Thursday, April 21, 2005

Part 2

Matinya kepekaan sosial serta tumbuhnya masyarakat yang cenderung antisosial. mengakibatkan kepedulian lingkungan yang minim akan sifat toleransi.Individu yang mendasari lahirnya penipisan relasi dan komunikasi. Dan semakin tumbuhnya masyarakat yang soliter.

Masyarakat yang terasing dari anggota komunitas lainnya. Rasa solidaritas sosial makin menipis. Sikap individual jelas saja kian menebal.

Bagaimana tentang konspirasi untuk mempertegas dukungan paradoks dan skema pecah belah institusi masyarakat?
------------------------------------------------
Pembodohan tetap terus berlangsung. Sedangkan spirit kultur adalah pelahiran berbagai macam ambigu yang tak sanggup di institusikan seperti halnya seni (sendiri) sebagai nafas estetis dalam masyarakat.

Rekayasa terpenting dalam Sejarah sosial ?
----------------------------------------------------
Begitulah, sejarah, dalam perspektif apa pun akan selalu menyimpan tanda tanya dan kekuatan besar untuk menerobos ke segala celah, menyentuh peristiwa demi peristiwa.

Semoga saja nilai nilai itu terbentuk dalam kultur yang lebih baik. Masyarakat, bagaimanapun rusaknya masih memiliki nilai relasi. Dalam konteks yang berbeda beda pula.

Wednesday, April 20, 2005

Part 1

Bagaimana anda melihat perilaku seseorang dalam konteks sosial yang cenderung menyimpang, dan menghilangkan batasan interaksi individu sama sekali ?

Antisocial Personality Disorder
-----------------------------------------------------

Cenderung terkucil. Yang bukan tak mungkin mampu melahirkan kejahatan. Kejahatan merupakan mata rantai perilaku awal terhadap upaya menguasai individu lain baik secara kekerasan dan pemaksaan. kejahatan adalah bentuk tindakan yang sangat keji (grave crimes) yang menggoyahkan naluri kemanusiaan, baik secara fisik dan mental. Bisa jadi komunikasi terputus yang diciptakan kelas kelas sosial makin mempertegas akan hal ini.

Wujud fisik masyarakat 'sakit' yang tersembunyi lewat perilaku liar dan antisosial yang berujung kearah kejahatan. Dunia memang makin kejam.

Masyarakat jadi semakin takut dengan cecitraan, 'kejahatan' yang muncul karena ini.

Apakah masih ada?. Bisa jadi. Dengan upaya masyarakat individual dan instingtif perilaku industri, memungkinkan hal ini menjadi kenyataan. Problematika yang cenderung 'sakit'. Untuk memungkinkan situasi seperti ini dibutuhkan tahapan seperti infrastruktur teknlogi yang makin mengukuhkan kepentingan individual secara personal. Jarak dan waktu makin pendek tapi hubungan antar manusia semakin rapuh. So? ini bisa saja kesimpulan kelewatan, tapi ada baiknya kita mulai memperbaharui skema praktis tentang relasi dan komunikasi.

Apakah ini bentukan dari sistem institusi untuk mempertegas dominasi kekuasaan? dan menciptakan ketergantungan lembek nan apatis?
-----------------------------------------------------

Yah, mungkin sedikit kelewatan jika saya membandingkan dengan konsepsi masyarakat iconoclasm dalam konteks sekarang. Bisa jadi. Bagaimana masyarakat dibentuk untuk mengenyahkan motif keyakinan dan pandangan konservatif secara utuh. Dengan optimasi ranah politis yang dalam hal ini dikuasai pemerintah. Jika pada masa lalu masyarakat ini cenderung barbar dan tak bernalar dalam toleransinya terhadap perbedaan, maka bibit bibit iconoclasm malah muncul dan tak pelak lagi hal tersebut makin terdukung oleh arus lintas global ideologi baru dan yang lainnya.

Interaksi sosial masih diperlukan, toh, bukan sampai kompleksitas negara maju yang cenderung muncul karena konservasi nilai dan keyakinan berganti dengan arus narasi teknologi. Maka kemungkinan itu ada walaupun kecil, untuk dimanapun.

(tulisan ini maunya provokatif semata, gak usah dipercaya)

Tuesday, April 19, 2005

TORTOISE

Instrumental? atau memang tak pernah butuh seorang vokalis ?? Ada vokal tapi jarang sekali dipakai ?

Namun band yang eksis sejak 90-an awal ini, secara musikal memang sangat menarik. Konsistensi memainkan musik yang cenderung 'asing',dalam tempo sedang dan memang menggunakan isntrumen yang jarang dipakai. Kombinasi seperti instrumental dan cenderung eklektis. Instrumen seperti; Vibes, Lap Steel, Marimba dan Electric Harpsichord. Musik yang dimainkan, kasarnya seperti ini, Radiohead di album eksperimentalnya, Kid A dan Amnesiac namun tanpa vokal sama sekali, dan cenderung lebih manual.

Mungkin pendapat saya bisa salah dan bisa benar juga.

