip komunikasi menjadi ajang propaganda heroik yang ditujukan menebarkan loyalitas terhadap rezim tertentu. Dalam hal ini makin terlihat jelas upaya rezim untuk menguasai dan menandai muatan sistem komunikasi visual untuk lebih efektif dan image di benak yang kuat.

Satu hal; muatan yang dipampangkan adalah perkara soal eksistensi tubuh manusia. Dengan menyulap citra yang kukuh dan tegar dalam karya seni untuk kebutuhan 'kerakyatan', bahwa manusia dalam komunitas yang tak mengindahkan prinsip liberal, menjadi satu dan kuat.

Ada awal, ada akhir.

Dan kemudian Soviet, sebagai sentra sosialis di daratan Timur, runtuh, berganti nama menjadi Rusia. Dan Cina kehilangan pelindung terhadap dominasi sosialis dan masih secara formal sebagai negara komunis, namun bergerak dalam cara imperialis ekonomi. Alhasil jejak propaganda visual dalam kurun waktu itu berubah, dan arus dominasi gerakan liberal dari luar dalam culture semakin kuat. Semenjak runtuhnya rezim sosialis blok timur, salah satu acuan gerakan kultural dan sosial dalam kepetingan politis dan propaganda tersebut juga mulai berakhir. Kelahiran (kemenangan) mazhab liberal dan (kapitalistik) di negara-negara berkembang dan gerakan pembaharuan dalam budaya, sosial dan ideologi yang mulai cair, otomatis tak tersentuh konfrontasi blok, melahirkan satu skema yang seragam dalam mengupas masalah realita dan self-existence. Maka didobraklah segala aturan estetika tentang itu dengan munculnya pemahaman bahwa seni rupa dan visual yang diolah mampu menyajikan realita dalam masyarakat.

Image hosted by Photobucket.comDan selanjutnya, realisme sosialis yang dulu dimanfaatkan sebagai propaganda masih hidup di Rusia,Cina dan bahkan negara-negara lain, mungkin masih ada sebagai sebuah artefak namun juga sudah "memfosil" dan hampir mati.

Kalaupun ada, itu sekedar upaya eklektik belaka, memvisualkan sesuatu sebagai lintas sejarah dan mengambil kenangan sebagai sesuatu yang baru, dikombinasikan dengan kultur pop. Propaganda imaji dan bentuk-bentuk kontemporer. Biar keren gituh ....

link: ***

Tuesday, August 23, 2005

SEPTEMBER CERIA

Image hosted by Photobucket.comSebelum Aidit ada pula Dharsono dan Sema'un. Bagaimana Saudara Nyoto ? Wikana dan lainnya. Dan juga, kalau organisasi Komunis Indonesia, merupakan buah pikiran dan upaya Almarhum Henk Sneevliet, sang pendiri organisasi revolusioner ini. Yang pada akhirnya merupakan sebuah partai komunis diluar China dan Rusia. Evolusi menuju revolusi yang semua berakhir pada bulan September. September Ceria.

Saya mengingat sejenak dan terkenang akan bulan september, tanggal 30 nanti (yang ternyata masih lama dari sekarang), ingatan saya terpaku pada film "G/30S/PKI", sebuah film wajib yang selalu disiarkan oleh TVRI sebagai stasiun tunggal di tanah air pada saat itu. Mungkin sudah ribuan kali bahasan tentang hal ini (saat arus kebebasan informasi saat ini dan sayangnya televisi untuk sekarang ini dipaksa 'tidur' dan penderita insomnia akut mungkin mengeluh) mengacu pada wacana pembelokan sejarah, dekonstruksi dan rekayasa imajinasi untuk menciptakan kepentingan ideologis bagi hegemoni penguasa Orde Baru.

