Monday, February 20, 2006

Manifes Seni Rupa Indonesia

Teman-teman pencinta Seni Rupa Indonesia,

Sehubungan dengan kasus kriminalisasi karya seni rupa Indonesia yang dialami rekan perupa Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar menyangkut karya mereka Pinkswing Park, kami, mewakili setiap orang yang selama ini mencintai Seni Rupa Indonesia, serta bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan Seni Rupa Indonesia, sepakat untuk menyatakan sikap. Pernyataan sikap kami dapat dibaca di bawah ini. Kami membutuhkan sebanyak-banyaknya dukungan dari rekan-rekan seniman, penulis, kurator, kolektor, pengelola galeri, jurnalis, dan lain-lain untuk menyuarakan sikap ini.

Kirimkan dukungan Anda melalui postingan di link ini. Cukup dengan mengirim balasan berupa pernyataan SETUJU atau MENDUKUNG, disertai nama lengkap dan profesi, alamat e-mail dan nomor telelpon. (Tanpa nama jelas, alamat e-mail, atau alamat lain yang bisa dihubungi, tidak akan dimuat.)

Perkembangan kasus yang menimpa Agus Suwage + Davy Linggar, juga mengenai pernyataan sikap ini akan terus bisa Anda pantau melalui situs-blog ini.

Terima kasih.

.............................................

Manifes #1:
Seni rupa adalah bidang kerja dan keahlian yang setara dengan bidang keilmuan lainnya yang memiliki aturan dan wilayah otonomi masing-masing. Karenanya, soal-soal yang menyangkut perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap karya seni rupa selayaknya mengutamakan pandangan, gagasan, pemikiran dari lingkungan disiplin seni rupa itu sendiri.

Manifes #2:
Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir dan penilaian atas suatu karya seni rupa, seperti juga kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan penciptaan karya seni rupa. Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas karya seni rupa dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat yang beradab dan demokratis.

Manifes #3:

Kami menolak penilaian atas karya seni rupa yang menggunakan sembarang pandangan dan norma yang tidak bersangkut-paut dengan disiplin dan keahlian seni rupa. Terlebih lagi jika penafsiran dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran— dengan embel-embel "mewakili suara dan kepentingan mayoritas" sekalipun.

Manifes #4:
Kami membela sepenuhnya kebebasan berpendapat, tapi bukan sebagai alasan dan cara untuk mengancam, menghukum, mengurangi, atau bahkan menghapus kebebasan berpendapat pihak lain. Maka, kami menolak segala cara dan upaya yang secara sembrono memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni rupa sebagai tindakan kriminal.

Manifes #5:
Kami membela sepenuhnya hak dan kebebasan setiap pihak untuk menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan yang mempertemukan karya seni rupa dengan masyarakat-pameran, pertunjukan, diskusi, penerbitan, dan lain-lain-karena kami percaya bahwa masyarakat Indonesia memiliki hak untuk menikmati dan mengapresiasi karya seni rupa dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka.

Maka, kami menyayangkan dan mengecam pihak-pihak yang terus berdiam-diri membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap penciptaan karya seni rupa dan penyelenggaraan kegiatan seni rupa. Kami menagih peran negara (cq. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dan badan lain yang terkait), dan juga lembaga-lembaga pendidikan seni rupa untuk membela keabsahan seni rupa Indonesia sebagai bidang keahlian yang punya otoritas keilmuan dan dapat diselenggarakan di ruang sosial yang bebas dan terbuka.

Manifes #6:
Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni rupa Indonesia dan pranata pendukungnya—seniman, penulis, kritikus, kurator, model, komunitas seniman, kolektor, pengelola galeri, balai lelang, media massa, majalah seni rupa, jurnal dan lain-lain—mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab dan demokratis.

Karenanya, kami akan mengatur diri dan hidup kami sendiri. Kami akan berhimpun untuk menyatukan pikiran dan pendapat, menyusun prinsip-prinsip etik bagi penyelenggaraan kegiatan seni rupa yang menjamin pekembangan dan kemajuan Seni Rupa Indonesia di tengah perkembangan seni rupa dunia.