Image hosted by Photobucket.com

Beranggotakan 5 personil, dan personil paling lawas adalah Doug McCombs dan John Herndon. Salah satu personil terdahulu, David Pajo, pernah bergabung dengan band one-hit-wonder, ZWAN yang dibentuk oleh Billy Corgan (ex-Smashing Pumpkins).

Album terakhir yang saya dengar adalah album TNT, tahun 98. Album terakhir mereka adalah; It's All Around You (2004).

Image hosted by Photobucket.com

klik disini: ###

Monday, April 18, 2005

- kepalsuan prinsipal -

Bagaimana tentang jual beli idiom gender dalam konteks semata hiburan ? lihat ini

Kebebasan berekspresi. Dan kepalsuan prinsipal yang dijual secara telak.

Lihat ulang tentang kebebasan, demokrasi dan batasannya. Kebebasan ekspresi individu ini tak bisa dinikmati di bawah pemerintahan otoriter di masa lalu, di mana banyak terjadi rekayasa penyeragaman pola perilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik.

Lagak modernitas dalam perbedaan paham. Inilah yang membuat kaum yang merasa dan memang 'intelektual' tersinggung. Dalam hal ini, intelektualitas secara keseluruhan diuji di paparkan dan dilihat ketahanannya melawan arus besar pengkerdilan opini cecitraan secara ilusif. Seorang Edward Said (1935 - 2003), mengatakan bahwa intelektual adalah individu yang dianugerahi kemampuan menggambarkan, mewujudkan, dan menyampaikan suatu pesan. Sedangkan masyarakat dalam hal ini secara definitif merupakan sebuah dunia menengah yang berada diantara negara dan rumah tangga, dihuni oleh kelompok-kelompok terorganisir atau asosiasi dimana terpisah dari negara dan pasar, dan kemudian menikmati sebagian otonomi didalam hubungannya dengan negara dan terbentuk (secara sukarela) oleh anggota-anggota masyarakat untuk melindungi dan memperluas kepentingan, nilai atau identitas mereka.

Kesimpulan lain; intelektualitas, tidak berarti menghakimi dan memberikan pengertian sosial tanpa memenuhi unsur kepentingan pribadi dan masyarakat. memberikan pengertian lewat media, layaknya sebuah pisau yang memiliki sisi tajam berkarat dan bersih lembut menyayat.

Sesuai dengan budaya ketimuran(?)

Kepentingan dan nilai identitas ternyata menjadi semacam bumbu penyedap konflik dalam tatanan antara masyarakat intelektual dan kepentingan intelektual pasar. Ketimuran, sebuah paradigma baru yang dibekukan dalam konteks barat. Karena ketimuran sendiri menyimpan relasi sosial dengan pengaruh ribuan tahun semenjak imperialis awal berdiri. Saat itulah cecitraan timur mulai membentuk hegemoni kolektif tentang keragaman. Sebagai sesuatu yang tidak lagi dibanggakan. Keragaman yang mengubur persatuan menuju perbedaan.

Wacana untuk lebih apatis tepatnya. Kolektifitas modern.

Ini bukan lagi konsep utuh dalam kacamata perdebatan arus Timur dan Barat(mistifikasi problema nan basi).

Mengubur dalam dalam impian utopis atas netralitas semu. Dunia media terbagi dalam wujud fungsional dan tujuan. Imaji sampah dalam sampan arus besar idealistik. Kebenaran fundamental dari sektor pemerhati dan pemberi saran menuju hal yang lebih baik, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian.

Meaning for meaning's sake
. Ini bukan berarti akhir digjayanya proletariat dalam metode sekular. Mitologi sebuah negara dunia ketiga yang menerima sampah dan produk produk copy serba instan. Tidak salah, namun inilah pemberhalaan barat yang berlebih dalam konteks ini. Yang menimbulkan sensasi konyol soal estetikasi mimpi dan cita cita.

Ini kebenaran, kebenaran yang bisa saja didistorsikan. Kebenaran dan persepsi tentang kebenaran memang sangat bergantung kepada artikulasi. Sehingga sebuah kebenaran politis yang 'benar' bisa menjadi salah karena artikulasi yang salah. Sehingga polarisasi nilai nilai kebenaran memang rancu ketika kepentingan masyarakat sebagai sistem ekuasional dalam institusi berseberangan dengan kaum intelektual yang mengupayakan mode utopis dalam strata baru masyarakat yang cerdas. Mistifikasi ilmu ilmu teknis yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah.

Saya jadi ingat, ungkapan seorang tokoh Turki, Abdullah Cevdet, yang mengangankan upaya peradaban dan hegemoni dari Barat seutuh utuhnya. Pinjamlah Mawar dan durinya sekalian. Menelan bulat bulat sampai muntah. Saya jadi heran, ini sebuah ungkapan pujian atau putus asa ?.

Penguasa tentang media dan opini, di satu sisi, memiliki logika kebenaran politis yang tidak begitu saja bisa diterima oleh masyarakat. Yang di dalam dirinya terdapat logika kebenaran komunal, di sisi yang lain.

