Monday, February 28, 2005

Shaman dan teknologi

Sebuah arus seharusnya bisa di jinakkan.

Seperti halnya makna teknologi sekarang, lihat saja, bagaimana ketergantungan untuk sms, dan menelpon mengalahkan kebutuhan telpon rumahan. Penjauhan persinggungan individu mengakibatkan kepentingan yang tadinya lebih kearah sosial menjadi arah individual. Pribadi, wilayah private. Namun apa jadinya fungsi dan wilayah kausal dari shamanistik di lokal scene saat ini ?

Shaman alias dukun, alias aplikasi kepentingan mistik. Seakan mewakili kacamata timur dalam memandang persoalan hidup. Arus kultur tentang budaya manusia di Indonesia yang memang dari dulunya melihat unsur pijakan spiritual sebagai acuan hidup. Adanya pusat dunia bawah dan tengah serta luar ,di yakini sebagai wujud lain transendensi kepemilikan hidup manusia.


Hendrawan Riyanto, Photograph in Action Poetry Poet of the Body, 2002 (Performance/ Action Art)

Kita hidup bukan sebagai lahir, berkembang biak dan mati.Ada kepentingan lain yang mendasari jika memang manusia itu hidup untuk menciptakan sesuatu. Hal mana yang di yakini sebagai perbedaan, progres dan kemajuan adalah modernitas futuristik sebagai roh kehiddupan manusia barat. Hidup selaras dengan alam telah lama mulai di tinggalkan , semenjak arus penuh acuan hidup berkat globalisasi ini. Dalam hal ini terkadang sinkronisasi belum tercapai.

Hal yang berimbas jauh pada transendensi makna tentang teknologi, dan pemahamannya. Yang ternyata tak bisa semuanya di laksanakan secara global. Ada pro dan kontra. Sesuatu yang dalam hal ini dapat dikaitkan secara langsung kepada kepentingan sistem. Sistem usang yang di padu dengan arus baru. Maka tak heran rasanya, istilah gagap teknologi dan penyalahgunaan fungsi sebenarnya terasa, karena memang kultur yang di ciptakan dari awal tak melihat pada kepatuhan unsur rasional belaka.


Joseph Beuys: How to Explain Paintings to a Dead Hare, Photo from Performance on Nov. 26, 1965.

Globalitas basi, menuai kepentingan salah kaprah. Arus teknologi dengan pemahaman sejajar soal identitas dan status mungkin tak akan layak di perbandingkan , seperti halnya saat orang sedang menenteng nenteng kardus new iMac G5 terbaru di tengah kerumunan tempat pelelangan ikan sambil berjalan ke arah dukun, wadul alias gak nyambung. Siapapun dan apapun wujud teknis tak mengenal usia, batas kelamin dan ras.
Karena itu, hidup di mana kita berada mengalami dinamika atau perubahan terus-menerus secara alami. Bila kemudian kita menilai bahwa perubahan yang terjadi di Bumi ini menjurus kepada keadaan krisis, hal itu tentu penilaian subyektif.

Membandingkan dengan tayangan tayangan gaib di televisi ? rasanya bisa di tebak kegagalan arus dimensi rasionalitas di Timur mengakibatkan Timur kehilangan kendali atas sebuah arus kekaryaan dan penciptaan akan kemajuan teknis sebuah pengetahuan. Dalam hal ini terkadang dialog antara timur dan barat berlangsung dengan sangat pelik dan runyam. Sayang kerapkali ini bisa di salah artikan, Timur dianggap lebih mengacu pada unsur unsur lain selain rasionalitas. Mistisisme dan spiritualitas timur justru kerapkali melahirkan kondisi pencerahan yang lebih baik. Disinilah kerap menjadi persinggungan, benturan dan pengejawantahan yang keliru.

Modern dan kecanggihan tak selalu nyaman rupanya. Friksi terkadang amat sangat di butuhkan untuk mengoptimalisasikan gerak dan wahana tubuh itu sendiri. Teknologi tak selalu lebih baik ternyata. Sekali lagi itu hanya medium. Sama halnya dengan ketika komunikasi dengan makhluk lain ada di luar sana dan kasat mata.Yang kita yakini jika itu ada tentunya.

Friday, February 25, 2005

Forever Delayed ( 2003 )



Apa yang mulai di bahas tentang band ini ?