Cemara Galeri-Kafe, Jakarta
15 Februari 2006
(Tim perumus pernyataan ini: Aminudin TH Siregar, Arif Ash Shiddiq, Enin Supriyanto, Hendro Wiyanto, Rifky Effendy)

.............................................

Sekedar berbagi, membantu upaya rekan. Thk's buat Ucok dan Dhani 'Sancok'.

Sumber dari link ini : http://pinkswing.wordpress.com/

Antara Seni melawan Keras Kepala

Salah satu dari aksi yang ramai belakangan ini di beberapa kota besar di Indonesia selain kontroversi karikatur bodoh itu adalah:

Aksi melawan pornografi dan porno-aksi yang katanya merupakan teror kedua dalam urusan kebersamaan dan ketentraman masyarakat beragama yang (katanya lagi) beradab dan berbudaya ketimuran.

Arus informasi dalam perjalanannya akan tetap terus berkembang, sampai mulut kita berbusa-busa pun, kita tetap butuh asupan informasi yang jelas dan maksimal. Arus informasi, merupakan aspek lain yang terdekat dan hidup dalam relung nafas masyarakat perkotaan. Bukan sekedar mendefinisikan konteks informasi perkotaan dalam artian sentralisme urban, masyarakat dalam perkembangan kadar intelektual, memang mau tak mau harus mau dibesarkan oleh informasi. Itulah, mengapa arus informasi yang begitu deras mmampu mengakibatkan lapisan bias yang nyata apakah kekerasan, hiburan, gosip dan politik sampai libido, dan kemudian salah satu acuan yang hendak di berantas: pornografi, kemudian menjadi sajian, hiburan dan ekstase bagi bunga-bunga perjalanan menuju (yang baru mau) nuansa modern di negara ini.

Dan sangatlah biasa arus perubahan tema pengalih beritaan untuk menunjang aksi sosial informasi di negara ini. Setelah isu maraknya demo anti pornografi mungkin anti pembangunan PLT Nuklir, setelah anti PLT nuklir mungkin wabah ulang flu burung yang bermutasi, setelah itu mungkin saja demo anti harga TDL yang semakin aduhai. Saya yakin, beberapa dari kita semua memang sangat terkena dampak akan hal ini, selebihnya kita berpikir lepas dan cenderung cuek bebek dan sibuk melakukan pergerakan lainnya demi menunjang kelangsungan karir dan perut. Sedangkan bagi sebagian lagi merasa berhak menghantam Porno-tittude ini dengan keras, sebagian malah kebalikannya, dengan mengkhawatirkan susahnya nanti distribusi DVD porno terbaru di lingkungan sejawat dan sebagian lagi acuh tak acuh karena itu memang konsekuensi sebuah perjalanan kebebasan kenegaraan dalam konteks yang lebih global.

Rencana mengesahkan cakupan anti pornografi di negara ini adalah kebijakan yang disahkan dalam rencana undang-undang. Kekhawatiran bagi sejumlah kelompok memang dilihat dari adanya upaya mengkebiri habis-habisan kebebasan arus media, campur tangan negara yang terlalu dalam, aparat yang membabi buta menangkap para pengecer koran Kuning, Koran Rakyat sampai tabloid ecek-ecek tersebut, ormas-ormas keagamaan yang merasa berhak menjadi polisi Moral, sampai ( fiuh ..lagi lagi) salah kaprah dalam mengkategorikan nudity sebagai pornografi Apalagi dengan kemasan yang lebih halus dan memang segmentif, Seni, Part of Art. Boro-boro untuk mencoba mendefinisikan pornografi, mereka sendiri malah mematahkan perkembangan untuk mencoba melihat permasalahan tentang batasan, definisi dan lingkup cakupan Pornografi dengan jernih. Semua di babat, apapun ujudnya yang mencoba memamerkan organ vital adalah Pornografi, entah pria, wanita maupun kaum tengah-tengah. Pornoaksi, saya merasa istilah ini tidak tepat, apa yang menjadi batasan dan statemen jika ada sifat yang dilakukan mengarah kepada pornografi? Apakah aksi hubungan seksual suami istri dianggap pornografi pula?. Inilah wajah RUU Pornografi – Porno-aksi dinegara kita yang menganggap kisi-kisi Pornografi sebagai materi mati yang saklek dan tak bernyawa, bukan sesuatu yang terkait dengan kepentingan lain, sudut pandang lain, batin, rasa, selera dan wilayah moril.