Image hosted by Photobucket.comSaya mengenang saat itu, saya masih tidak pernah berani menonton sampai selesai, berikut juga; layar buram (karena terlalu sering diputar), darah dan kekejaman digambarkan secara gamblang. Bibir hitam tebal mengepulkan asap tembakau yang mengucapkan kalimat seperti; " ..Jawa adalah Kunci..", " Darah itu merah, jendral!" dan lain sebagainya. Ada juga irama musik genjer -genjer dan ini yang terpenting; GERWANI. Ada pula semboyan egaliter, " Sama rata!". Sebuah semboyan yang meniadakan wujud fisikal makna kata; "lebih" dan kelebihan dalam proporsi yang merata. Sehingga terciptalah kesan bahwa Komunis memang dibentuk menjadi menakutkan dan banyak yang merasa sedikit angker untuk menelusuri jejak bangkai salah satu partai terkuat di Indonesia ini dahulu, semua diakibatkan oleh besarnya dendam berdarah-darah puluhan tahun para pelaku dan turunannya. Semua dikonstruksikan sebagai tindakan kejam tak berperikemanusiaan dengan kredo agama, dan pemberontakan yang mengganggu asas kemerdekaan.

Dan kemudian sebagai sarana cuci otak paling efektif.

Ini semua karena kejelasan bahwa, masa silam merupakan konstruksi yang mampu menghadirkan rekayasa bentuk dan imajinasi. Dan penting untuk mengetahui bahwa ada semacam link yang hilang, ada semacam gap dan jarak yang membiaskan sebuah perjalanan panjang. Bentuk evolusi yang terputus.

Sejarah merupakan konstruksi tanda, visual dan linguistik untuk menelaah masa lalu yang tak akan pernah terjadi kembali. Sejarah merupakan fiksi verbal dengan tulisan sebagai realita. Dengan ini pernyataan atas sejarah sebagai sesuatu yang dikenang, adalah buah pemikiran dan distorsi pemaknaan yang tidak akan pernah diurai dengan jelas. Bagaimanapun kemenangan dalam sisi ideologis merupakan bentuk sejarah yang telah ditulis, dipakukan, dibentangkan dan dibekukan dan direkonstruksi dalam induk pemikiran kita.

Sejarah pada akhirnya dan memang, tak terlepas dari yang disebut pihak penguasa. kekuatan yang memegang peranan penting tentang dinamika otoriter keberpihakan. ideologi yang dijinakkan. Itulah upaya salah satu kekuatan yang terpenting dalam ideologi dijinakkan lewat apa yang disebut konstruksi imajinasi. Konstruksi diri sendiri sebagai anggota dunia ketiga, wujud negara yang ambigu, dan sedikit kacau. Itu berarti secara citra kita masih mengalami apa yang disebut sebagai penjajahan walaupun secara formal fisikal kita sudah merdeka.

Setelah Komunis hancur, maka kapitalis menyerang, istilah kasar yang sebenarnya kalau diurutkan dalam segi peran wacana memang membuat kita mulas. Sebagai contoh, kalaupun kita, di satu pihak, bisa berkata-kata tentang betapa kita membenci betapa berbahayanya ideologi pembebasan Amerika, dan juga produk buatan Amerika dan mengancam akan memboikotnya atau mengecam kebijakan negara-negara Amerika dan Eropa Barat. Di lain pihak kita berhasrat untuk mengonsumsi makanan, pakaian, sepatu, konsep tata negara, puisi, novel, film, lagu, ilmu, teknologi kalimat-kalimat yang yang diproduksi wacana kapitalisme global yang standar mutunya diregulasinya, distribusinya dikelola periklanan dan propagandanya, sirkulasinya disalurkan oleh ekonominya, konsumsinya digalakkan hasrat yang dibangkitkannya. Bentuk hasrat yang dimatikan dalam keliarannya. Dekonstruksi hasil sejarah yang sudah puluhan tahun dipermainkan lewat kaki tangan kekuasaan. Untuk membentuk tafsir baru, toh perang dan pada akhirnya kemenangan ideologis ternyata sudah sedikit banyak diciptakan oleh pihak yang menang dari dulu kala.

Ah, kalah karena propaganda.

Image hosted by Photobucket.comSehingga, pada akhirnya, pertikaian tentang ujung pangkal sejarah, dekonstruksi dan penyajian dilibatkan kedalam inteprestasi masing-masing yang memanfaatkan kekuatan media, citra dan ideologi bentukan masa kini. Toh, ideologi berakhir pada harkat manusia, dan imajinasi diri sendiri. Dan tak lupa lewat doktrin tentunya.