Dan ketika sebuah angan berhasil dikumpulkan dalam selera kolektif. Sebuah selera dan hasrat yang cenderung tak bersih. Profane Wishes. Maka angan angan kotor tentang materialisme dan imaji cecitraan berhadil dibentuk dalam sebuah wadah. sebuah wadah keberagaman media yang menikmati titik tolak keragaman ekspresi individu.

Jangan pernah untuk mencoba percaya.

The Hand That Feeds

Nine Inch Nails, kembali mengeluarkan album terbarunya, With Teeth (2005). Album album awalnya selalu mengingatkan akan bumbu bumbu sampling ala Depeche Mode namun dengan gebrakan distorsi yang penuh.



Dalam single terbarunya, The Hands That Feeds, musik yang ditawarkan jauh lebih kalem namun masih terasa menghentak. Berikut project garage band yang di usung oleh Trent Reznor dan kawan kawan ini.

Image hosted by Photobucket.com

Cenderung berbeda dengan album album berikutnya. Semenjak penampilan luar biasa di double album live dan CD, And All That Could Have Been (2002), yang dikemas oleh David Carson. Perjalanan panjang sejak 1989 dan kemasan artistik yang cukup berat disetiap albumnya. Jujur saja, ini salah satu band lawas yang telah lama diotaki oleh Trent Reznor sendiri, dan cukup jenius dalam eksplorasi sound.

klik disini +++

Thursday, April 14, 2005

Buggles

Video musik pertama, yang mengudara di MTV pada tahun 1981. Dengan judul "Video Killed the Radio Star", dari Buggles. Hit nomor satu di UK pada tahun 1979.

Image hosted by Photobucket.com

Geoff Downes, sang keyboardist, sesudahnya sempat malang melintang bersama YES dan ASIA.

Menarik, salah satu fenomena radio saat ini kerap sebagai komplementer dari arus utama industri musik. Walau sebenarnya masih sangat penting.

Suicidal Tendencies

American skatepunk and metal at it's hard finest.

Mungkin sang vokalis, Mike Muir, sudah menyesal mengingat masa jayanya dahulu. Suicidal Tendencies, salah satu band yang mengkombinasikan antara rap, punk, heavy metal dan hardcore. Jaya di tahun 80-an sebagai salah satu band heavy metal kontroversial dengan lirik lirik sembarangan. Musiknya sempat mengalami periode solo gitar berpanjang panjang ala trash metal dan sesaat kemudian kembali lagi ke-roots awal, punk.

Image hosted by Photobucket.com

Jangan bandingkan dengan Hair Rock. Dengan dandanan lebih mirip chicanos dan urban kelas jalanan, musik mereka memang anti dengan kemapanan. Dan beberapa sempalannya, Mike Muir dan Robert Trujillo (sekarang di Metallica), pernah membentuk band one-hit-wonder, Infectious Grooves dengan single terkenalnya yakni, Feed The Monkey (1994).

Album album klasiknya seperti, Join The Army ( 1987), How Will I Laugh Tomorrow... When I Can't Even Smile Today (1988), Still Cyco After All These Years (1993) dan lainnya.

Image hosted by Photobucket.com

Sintesa sebuah eksistensi, gonta ganti personil dan sedemikian liar. Tua tua gila.

Wednesday, April 13, 2005

Opini publik dan kebutuhan media

Saya jadi teringat, yakni berita terkini di media massa, tentang investigasi kasus kematian aktifis HAM, Munir. Yang saat ini tersangkut dengan dugaan (publik) adanya konspirasi tingkat tinggi antara intelejen dan aparat publik yang melayani korban saat itu, yakni Maskapai Penerbangan Garuda. Kinerja polisi yang melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap awak kapal yang notabene petugas di dalam pesawat dan orang orang yang diduga lemah keterlibatannya mengundang tanda tanya yang cenderung skeptikal. Apakah sebenarnya ini merupakan ekses kambing hitam belaka atau memang ini yang diharapkan dengan mengumpulkan bukti bukti terdekat. Sebenarnya opini publik memang wajar, mengingat daftar panjang kinerja Kepolisian Negara republik Indonesia saat ini dipenuhi banyak nilai merah dibandingkan prestasinya.

Sosok hasil ditunggu tunggu dengan optimasi pekerjaan yang tergesa gesa dan menimbulkan rasa heran.

Perlahan, saat ini publik menjadi apatis. Berita sekedar memenuhi media dan dirasa tidak menciptakan hasrat penting mengubah kredibilitas optimistik tentang keadilan. Publik menjadi mafhum dan parahnya lagi citra menjadi buram. Angan angan utopis akan tatanan pembaharuan orde pemerintahan saat ini,mulai menunjukkan gelagat yang kurang baik.

Tugas media mungkin menjelma menjadi mencari pembenaran empiris. Media dan jurnalisme bisa objektif. Tapi objektivitas bukanlah tujuan. Objektivitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Itulah sosok kebenaran yang diharapkan. Pembelajaran, untuk lebih mengerti . Masyarakat disisi lain memahami kepentingan yang dirasa cukup dalam kapasitas hierarkis.

