Busuk.
Demikian bau yang terlintas, ketika melewati pertigaan arah menuju kampus ITB dengan Kebun Binatang Bandung dan Jalan Tamansari. Apalagi jika dimusim hujan. Makin semerbak aromanya. Sosok gundukan sampah yang luar biasa tingginya dan mungkin amat sangat mengerikan jika kita dapat menerobos kedalamnya.
Menarik, membayangkan sosok gundukan sampah itu perlahan lahan menjelma menjadi sosok monster raksasa yang menghancurkan rumah rumah dan lingkungan sekitarnya. Imajinasi yang kelewatan, tapi mungkin rasanya.
Jika menunjuk pada kinerja Dinas Kebersihan Kota Bandung, saya tak akan membahasnya lebih lanjut. Malas. Karena dengan tumpukan sampah sebesar rumah, dipojok pojok kota tersebut sudah diketahui pada akhirnya bahwa antisipasi dan kinerja Dinas Kebersihan Kota yang sangat 'terpuji dan jempolan'. Semenjak kejadian tanah longsor di TPA Leuwi Gajah tersebut, alternatif lain selaku TPA tak bisa berjalan sesuai perencanaannya.
Banyak orang tahu jika Bandung kini memang tak senyaman dulu. Aroma kesejukan, dan keramahan kotanya tak lagi terasa. Bandung saat ini justru makin pabalatak, seiring dengan bertambahnya penduduk yang mencapai 2,6 juta lebih jiwa. Angka ini, tentu saja telah melampaui ambang batas. Kusut dalam urusan tata kota dan jalur lalu lintas yang kerap berubah benar benar mengindikasikan pola lama pengaturan yang diterapkan ulang dan tak pernah berhasil.
Hal ini makin ditunjukkan dengan bertambahnya problematika penanganan sampah, macet di titik titik terpenting dan pembangunan jalan layang yang berkesan dipaksakan. Dan sehingga munculnya bencana karena sampah (!) dan menelan korban jiwa pun, penanganan hal seperti ini malah tambah runyam. Benar kata Bang Rhoma, "Gali Lubang tutup Lubang" , tak ada habis habisnya. Dan parahnya, kesadaran kita terhadap bencana alam biasanya baru muncul kalau sudah terdapat korban jiwa. Kalau bencana belum terjadi, persoalan lingkungan sering kali diabaikan, bahkan cenderung tidak digubris oleh pihak-pihak tertentu.
Begitulah ini ekses dari sikap warga bandung belakangan yang membuang sampah seenaknya, tanpa peduli dengan dampak yang ditimbulkan. Sementara kebijakan pemda baru pada tingkat bagaimana membuang dan menumpuk sampah.
Sementara ini para kepala daerah tingkat II, khususnya di Kota dan Kabupaten Bandung , belum memikirkan bagaimana cara yang baik untuk mengolah sampah yang benar sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Ya gimana mau mengolah, kalo biaya pengadaan alat untuk mengolahnya amblas ntah kemana.
Beginilah wajah Bandung. Jika saya pikir pada postingan tentang Imagining Bandung, adalah prediksi dan imaji luas tentang kompleksitas Bandung, maka sampah kali ini turut berperan serta. Imaji wajah seperti sehabis menyapukan sampah di bawah karpet yang kian lama kian membusuk. Sosok penting catatan romantika. Jangan jangan sisi moril dan andil pun kian membusuk layaknya gunungan sampah di wilayah Bandung.
Pada akhirnya semua bisa saling menyalahkan. Daya pikir yang lemah, ditambah dengan nafsu jangka pendek untuk mengejar ambisi jabatan dan kekuasaan yang menghinggapi para pejabat birokrasi maupun para politisi lokal, membuat rakyat biasa sengsara. Dan yang terpenting dan yang ini paling terpuji: mereka (dan kita) tak pernah belajar menghadapi hal ini.
Klik disini dan disini
5 comments:
bener..
ya.
padahal tadinya gue mau ngajakin lo makan di padang pertigaan situ, ternyata udah jadi wartel.
Tuah Sakato maksud lo Bon ??
Enjoyed a lot! Roulette chips poker chips http://www.value-city-furniture.info No oil on dipstick volvo s40 Free bingo on line for cash american tv car covers Kawasaki atv tires and wheels party poker A dream lotto v1 6 1 multilingual http://www.camcorder-mini-dv.info debt consolidation roulette online Basketball background images Peugeot 307 drive shaft 3 wheel car
Post a Comment