Dekonstruksi pada akhirnya membawa pada satu pertanyaan penting tentang keabsahan, otentik dan kenyataan. Seperti yang sudah sudah, memancing wujud upaya mengingat masa lalu yang dalam hal ini memang terjebak dalam pertikaian untuk mengulang imajinasi masa lalu. Dan menciptakan pemahaman dan posisi yang lebih penting dalam diri sendiri, walau pada akhirnya pernyataan (seperti ini yang cenderung) nihilis kritis dan menolak, serta mempertanyakan sejarah itu sendiri hanya berakhir dalam perdebatan tak berujung pangkal. Sialan.

Monday, August 22, 2005

ke-LAPAR-an

Image hosted by Photobucket.comSyahdan, di tahun 85 atau 86, Bob Geldof, sang penggagas Konser Live Aid yang pertama, pernah memaki-maki dan berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia (saya lupa tempatnya dimana), karena maraknya pembajakan kaset rekaman konser tersebut di Indonesia yang terbilang luar biasa. Sedianya uang hasil penjualan itu untuk disumbangkan untuk mengatasi kelaparan di Etiophia. Yang ini malah semakin tidak jelas, uang hasil penjualan tersebut menguap kemana. Untuk 20 tahun kemudian pembajakan menjadi dilematis dan kelaparan (busung lapar,kemiskinan) muncul di Indonesia. Aha!

Kelaparan, adalah bentuk dari kemiskinan paling akhir di Indonesia, dan bukan sekedar cerita isapan jempol. Kelaparan tidak hanya sebuah dongeng masa lalu dari nenek moyang kita yang hidup pada masa pergerakan dan revolusi fisik sebelum kemerdekaan Indonesia. Tapi sekarang, setelah hampir 60 tahun Indonesia merdeka secara politik, kelaparan adalah fakta, kejadian nyata, bukan mimpi atau sekadar cerita indah yang gemar mengangkat tema kemiskinan.

Adalah ironis bahwa di dunia sebenarnya tidak akan terjadi kekurangan pangan, mengingat era modern dan komunikasi lintas global saat ini. Yang kemudian menjadikannya kekurangan adalah tentang mekanisme –lapangan kerja, transportasi, distribusi, akses—yang memungkinkan semua orang mendapat pangan. Yang juga tidak ada ialah kemauan politik untuk membuatnya terjadi. Tema politis yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan segelintir orang demi kepentingan golongan yang lebih besar.

Terbayang saat kita kecil, jika ditanyakan tentang bencana kelaparan, maka Ethiopia adalah suatu wilayah penderita kelaparan di benua Afrika, yang sangat jelas ada di benak kita. Sedangkan jika saat ini jika mendengar tentang kelaparan, yah mau tak mau negara yang masih ingin disebut berkembang ini, mengalami kondisi yang sama dengan apa yang dialami di tahun 80-an tersebut.

Sperti kita lihat, Niger, Somalia, Ethiopia, Sudan dan lainnya. Semua menunjuk pada hancur leburnya, keadaan sosial dan politis di sana. Tampuk kekuasaan lebih menarik untuk diperebutkan dibandingkan menata keadaan dan porak-porandanya kehidupan untuk kearah yang lebih manusiawi, hidup selayaknya manusia, bukan terbaring pahit, diam tak bergerak, dengan mata kosong dan perut membesar, dikerubungi lalar dan ulat, sambil menunggu hitungan ajal. Masihkah ada suatu tempat yang merdeka lahir bathin dan hidup dengan layak diatasnya? Mampukah kita menolong mereka?

Kelaparan merupakan buah penting dari ketimpangan Akses pangan. Dan ini terjadi di negara-negara yang melakukan kesalahan dalam sistem distribusi makanan yang benar benar tidak merata. Dengan kata lain, ada satu kesalahan sistemik yang diakibatkan oleh sistem pemerintahan sehingga implikasinya meluas kemana mana. Sistem yang despotik, partai tunggal yang tak berpihak dan otoriter terselubung yang mengakibatkan skema sistem yang cenderung diktator muncul. Demokrasi yang dijalankan tidak mendukung empati terhadap permasalahan ini. Kelaparan dan penyakit yang muncul malah dianggap karena kesalahan sendiri (saya jadi teringat pernyataan arogan dan picik seorang menteri atas hal ini), bahkan penyakit yang ikut mendukung permasalahan ini bertambah hancur-hancuran ditanggapi dingin oleh pejabat pemerintahan. Ketimpangan akses pangan karena wujud perlakuan terhadap demokrasi ditanggapi dengan arogan. Permasalahan yang timbul karena kurangnya perhatian, karena tidak adanya akses komunikasi yang diciptakan ataupun inisiatif untuk menciptakannya.