Sebuah kawasan umum dengan rasionalitas yang dicerap sebagai wujud eksistensialitasnya sendiri.

Image hosted by Photobucket.com
Artemisia Gentileschi (Italian, 1593-1651/53), Judith Beheading Holofernes, 1620, oil on canvas

Mungkin ini wujud filsafat publik.

Seorang Walter Lippmann, (mungkin yang mendalami jurnalisme lebih menguasai tentang tulisannya) pernah mengutarakan tentang upaya penyadaran publik. Sebuah relasi media antar kuasa. Dimana pertanggung jawaban dan otentisitas sebuah berita dapat meluncur dalam koridor yang lebih netral. Distorsi cecitraan makna dapat menghapus dan mendorong publik kearah yang tidak sesuai dengan harapan komunikasi. Publik ternyata memiliki keinginan mengatur apa yang mereka inginkan. Bukan realita atau fakta yang menyedihkan yang mereka ingin ketahui dan disimpan dalam memori kritis.

Dimensi sosial membutuhkan kejujuran, tapi sesuai yang mereka inginkan. Sendi sendi pembelajaran dan sisi cecitraan yang lebih baik. Baik dipaksakan atau tidak.

Tidak heran muncul berita berita miring, soal hiburan, hedonisme dan polah politik keranjang sampah. Semua di kristalkan pada kebutuhan media mengejar tiras, rating dan dukungan spektator. Sesuatu yang aneh, pasti memiliki nilai berita. Karena di situlah keingintahuan orang ramai, muncul

Realitas (empirik) bisa kelaut saja(!).

Orang percaya pada apa yang mereka ingin percaya dan gambar-gambar yang ada dalam benak orang bisa lebih berkuasa dari realitas itu sendiri. Bahkan ketika realitas ada terang-benderang di depan mata kita. Kita dididik lebih untuk mempercayai apa yang kita harap ingin lihat. Dan publik menjadi mual dan gelisah membayangkan dengan kondisi alam sekarang.

Publik ternyata sudah berubah menjadi sebuah komunitas kuasa yang patut di-service. Sesuai keinginannya.Pembelajaran yang menyimpan dualitas makna. menggiring ke arah yang lebih baik atau yang malah menghasilkan pemahaman yang salah.

Sebaiknya kita memang lebih kritis.

Tuesday, April 12, 2005

Dillinger Escape Plan

Salah satu band yang memainkan musik secara teknis dan 'berat'. Perpaduan antara kompleksitas jazz dan grindcore. Cenderung dissonant, tapi selalu dapat dipadukan. Ajaib, kadang memainkan skema fussion tapi mendadak menjadi liar dan brutal, dengan growl dan beat beat yang penuh sinkop.

Image hosted by Photobucket.com

Berdiri sejak 1996 dan telah merilis 3 album penuh dan 2 album single. Terakhir albumnya bertajuk; " Miss Machine ", masih menegaskan kesetian konsep awal. Njelimet, rumit dan teknis.

Image hosted by Photobucket.com

Nice artwork. Klik disini +

Monday, April 11, 2005

- the battle for middle earth -

Salah satu game keluaran Electronis Arts (EA) dipenghujung tahun kemarin, yang menurut saya amat bagus. Tema Lord Of The Ring, baik dalam film dan game memang spektakuler.

Image hosted by Photobucket.com

Dan ini screenshoot dari salah satu scene pertempuran pahlawan pahlawan Isengard dan balatentara Uruk menyerbu Helm's Deep.

Image hosted by Photobucket.com

Dengan format dvd, game ini berkapasitas 3,89 GB. Dengan ekspektasi graphic yang menawan.

klik disini

Friday, April 08, 2005

Kamera

Dokumentatif dalam format realita sebagai milik pribadi.

Yah begitulah, semenjak diketemukannya teknologi untuk kamera itu sendiri. Runtutan histori tentang capture realita tergantikan secara revolusioner. Sesuatu yang meninggalkan jejak tegas dalam perkembangan ke arah penggambaran realitas. Semenjak Nicephore Niepce, seorang kimiawan Perancis penemu teknik fotografi, terlahir ke dunia. Dia adalah orang pertama yang menemukan bahwa citra yang dibentuk di bawah cahaya matahari dapat dipertahankan dengan cara melapisi sebuah plat logam dengan bitumen, sebelum menempatkannya di dalam kamera obscura untuk memperpanjang usianya. Dan pada tahun 1827, Niepce melakukan kerjasama dengan Daguerre dan berhasil mendesain kamera foto pertama.


View from His Window at Le Gras,1827,Joseph Nicéphore Niépce

Dan itulah, foto pertama di dunia tercipta. Karya Niepce, View from His Window at Le Gras (1827), dan Boulevard du Temple Paris (1838) karya Daguerre adalah tentang kota. Sebagai objek pertama yang diangkat. Sebuah upaya mencitrakan manusia dalam keramaian. Dengan kota sebagai wujud utama yang menempatkan manusia sebagai pendukungnya. Objek sejarah. Dengan menjadikan kamera sebagai alat identifikasi di mana publik, manusia atau spektator akan merasa pengalamannya terepresentasikan.