Oh ya, saya hampir lupa, Seni (rupa) sebagai gagasan dalam tulisan ini, memang kemudian terlihat menjadi semakin terkekang. Keterbukaan?, saya tidak yakin, jika tematik tentang tubuh manusia yang saat ini semakin terbuka dan menyajikan realita dalam wacana seni makin bebas diumbar dalam proses kekaryaan. Tema seni kembali mundur berpuluh tahun kebelakang, ketika nudity, anthroposentris, anatomi dan segmen realita menjadi sangat tabu untuk diungkap. Pretensi dangkal lain yang hinggaplah yang menjadi acuan polisi-polisi moral dan riil itu sendiri, dalam menentang tematik pornologi ini. Ternyata kekeraskepalaan dalam upaya menegakkan konsep dan haluan memang susah. Seniman memang dituntut keras kepala, bagaimanapun juga itikad konsep dan wujud kekaryaan tidak pernah dibatasi dalam benak sampai kemudian lahir dimensi nyata yang bersentuhan dengan sosial, etika dan norma tradisi ataupun modern yang dihadapinya. Dan untuk kembali bertentangan dengan lingkup sosial yang keras kepala juga. Tentunya kita seharusnya bisa membedakan mana yang lebih berkualitas, kualitas artistik foto tabloid Exotica atau karya Darwis Triadi.

Apa yang salah rasanya dari hal ini? Jelasnya, ini yang terpenting, batasan yang jelas!, rembukan dan mengakomodir kepentingan aspek lain, bukan prinsip kacamata kuda, yang merupakan acuan yang penting dalam menyimak ruang lingkup sesuatu itu menafikan nilai moral, pornografi atau tidak. Negara maju di Luar Negeri (katanya pula) membiarkan acuan hakiki yang menilai porno atau tidaknya suatu produk masyarakat, media, budaya, estetika dan artistik dalam nilai kelayakan masyarakat, bukan undang-undang institusi negara yang membabi buta membabat semua aspek terkait yang nantinya malah akan melahirkan standar ganda. Saya tidak yakin, apakah analogi: membakar lumbung padi yang digerogoti hama tikus, cukup efektif untuk hal ini. Saya hanya mempercayai bahwa Pornografi sebenarnya memang ditujukan untuk segmen dan kalangan dewasa dengan afiliasi dan komoditas industri. Lalu apa gunanya batasan 17 tahun keatas? Hanya batasan yang mengaturnya, bukan institusi.

Keragaman muatan informasi yang dipilih oleh kita adalah hak, kita berhak untuk memilih, kita berhak meniadakan nilai morak, dan kita juga berhak memutuskan informasi mana yang layak. Bukan malah seperti seorang pembeli yang kebingungan dalam toko kelontongan yang hanya di isi oleh satu produk industri, standar pula. Apa layak itu disebut swalayan atau toko kelontongan?. Karagaman bukan keseragaman.

Maju memang membutuhkan keberanian. Negara ini baru saja lahir dalam proses demokrasi yang dibilang telat, dan euforia kebebasan mengakibatkan semua orang merasa berhak mengemukakan pendapat dan melanggar hukum. Lihat saja dalam keseharian, apa sih yang membuat masyarakat sampai saat ini semakin patuh rambu lalu lintas? Sedangkan Aparat sebagai institusi hanya sibuk memproduksi retorika semata. Apa sih yang mengakibatkan beberapa segmentasi generasi muda merasa berhak memberontak dari sistem distribusi fashion, gaya hidup dan intelektualita, pada akhirnya mereka malah sibuk menggali uang dari sistem yang mereka ciptakan?. Mengapa eksploitasi yang nampak dalam rancangan undang-undang malah mengakomodir kepentingan definisi porno yang diciptakan kaum Pria, dengan menjadikan Wanita dan anak-anak sebagai objek penderita, cenderung tidak netral dan berpihak manapun?. Mengapa kita tidak melongok aspek televisi yang dengan bebasnya tanpa permisi seringkali menyajikan moralitas semu yang dibungkus dengan estetika dangkal tentang kekerasan dan mesum? Padahal pengaruh kebutuhan televisi lebih menggila dibanding media cetak di negara ini.