Jangan berbicara tentang gaya hidup kalau masih ada Busung Lapar. Sistem kapital dengan K besar memang mendukung nilai apatis dan tidak perduli. Penderitaan rakyat adalah buah tertawa para lembaga donor asing dan cekikan maut sistem harga yang diperuntukan memang untuk kepentingan golongan. Pelaku bisnis, lokal, internasional merupakan peruntukan dan prioritas utama dalam menciptakan ladang pembangunan dan pekerjaan dari sektor ekonomi, industri. Tapi jangan pernah bertanya apakah ada jalan layak untuk mencapai lokasi pedalaman di daerah terpencil dari Sumatera bagian selatan. Dan jangan pula ditanyakan bagaimana mereka harus berjalan sejauh belasan kilometer hanya untuk menempuh pendidikan sekolah dasar setiap harinya. Jangan harap akan ada perbaikan jika sistem masih berlanjut seperti ini. Distribusi kemakmuran dan perbaikan yang terputus putus dan memang tak layak untuk diperjuangkan. Berlaku demi perut sendiri tanpa memperhatikan perut lain yang ikut berkepentingan didalamnya.

Semoga saja, pendidikan merupakan modal dasar yang sangat penting untuk menumbuhkan bibit- bibit keinginan melawan kemiskinan dan kelaparan.

Image hosted by Photobucket.comKelaparan memang sangat tidak enak, sangat menyedihkan, menyakitkan bisa jadi buah penyakit konspirasi akut penopang kehidupan sosial. Baik itu kemiskinan, kehilangan pekerjaan, dan kehidupan yang layak serta harga bahan pangan dan sandang yang mahal. Apakah kemudian kita masih mempunyai otoritas untuk mempertanyakan apakah keadilan yang seperti ini layak untuk mengetengahkan apa yang disebut kehidupan pada saat ini?

60 tahun yang masih tidak pernah bisa belajar dari yang sudah ada.

http://www.thehungersite.com

Friday, August 19, 2005

REKOR

Rekor adalah kemampuan seseorang manusia pada limit tertinggi atau sesuatu yang dianggap diluar kemampuan manusia biasa, dan mencatatkan diri baik secara kompetitif atau ajang resmi. Karena itu, rekor tidak hanya mengandung nilai-nilai superlatif, namun juga kemanusiaan. Untuk itulah dengan dan tanpa orang lain, rekor dapat dipecahkan, baik sejalan dengan upaya menembus batas ketahanan tubuh manusia, namun juga kemampuan dari hasil interaksi ratusan orang didalam satu team untuk memecahkan sebuah rekor. Jika kita melihat pada fenomena tentang pemecahan rekor saat ini di Indonesia, saya berkesimpulan, rekor yang berupaya dipecahkan adalah rekor yang gampang dan aman, sesuai dengan apa-apa yang diberitakan lewat media massa. Namun kalau segala hal didokumentasikan sebagai sesuatu yang menunjukkan kemampuan untuk lebih 'wah', rasanya amat sangat konyol jika hal itu dipandang secara belaka sebagai kemajuan suatu bidang.

Pada dasarnya, rekor diciptakan justru untuk menunjukkan superioritas terhadap hal-hal yang sangat musykil dilakukan oleh orang lain, selain orang yang sanggup dan berkompeten terhadap apa yang dilakukannya. Dengan kata lain, jika sebuah rekor mampu dipecahkan, maka dengan kesimpulan tertentu, hal ini dapat dipakai untuk menunjukkan kadar dan kemampuan manusia-manusia indonesia pada hal-hal yang (tak) berguna.

Rekor adalah sesuatu yang lebih banyak dari biasanya dan berada di luar kemampuan secara nalar. Namun apa jadinya jika rekor dengan parameter 'ter' a la MURI?, sebut saja rekor seperti Nasi Goreng terbesar, Panggangan Sate terbesar, Kue Bolu terbanyak, Berondong Jagung terbanyak, Acara Perakitan Komputer terbanyak, Patung dari es tertinggi, dan juga Bendera Merah putih terbesar di Dunia, bahkan sampai Minum Es Kelapa terbanyak (mungkin) dan lain sebagainya, itu dianggap sebagai sesuatu yang diakui kerap menimbulkan pertanyaan, seberapa absahkah nilai yang telah dipecahkan? atau memang parameter seperti apa yang dijadikan acuan untuk itu? ataukah memang berguna untuk memberikan orang-orang MURI suatu pemahaman bahwa rekor menjadi sangat esensial? Dan apa gunanya rekor itu nantinya ?