Semenjak itulah alur perkembangan pemampatan cecitraan sebagai objek historis mulai berlanjut sampai sekarang.

Jadi?

Realita dapat dibekukan, disimpan dan dimaknai sebagai catatan penting tentang sejarah. Semenjak adanya kamera dengan format film, video kamera dan terkini adalah teknologi digital, sebagai lambang upaya jaman. Dengan kemudahan tersebutlah maka sisi historis dimaknai sebagai keseharian. Untuk sebagai upaya mengingat kejadian terpenting . Sebagai catatan jaman, selama wujud fisik dokumentatif itu bertahan sekuat mungkin.

Merekam kejadian dalam format lintas dimensi dan audio sebagai dimensi suara, melintasi nuansa gelombang udara dan video sebagai sebuah momen yang dibekukan dalam kepingan data digital (untuk saat ini). Hiruk pikuk kenyataan yang dibekukan juga pada akhirnya.

Dan kemudian, kekuatan audio serta visual yang hadir dalam sebuah gambar yang begerak , dapat memunculkan berbagai penafsiran serta inteprestasi baru dari realitas yang ditangkapnya.

Selanjutnya, bagaimana medium ini dipresentasikan sebagai sebuah medium pencatat? Apa saja kemungkinan yang dapat digapai oleh medium ini?. Terlebih, bagaimana medium ini dimanfaatkan oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu guna merekam, mencatat, akankah kemudian menjadi sebuah manuskrip dari dan untuk semua yang dikemudian hari akan menjadi sejarahnya sendiri?

Ya...sejarah sendiri akan mencatat. Tak lebih untuk dibaca dan dikenang saja.

Imaji yang dibekukan lewat kamera kemudian menjadi saksi bisu yang sarat dengan nilai historis. Sebuah alat yang nantinya sampai saat ini pun dipakai untuk dikendarai berbagai macam tatanan ideologi, propaganda keseharian, cinta, kenangann, institusional, momen bersejarah, hiburan, perlombaan fisik, pornografi, kriminalitas, politis, dan alat perpanjangan tangan aparat negara. Dan masih banyak ditunggangi kemungkinan lain sebagai wujud fisik cita rasa alat sebagai perpanjangan tangan memori dari manusia.

Kebenaran bukan nilai hakiki, kebenaran telah menjadi nilai fungsional. Sekedar catatan yang didaur ulang dengan teknologi sebagai ide saat ini membalikkan lagi konsep tunggal sebagai milik semua. Memori dapat di tandai kembali dalam album kenangan dalam diri masing masing. Bahkan dapat menelusuri kedalam wilayah pribadi masing masing individu. Dan dapat mengalami pengalaman secara fisik maupun batin.

Demikian jika sama halnya gagasan para filsuf modern yang menganalisa imaji, baik dalam aplikasinya hingga saat ini. Seakan akan semua yang ada dibalik gambar dapat di ketahui. memunculkan gagasan tersendiri. Gagasan-gagasan para filsuf modern itu kerap tidak nyaman di telinga para penjaga status quo(!): kedengaran 'subversif' bagi rezim politis, 'biadab' bagi ortodoksi agama, dan 'sinting' bagi mediocrity. Namun merekalah yang membuka jalan bagi kebebasan berpikir. Dengan mencermati fenomena teknologi, makna dan acuan populis yang diciptakan oleh revolusi imaji dan cecitraan inpipun. Elemen kesadaran modern itu dalam berbagai ajaran, mulai dari humanisme Renaisans, rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, materialisme,romantisme, dan positivisme dapat terkuak dengan menganalisa imaji, cecitraan yang dihasilkan oleh sebuah benda yang disebut kamera. Dalam hal ini berawal dari sinilah, sampai sebuah teknologi yang nantinya akan terus berkembang menuju pembaruannya. Sebuah cecitraan alat sebagai produk peradaban dan teknologi hingga terkini.

Yang meninggalkan ruang kosong untuk diisi oleh kita selaku manusia.

Thursday, April 07, 2005

Bandung yang semerbak

Busuk.

Demikian bau yang terlintas, ketika melewati pertigaan arah menuju kampus ITB dengan Kebun Binatang Bandung dan Jalan Tamansari. Apalagi jika dimusim hujan. Makin semerbak aromanya. Sosok gundukan sampah yang luar biasa tingginya dan mungkin amat sangat mengerikan jika kita dapat menerobos kedalamnya.

Menarik, membayangkan sosok gundukan sampah itu perlahan lahan menjelma menjadi sosok monster raksasa yang menghancurkan rumah rumah dan lingkungan sekitarnya. Imajinasi yang kelewatan, tapi mungkin rasanya.