Sudah patutkah kita ikut berteriak di jalanan untuk menghantam segala aspek yang dianggap pornografi ( yang memang tidak jelas apa definisinya?), sembari (ikut-ikutan) mengalami ketakutan atas serbuan arus informasi tanpa polarisasi nilai baik dan buruk yang memang tak bisa dibendung mentah-mentah dan sembari tidak bisa berpikir bijak melihat hal ini?. Sementara sebagian dari kita dengan santai menganggap kebutuhan tentang wacana seks dimulai dari materi yang berharkat (seni) dan juga memang kitsch (murahan).

Selalu ada pro dan kontra. Selalu ada hitam dan putih dalam memandang persoalan, abu-abu masih bebas berkeliaran dengan ujud penjernihan. Selalu ada tafsir yang merasa benar, dan merasa bijak dengan melakukan kebijakan tanpa blue print persoalan yang jelas kecuali hantam kromo asal bablas ala mafia proyek. Merekalah sebagian dari kaum puritan yang takut atas perubahan informasi arus lintas benua, batasan dan muatan melanggar kedaulatan spiritual. Sebagian ikut-ikutan dan lainnya kebanyakan sok tahu. Sedikit yang jernih memandang persoalan. Karena kebutuhan tentang erotisme ternyata sangat wajar. Bukan liar beredar dalam kehidupan masyarakat tanpa batasan yang jelas.

Ternyata banyak sudut pandang yang berhak untuk ditelaah dan dijalankan, bukan sekedar mencak-mencak dan membakar sesuatu yang jelas-jelas masih terbuka untuk dibahas. Semestinya mereka semakin dewasa, bukan menjadi tambah pandir dan bebal. Sebagian bangsa kita terlalu takut untuk hidup dalam keragaman, namun memilih nyaman dengan keseragaman. Apalagi kemudian merasa berhak menjaga Moral.

--------------------

Agak telat mungkin. tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Tidak ikut ngomel maksudnya hehe.

Friday, February 10, 2006

Stones A'!

Image hosting by Photobucket

Ternyata, setelah sekian lama, saya lupa jika logo The Rolling Stones yang sangat terkenal ini dibuat oleh John Pasche, bukan Andy Warhol seperti yang saya kira sebelumnya. Logo ini memang sangat terkenal, karena keterkenalan itu pula sampai saat ini memang merangkum para pecinta musik yang memang beragam, bahkan sampai para kaum bromocorah, begajulan, berandalan tukang palak atau apapunlah namanya, intinya sih kaum preman, (terutama yang saya ketahui banyak berada di Bandung) sering menggunakan istilah Stones sebagai ke'akuan' dirinya. Stones, stun, nyetun atau apapun istilahnya memang dikonotasikan sebagai mabuk. Mabuk selain tindak kriminil memang salah satu acuan wujud ke-Preman-an mereka toh?

Logo yang (entah katanya tapi emang benar sih) terinspirasi dari bibir ndowernya Oom Mick Jagger, sebenarnya patut dipertanyakan. Karena Keith Richard maupun Bill Wyman sama sama ndower. terlebih setelah mereka menjadi kakek-kakek saat ini.

Tak dapat dipungkiri, karena keterkenalan band ini di seluruh dunia sampai ke Indonesia di tahun 70 dan 80-an, image bad boy yang lekat dalam diri personil Stones, menjadikan dirinya sebagai ikon keberandalan yang tak lekang dimakan masa. Sejarah band ini memang tak akan terlupakan sebagai anti daripada image anak baik-baik the Beatles. Drugs, Sex, Rock N Roll dan kasus perceraian tiap personilnya menjadikan tipikal wajah generasi muda yang dicintai dan dibenci. Mungkin hanya Motley Crue di dekade saat ini yang bisa menyaingi perilaku liar mereka.

Transformasi logo ini dalam wujud simbol (dan kaos terutama) telah membius generasi muda yang saat ini semakin rajin menggali otentisitas masa lalu. Cool-nya retro Rock n Roll semakin membumbungkan identitas yang sempat terlupakan saat ini.

Stun A' !

check ini : John Pasche dan the Rolling Stones.