
In His Infinite Wisdom, Damien Hirst, 2004.
Ada kesamaan objek namun terlihat perbedaan tipis antara Damien Hirst dan Gunther Von Hagen dalam memperlakukan objek. Hagen bisa jadi sedikit 'sakit', Hirst bisa jadi sedikit 'normal'. Sedikit tipis bukan ? atau malah kebalikannya ?
Hirst mem-formalinkan dan merendam objek mati ( hiu, domba dll) untuk membentangkan pertanyaan misterius objek kontemporer yang cukup mencekam, Hagen mengawetkan dan menguliti mayat manusia dan memperlakukannya sebagai objek seni. Estetika tubuh versi Hagen, dengan mengesampingkan moral dan kesusilaan objek tubuh mati manusia.

The Skin Man, Gunther von Hagens, Institute for Plastination, Heidelberg, Germany, www.bodyworlds.com
Persepsi audiens dalam pameran keduanya sepakat secara sama : mencekam. Bedanya Hirst lebih dekat dengan khasanah seni rupa sendiri, namun Hagen piawai menunjukkan inovasi yang telah dia lakukan untuk menunjukan kemampuan plastinasi mayat.
Kenormalan mutlak dan batas normal sedikit gila mudah ditemui dalam seni, karena wacana seni sendiri secara tekstual tak terbatasi, namun ujud fisik menjadi batas.
Apa yang mendasari 'kekurangkerjaan' seni dalam mengubah sesuatu yang normal menjadi tidak normal ? Apa yang menyuarakan perupaan seni menjadi selalu benar dalam bahasan akademis seni rupa? Sebagian percaya moral adalah tolok ukur untuk membatasi seni, sebagian lagi ( seperti kaum performance dan Dada menggelontorkan ide tubuh sebagai objek seni ) mengatakan masih banyak cara yang lebih baik mewujudkan estetika dengan baik-baik dan sewajarnya.
Sikap saya adalah netral saja, bagi saya mereka berbeda.
hagen dan hirst