Image hosted by Photobucket.com

Jika menunjuk pada kinerja Dinas Kebersihan Kota Bandung, saya tak akan membahasnya lebih lanjut. Malas. Karena dengan tumpukan sampah sebesar rumah, dipojok pojok kota tersebut sudah diketahui pada akhirnya bahwa antisipasi dan kinerja Dinas Kebersihan Kota yang sangat 'terpuji dan jempolan'. Semenjak kejadian tanah longsor di TPA Leuwi Gajah tersebut, alternatif lain selaku TPA tak bisa berjalan sesuai perencanaannya.

Banyak orang tahu jika Bandung kini memang tak senyaman dulu. Aroma kesejukan, dan keramahan kotanya tak lagi terasa. Bandung saat ini justru makin pabalatak, seiring dengan bertambahnya penduduk yang mencapai 2,6 juta lebih jiwa. Angka ini, tentu saja telah melampaui ambang batas. Kusut dalam urusan tata kota dan jalur lalu lintas yang kerap berubah benar benar mengindikasikan pola lama pengaturan yang diterapkan ulang dan tak pernah berhasil.

Hal ini makin ditunjukkan dengan bertambahnya problematika penanganan sampah, macet di titik titik terpenting dan pembangunan jalan layang yang berkesan dipaksakan. Dan sehingga munculnya bencana karena sampah (!) dan menelan korban jiwa pun, penanganan hal seperti ini malah tambah runyam. Benar kata Bang Rhoma, "Gali Lubang tutup Lubang" , tak ada habis habisnya. Dan parahnya, kesadaran kita terhadap bencana alam biasanya baru muncul kalau sudah terdapat korban jiwa. Kalau bencana belum terjadi, persoalan lingkungan sering kali diabaikan, bahkan cenderung tidak digubris oleh pihak-pihak tertentu.

Begitulah ini ekses dari sikap warga bandung belakangan yang membuang sampah seenaknya, tanpa peduli dengan dampak yang ditimbulkan. Sementara kebijakan pemda baru pada tingkat bagaimana membuang dan menumpuk sampah.

Sementara ini para kepala daerah tingkat II, khususnya di Kota dan Kabupaten Bandung , belum memikirkan bagaimana cara yang baik untuk mengolah sampah yang benar sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ya gimana mau mengolah, kalo biaya pengadaan alat untuk mengolahnya amblas ntah kemana.

Beginilah wajah Bandung. Jika saya pikir pada postingan tentang Imagining Bandung, adalah prediksi dan imaji luas tentang kompleksitas Bandung, maka sampah kali ini turut berperan serta. Imaji wajah seperti sehabis menyapukan sampah di bawah karpet yang kian lama kian membusuk. Sosok penting catatan romantika. Jangan jangan sisi moril dan andil pun kian membusuk layaknya gunungan sampah di wilayah Bandung.

Pada akhirnya semua bisa saling menyalahkan. Daya pikir yang lemah, ditambah dengan nafsu jangka pendek untuk mengejar ambisi jabatan dan kekuasaan yang menghinggapi para pejabat birokrasi maupun para politisi lokal, membuat rakyat biasa sengsara. Dan yang terpenting dan yang ini paling terpuji: mereka (dan kita) tak pernah belajar menghadapi hal ini.

Klik disini dan disini

Wednesday, April 06, 2005

Feodal ...sumpe loh ...

Feodalistik. Feudalism.

Yup.. kata yang satu ini terkesan menjijikkan, namun juga menciptakan kenangan penting akan suasana penjajahan zaman doeloe kala. Sosok pribumi yang memberi hormat dan patuh pada penjajah asing yang menggerakan skenario dinamis penghisapan, kekayaan alam negara ini. Menciptakan romantisme belaka, soal betapa idealnya jika diteruskan dan dilestarikan warisan dan juga teraturnya aturan dan tata letak ideologis jaman tersebut. Feodalistik, sosok imaji penting dalam hierarki antara penguasa dan bawahannya, dalam skema terjajah. Kalau di soal politik, lebih menuju idiom perbudakan. Feodal, juga amat sangat memungkinkan munculnya kultus individu, patronase, budaya patuh yang membudak serta hilangnya daya kritis dalam berpikir adalah beberapa nilai yang lahir seiring dengan ideologi sadar dan tanpa sadar, alias feodalisme ini.

Itu mungkin saja bisa disebut keniscayaan sebuah hegemoni usang? politik? partai? ideologi?. Ternyata hal ini belum usai. Masih saja penjajahan dan semenjak sebenar benarnya arus berpikir terus mengalami alienasi dengan akarnya. tercabut dari tempatnya dan merasa asing dengan identitasnya. Feodal terhadap cara berpikir dan memandang, intensitas fun karena virtual world, patuh terhadap mode, cinta tanah air dengan membabi buta mengangkat opsi opsi politis megalomaniac jaman orde lama dulu dan lainnya. Saya rasa, ini bisa jadi perpanjangan tangan kelewatan (jadinya) feodalistik dan kepatuhan terhadap unsur unsur lama yang dibarukan.

Sok tau banget.

