Saya jadi teringat, yakni berita terkini di media massa, tentang investigasi kasus kematian aktifis HAM, Munir. Yang saat ini tersangkut dengan dugaan (publik) adanya konspirasi tingkat tinggi antara intelejen dan aparat publik yang melayani korban saat itu, yakni Maskapai Penerbangan Garuda. Kinerja polisi yang melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap awak kapal yang notabene petugas di dalam pesawat dan orang orang yang diduga lemah keterlibatannya mengundang tanda tanya yang cenderung skeptikal. Apakah sebenarnya ini merupakan ekses kambing hitam belaka atau memang ini yang diharapkan dengan mengumpulkan bukti bukti terdekat. Sebenarnya opini publik memang wajar, mengingat daftar panjang kinerja Kepolisian Negara republik Indonesia saat ini dipenuhi banyak nilai merah dibandingkan prestasinya.
Sosok hasil ditunggu tunggu dengan optimasi pekerjaan yang tergesa gesa dan menimbulkan rasa heran.
Perlahan, saat ini publik menjadi apatis. Berita sekedar memenuhi media dan dirasa tidak menciptakan hasrat penting mengubah kredibilitas optimistik tentang keadilan. Publik menjadi mafhum dan parahnya lagi citra menjadi buram. Angan angan utopis akan tatanan pembaharuan orde pemerintahan saat ini,mulai menunjukkan gelagat yang kurang baik.
Tugas media mungkin menjelma menjadi mencari pembenaran empiris. Media dan jurnalisme bisa objektif. Tapi objektivitas bukanlah tujuan. Objektivitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Itulah sosok kebenaran yang diharapkan. Pembelajaran, untuk lebih mengerti . Masyarakat disisi lain memahami kepentingan yang dirasa cukup dalam kapasitas hierarkis.
Sebuah kawasan umum dengan rasionalitas yang dicerap sebagai wujud eksistensialitasnya sendiri.
Artemisia Gentileschi (Italian, 1593-1651/53), Judith Beheading Holofernes, 1620, oil on canvas
Mungkin ini wujud filsafat publik.
Seorang Walter Lippmann, (mungkin yang mendalami jurnalisme lebih menguasai tentang tulisannya) pernah mengutarakan tentang upaya penyadaran publik. Sebuah relasi media antar kuasa. Dimana pertanggung jawaban dan otentisitas sebuah berita dapat meluncur dalam koridor yang lebih netral. Distorsi cecitraan makna dapat menghapus dan mendorong publik kearah yang tidak sesuai dengan harapan komunikasi. Publik ternyata memiliki keinginan mengatur apa yang mereka inginkan. Bukan realita atau fakta yang menyedihkan yang mereka ingin ketahui dan disimpan dalam memori kritis.
Dimensi sosial membutuhkan kejujuran, tapi sesuai yang mereka inginkan. Sendi sendi pembelajaran dan sisi cecitraan yang lebih baik. Baik dipaksakan atau tidak.
Tidak heran muncul berita berita miring, soal hiburan, hedonisme dan polah politik keranjang sampah. Semua di kristalkan pada kebutuhan media mengejar tiras, rating dan dukungan spektator. Sesuatu yang aneh, pasti memiliki nilai berita. Karena di situlah keingintahuan orang ramai, muncul
Realitas (empirik) bisa kelaut saja(!).
Orang percaya pada apa yang mereka ingin percaya dan gambar-gambar yang ada dalam benak orang bisa lebih berkuasa dari realitas itu sendiri. Bahkan ketika realitas ada terang-benderang di depan mata kita. Kita dididik lebih untuk mempercayai apa yang kita harap ingin lihat. Dan publik menjadi mual dan gelisah membayangkan dengan kondisi alam sekarang.
Publik ternyata sudah berubah menjadi sebuah komunitas kuasa yang patut di-service. Sesuai keinginannya.Pembelajaran yang menyimpan dualitas makna. menggiring ke arah yang lebih baik atau yang malah menghasilkan pemahaman yang salah.
Sebaiknya kita memang lebih kritis.
1 comment:
kren tulisannya
Post a Comment