Untuk memberikan nilai lebih suatu acara yang melibatkan ribuan orang dan melakukan hal yang sama dengan tujuan tertentu, yakni memecahkan rekor. Dan otoritas MURI sebagai lembaga bentukan Oom Jaya Suprana, merasa berkewajiban untuk mendedahkan dan mendokumentasikan kemampuan bangsa ini yang ditunjukkan lewat kemampuan dan pernyataan; " Bahwa kami pun juga bisa!".Dalam memecahkan dokumenter dari superioritas kemampuan luar biasa baik individu atau bukan, bangsa Eropa dan Amerika yang terlebih dahulu muncul, lewat Guiness Book Of Record.

Adakalanya saat ini permasalahan dan polemik tentang rekor menjadi menarik, bahwa sesungguhnya inilah sebuah cerminan pemahaman rapuh atas nilai sebuah upaya pemecahan masalah, juga atas kondisi sosial yang masif dan gampangan. Bahwa sesungguhnya mitos tentang rekor memang dibentuk dan dikondisikan pada sesuatu yang wah, super dan ter. Cerminan asas sentralistik mengangkat prestise bangsa ini yang terkadang kebablasan dan mengundang senyum dikulum.

cek : ++

Wednesday, August 17, 2005

pas 17-an

"Merdeka" adalah sebuah kata yang amat bermakna, dan amat mahal pada saat kita merasa tidak bebas, dan tidak merdeka. Setelah kita merdeka, kita akan merasakan kemerdekaan itu sebagai bagian dari kehidupan yang layak, sesuatu yang sangat wajar . Kita merdeka, seperti kita bernafas, bahkan saat kita buang hajat. Merdeka dan kemerdekaan adalah sesuatu yang dengan sendirinya harus dan telah kita miliki. Akhirnya, kita lupa betapa bermakna dan betapa mahal kita rasakan nilai kemerdekaan itu sebelum kita menikmati selera bebas dan merdeka. Sama biasanya dengan untuk menganggap kemerdekaan itu seperti apa. Dan memperlakukan upaya memperingati kemerdekaan, adalah euforia hiburan, bukan sesuatu yang sakral dan ideal. Untuk usia 60 tahun, seperti halnya merayakan kemerdekaan di tengah lomba panjat pinang dan arena goyang dangdut. Cermin realita gebyar kemerdekaan yang selalu sama setiap tahun.

Itulah untuk hari ini, bangsa ini merayakan hari jadi yang ke 60, sebuah upaya memaknai muatan sakral setiap tahunnya untuk memperingati kejadian detil yang makin terdistorsi dan bias makna. Sehingga sudah umum sangat terlupakan bagaimana untuk kejadian yang berkisar puluhan tahun silam itu dapat teringat kembali. Sejarah yang tak terdeteksi kecuali ingatan masa revolusi lewat propaganda rezim kedua di negara ini yang perlahan membudayakan sistem paternalistik dan budaya ‘inggih doro’.

Kita tak akan tahu sejarah sebenarnya terjadi seperti apa, kecuali narasi besar yang telah ditentukan, yang dalam hal ini adalah kuasa hegemoni. Tanpa menjelaskan siapa hegemoni itu, rasanya kita sudah tahu. Sejarah memang sudah disiapkan sedemikian untuk direkayasa dan bagian tertentu yang dihilangkan.

Met 17-an deh.

Monday, August 08, 2005

COLD FEAR

Image hosted by Photobucket.com

Salah satu game Horror yang sangat menarik. Membuat waktu tidur saya berkurang drastis. Mengambil lokasi pertarungan dengan para monster mutasi genetis yang gagal di sebuah kapal rusia yang terombang ambing oleh badai. Amat sangat mencekam, didukung oleh tampilan ilustrasi yang bagus, dinamis serta disuguhi grafik tiga dimensional yang sangat menawan.