Analisa tertentu terhadap gejala neo-kapitalis? menciptakan modifikasi kebutuhan tanpa menyiratkan seberapa jauh kepentingan akan hal ini dibahas?. Saya pikir inilah jadinya salah satu bentuk 'feodalistik' baru. Kita menjadi patuh terhadap aturan dan ukuran stabilitas materi hidup, dengan ragam kebebasan yang terbatas. Yak ! dibatasi sekali lagi dibatasi dalam ragam kebebasan tersebut. Publik menjadi spektator dan pelaku gerai pilihan dengan kepatuhan dan ketakutannya akan kehilangan nafas kebebasan, yang diatur tentunya. Bebas sih bebas, tapi bebas memilih dari yang disediakan cuma segitu ya males banget deh. Mau lebih tinggi levelnya? tidak semuanya sanggup untuk itu.

Apa iya ?

Generasi TV? udah lama dibahas. Generasi Mode? ranah wilayah yang jelas jelas dilematis. Kita masih butuh pencerahan, demi menunjang karir dan pekerjaan masing masinng terutama di bidang kreatif (hihihi). Dialektika kita rupanya sudah terlalu usang untuk dipakai menakar pembebalan via ranah batiniah ideologi. Dan sebanyak mungkin melahirkan golongan tertentu di masa ini, yakni golongan terpenting di muka bumi nusantara super dodol ini, yakni golongan emang-gitu-aja-kok-repot-gak-penting-tau-gak. hehehehehe

Itulah keteraturan, kitsch sampai wawasan generasi bisu dan imagologi-nya. Sampai kapan dan sejauh apa kita patuh terhadap hal ini, bukan tugas kita, atau saya sendiri untuk menguraikannya. Males banget.

Kalo kata seseorang yang (sok) bijak ; "Kita tak akan pernah bisa melarang burung terbang diatas kepala kita, namun kita bisa mencegah burung itu hinggap di kepala kita". Sayang gak dijelaskan gimana reaksinya, kalo sang burung tidak hinggap, namun poop di atas kepala kita.

Tuesday, April 05, 2005

Imagining Bandung

Tadi malam (4 April 2005), atas pemberitahuan mendadak, akhirnya menghadiri sebuah pembukaan pameran yang bertempat di Galeri Soemardja, ITB. Dengan tajuk 'Imagining Bandung'. Sebuah proyek kolaboratif antara seniman, desainer,tukang foto keliling serta ahli tata kota dan kelompok kelompok arsitek. Yang diupayakan mencitrakan konsep dan representasi wajah Bandung, dari sisi yang terkait lewat kerja artistik dan kolaboratifnya.

Pameran ini bertolak dari pameran serupa di jakarta, yakni Imagining Jakarta. Sekitar tahun kemarin, 10 September - 29 Oktober 2004.

Sebuah pameran yang ditujukan untuk memberikan pemahaman dalam ruang urban serta lintas disiplin, yang dianggap mewakili sosok identifikasi Bandung pada akhirnya. Bandung menjadi wujud lain dengan sejuta romantisme dan sejuta konflik pula identitas dan akar budaya yang kian lama kian tercabut. Beberapa karya memang disusun dengan intensitas responsif seniman tentang problematika kota Bandung, dan beberapa karya lagi menampilkan representasi lansekap 'sewajarnya' sebuah kota yang saat ini carut marut.

Buah permasalahan antara institusional aparat pemerintahan dan gagap transformasi budaya saling terkait. Dan terkait pula sebuah sosok populis dalam trah tradisional. Sosok tukang foto keliling dari kampung ke kampung yang di anggap mewakili sosio-kultural wajah Bandung dalam dua dekade terakhir ini. Bagaimana mode dan perubahan terjadi dan dinamikanya terhenti tanpa bisa naik dalam level yang lebih tinggi. Upaya cecitraan yang cukup eklektis rupanya.

Begitulah, percepatan dan keadaan yang muncul menyebabkan adanya pemahaman berbeda tentang Bandung. Identitas sewajarnya dan problematika sebuah kota di susun dalam repetisi yang kian kering. Upaya ini patut di hargai rasanya, sosok representatif tentang identitas kota berhasil diangkat. Terlepas dari bebagai kelebihan dan kekurangannya.

Benar adanya yang ditulis seorang Rifky Effendy, bahwa kota itu sendiri perlahan lahan menjadi locus parade berbagai macam konflik. Sebuah entitas dinamika. Yang sekian lama menyimpan segudang permasalahan tentang dominasi kapital, ekonomi, budaya, sosial dan seni. Transformasi dari titik tolak sebuah lansekap kota dengan ribuan makna tersendiri. Itulah kota Bandung saat ini.

klik disini

Friday, April 01, 2005

keseharian

Setiap kegiatan manusia berakhir di tempat tidur. Dan bangun untuk memulainya kembali. Pergulatan pada sisi eksistensialis diri. Ada dan tidak ada akhirnya menjadi jalur instingtif yang ditumpahkan pada sisi pencapaian batiniah.

Memahami sisi kehidupan dengan mem-filsafat-kan keseharian.

Sebagian dari tema-tema eksistensial manusia: kelarutannya dalam keseharian, kecemasannya, bahkan keterlemparan kehidupannya bagai roda yang menggelinding menuju kematian. Keteraturan yang dinamis ternyata terhenti oleh aspek lain dalam cecitraan nafas. Yang terkadang menghela nafas, tersengal sengal dan terhenti. Kematian jadi suatu definisi ilmiah tentang tubuh, bukan menakar jiwa atau ruh, sesuatu yang luar biasa kompleks. Dan dimudahkan secara fisik, untuk ketika roh manusia di-ilmiahkan dalam ampul 21 gram.

Artikulasi pengucapan yang terhenti saat hidup dan mati ditentukan oleh sebuah hembusan nafas.

Ketika kesendirian datang pun manusia tetap melawan dengan relasi sosial. Dan ketika semuanya terpecah kedalam wilayah sosial, pada akhirnya kesendirian menjadi kebutuhan dalam wujud aktualisasi diri wilayah pribadi. Sosialisasi menjadi tumpuan baku hirupan nafas modern yang kian lama tersengal sengal. Nama penting ruh kejiwaan dan kehidupan. Dengan mutilasi zat dan elemen pribadi dalam kelompok kelompok sosial. Aktualisasi wujud diri sendiri kearah mempertanyakan identitas. Identitas gamblang apa itu manusia, dalam kesehariannya.

Kehidupan mungkin tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran yang ditentukan oleh kehidupan. Bisa saja kesadaran menjadi suatu upaya menyadari supremasi 'narasi' tentang kehidupan. Ketika, disatu sisi perlambangan sosok Tuhan yang dianggap menciptakan jalur lalu lintas dan aktifitas keseharian manusia. Di sisi lain mucul pula adanya upaya menganalisa tanda dan direksi penciptaan-Nya, tanpa harus melibatkan kisi kisi sang ikon yang disebut 'Tuhan'. Pertentangan tetap harus ada demi menjaga dinamika kehidupan, rupanya.

Rutinitas yang tercipta dalam keseharian individual menghasilkan tematik besar bagi narasi sebuah filsafat keseharian. Kehidupan memang menggulirkan nafas keteraturan yang sering lupa untuk didobrak. Wujud kaku ekspresi tunggal wajah pucat manusia ditampilkan dalam suatu narasi tunggal. Irama industri. Suatu hal yang bertolak belakang ketika globalisasi mencengkram berbagai penjuru dunia. Upaya mengadakan skema eklektisitas, perayaan unsur unsur bebas dan lepas dalam satu kontrak mati ekonomi Mega-kapital. Surga maha ada, yang menumpulkan asa. Dan menciptakan ekstase dahaga kebendaan dan orientasi materialistik, belaka.

Itulah keseharian yang meliputi komplektisitas dan rumitnya takaran kegembiraan batiniah. Jika secara fisik manusia mampu mengadakan manipulasi citra, maka secara bathin manusia mencoba memberikan pemuasan dari dahaga pada tingkat tertinggi. Yang diyakini lebih mengarah pada solusi jiwa. Religiusitas yang terbentur pada dinamika zaman. Religi, pada akhirnya memang merupakan suatu pilar peradaban disamping dengan Ilmu pengetahuan dan Seni. Religiusitas yang akhirnya bermuara pada kesimpulan dan doktrinasi masa di jamannya yang terus berkembang. Meluas dan tak akan berhenti pada sebuah akhir pencarian.

Ketika Teknologi makin menusuk urat urat darah sendi kehidupan keseharian pun, pencarian tentang definisi manusia dalam kehidupan kesehariannya tak akan berhenti untuk sesaat sekalipun. Sampai pada akhirnya keseharian menjadi elemen elemen teknologi yang disosialkan lewat tangan tangan sistem, yang di sejarahkan oleh manusia itu sendiri dan pada akhirnya melahirkan manusia konsumtif dan takluk akan ciptaannya sendiri.

Secara sadar dan tidak (mau) untuk disadari pun, keseharian menjadi narasi filsafat yang indah. Ketika gelombang putus asa dan surga batiniah saling tercampur. Disaat itulah rasanya kita memiliki suatu catatan tentang perjalanan indah tentang dinamika keseharian, kesedihan dan anugrah. Keseharian yang dibaca pada akhirnya dengan teliti.

Ada apa dengan Nazi-nazian ..

Sama terkejutnya saya dengan melihat seseorang, yang mengenakan jaket tentara jerman pada era Nazi (1933-1945) lengkap dengan ban di lengan. Yang tertera logo swastika itu, di jalanan di kota Bandung.

Image hosted by Photobucket.com
SS officer's black uniform

Entah gaya, entah gak tau atau emang nazi lokal yang salah tangkap soal estetika. Yang pasti saya sempat kagum juga dengan 'upayanya', setelah itu mau ngakak seharian ...

Image hosted by Photobucket.com
Karya lustrasi dari Paul Kolsti (1953-2003)

klik disini