Image hosted by Photobucket.com
Image hosted by Photobucket.com
Image hosted by Photobucket.com

Amat sangat menarik, jika bermain di layar komputer dengan kondisi gelap gulita, sound yang keras. Siap-siap aja jantungan.

klik disini: !!!

Thursday, August 04, 2005

Katanya sih, Selamat Datang di Dunia Gaib

Image hosted by Photobucket.com
Selamat datang di Dunia Gaib

Makhluk gaib atau memang dunia gaib? Hantu atau bukan? Setan? Iblis ? Monster?
Kejahatan atau bukan?

Bisa jadi ini memang adaptasi teror kengerian secara psikis. Gaib belum tentu menyeramkan, tapi kalo yang sudah pasti menyeramkan, memang setan :p. Toh, rasanya saya masih agak kesulitan mengartikan dunia gaib itu apa, atau memang isinya makhluk-makhluk yang secara fisik menyeramkan namun biasa bagi mereka sendiri atau memang sebuah dunia yang kita yakini ada walau itu berdasarkan cerita, pengalaman dan keyakinan semata?

Ada banyak ragam makhluk gaib lokal yang kerapkali dipakai sebagai sarana cerita turun-temurun yang fungsinya memang untuk menakut-nakuti (Urban Legend?), contoh; Hantu Pocong, Kuntilanak, Wewe Gombel, dan lain sebagainya. Yang menarik memang kostum dan wujud secara fisik merupakan nilai-nilai muatan lokal, dan secara impresif, raut muka yang amat menakutkan tanpa harus melakukan gerakan-gerakan tertentu ( asal tidak tertawa dahulu seperti di sinetron-sinetron) lain halnya dengan bombardir hantu dan terror makhluk gaib via Hollywood yang sangat standar, karena tak jauh-jauh dari tetesan darah.

Hantu, ada atau tidak sebenarnya agak bikin malas. Percaya atau tidak juga tak usah dibahas, di negeri ini, semakin maju teknologipun, kombinasi antara klenik dan teknologi sering menghasilkan sesuatu yang mengagumkan. Toh, ekspo peralatan teknologi terkini pun masih butuh seorang pawang hujan, jikalau diadakan di arena luar ruangan. Pawang hujan masih melakukan aktifitas gaib, toh biar dirinya masih dihubungi via hand-phone. Mungkin juga ilmu santet yang kabarnya masih dipakai untuk melancarkan persaingan dalam perebutan jabatan dan kekuasaan dalam instansi dan institusi tertentu.

Sebenarnya urusan dunia gaib atau apapun yang dipercaya sebagai dunia pilihan dan anugrah untuk orang-orang yang mampu melihatnya, adalah sesuatu yang subtil. Sifat yang cenderung anomali. Bahwa sesungguhnya manusia tidak hidup sendiri, ada dimensi lain yang belum terbuka, dimana memang amat sangat memiliki keterbatasan. Apakah kita hanya makhluk ini yang hidup di jagat raya yang amat sangat luas ini?. Dimensi apakah gerangan sehingga kita memang tak bisa berinteraksi secara langsung dengannya? Dunia gaib (secara pribadi dan seperti orang-orang kebanyakan, saya percaya), memang ada rasanya. Sesuatu yang ada namun tak berwujud, sekiranya mirip dengan udara yang kita hirup. Cecitraan dan koneksi dari keyakinan secara religi yang kerap digambarkan sebagai sesuatu yang berjarak namun dekat malah menghasilkan pemahaman absolut, tentang keyakinan akan alam tertentu, hidup sesudah mati dan alam lain selain manusia adalah kontinuitas kehidupan yang tak akan berhenti.

Sebenarnya bukan hal yang mutlak untuk mengatakan bahwa ini ada atau tidak. Korelasi hubungan antara yang nyata dan maya seringkali terpaut dalam lingkup standar yang mengatakan bahwa masih ada wujud fisik yang tak mungkin dijangkau. Karena dia masih diperdebatkan ada atau tidak, lain halnya kalau mau menanyakan ke Tim Pemburu Hantu, mungkin harus belajar silat dan cari botol dulu buat menangkap makhluk gaib. Udah bisa ditangkap, biar tak kelihatan juga, tanya saja sama mereka.

Kalau saya sih percaya, sama Ghostbuster.