1. Anti Kapitalis
2. Drugs and Rock N Roll ( entah Sex nya di mana )
3. Politik Kekiri kirian
4. Ngetop banget + Gila Bola

Diawaki oleh 3 orang, James Dean Bradfield , Sean Moore dan Nicky Wire. mengeluarkan album Motown Junk tahun 1990 yang sangat terpengaruh riff riff nya Guns N Roses di album album awal,Apetite For Destruction + Punk ala The Clash.

Salah satu dvd yang cukup termasuk sering di tonton oleh saya. Ada sekitar 30 lagu dan video klip, dimulai dari "Motown Junk" (1990) sampai "There by the Grace of God" (2002). Termasuk di dalamnya beberapa klip lawas yang masih manghadirkan sang gitaris lama, Richie Edward, sebelum dia hilang dan tak pernah kembali hingga kini.

Sebelumya juga ada koleksi yang cukup mengasyikkan ketika Manic Street preachers, tampil di Cardiff Stadium, Leaving The 20th Century - Cardiff Millennium Stadium 1999/2000 , aksi live yang cukup keren di penghujung tahun 99.

Salah satu dari sekian band yang mengemas pesan pesan anti kapitalisme yang di wujudkan pada haluan politis musiknya. Cukup radikal dalam merilis kata kata dalam lirik, terlalu banyak dipengaruhi idola mereka seperti The Clash, mungkin.

Saya tak punya kata kata lebih untuk band yang udah malang melintang lebih dari belasan tahun dan punya nama besar di Inggris ini.

Wednesday, February 23, 2005

Filsafat Sakit Perut

Dimulai dengan ...sakit perut.

Saya yakin jika kita mengalami kondisi di mana seakan akan gelembung udara di dalam perut yang kian mendesak dengan terganggunya pencernaan karena kesalahan asupan zat zat dari makanan yang selalu telat dan tak teratur.

Wah, ternyata sakit perut karena hal ini memiliki dua kajian makna sesungguhnya. Satu lari terbirit birit setiap ada kesempatan ke WC, sedangkan yang kedua, sebisa mungkin menahannya. Menahan sakit perut di tengah rapat kantor adalah resiko yang amat sangat mengerikan dan ketika terbirit birit di pagi hari harus bangun sementara malamnya menderita sakit perut tak berkesudahan. Hmmmm ....bukan sebuah kondisi yang mengenakkan.


James Turrell, Night Passage, 1987 - new media

Dan saya sering melamun, betapa hal ini bisa membuat kita tak berdaya. Kondisi fisik manusia yang kian lama kian rapuh.Diakibatkan apa yang kita konsumsi selam aini sudah disusupi segala macam agenda politis dan infiltrasi ideologis semata dengan kadar gizi yang amat rendah,jelas jelas mengesampingkan nilai kesehatan. Dengan kata lain, unsur kimiawi.

Saya pernah membaca, biasanya jenazah ditaruh di sebuah peti kayu dan dibakar pada suhu 760 – 1150 derajat Celsius. Abu pembakaran kira-kira beratnya sekitar 5% berat jenazah. Jika dahulu temperatur panas yang di pakai untuk menakar mengkremasi jenazah cukup dengan skala sedemikian rupa, maka saat ini jenazah yang hendak di kremasi, temperaturnya harus di set berlipat kali dari 760 - 1150 derajat celcius,untuk lebih mempercepat proses menjadi abu (sialnya saya lupa sumbernya). Ternyata tubuh manusia sudah menjadi sedemikian alot dengan banyaknya unsur lain yang terdapat di dalam tubuhnya.

Perut adalah bagian dari tubuh, wilayah penting tentang bagaimana asupan zat yang dibutuhkan dan tidak di butuhkan oleh tubuh diolah disini. Dan zat zat yang dibutuhkan tentunya amat memungkinkan kita segar dan sesuai dengan porsinya dalam beraktifitas.


Matthew Barney,CREMASTER 5,1997 - Video, Performance Art, Mix media

Perhatian kita terhadap tubuh ternyata telah berputar pada segala macam nilai dan fisik yang lebih riil. Makna ideologis lewat pengukuhan identitas berganti rupa saat fisik di terapkan dalam hubungannya dengan keberlangsungan hidup. Sebuah wacana yang memiliki keberlangsungan konsep dengan fisik dan inderawi.Sebuha wilayah kajian ketika identitas gender, fashion, rangka ke-gaya-an hidup berlangsung dalam siklus superfisial berubah menjadi pahit ketika organ penting dari dalam tubuh sendiri menjerit jerit minta di perhatikan.

Tubuh sendiri dari semenjak sejarah Adam - Hawa terdeteksi, sudah menjadi semacam seismograf atau alat pencatat detil tiap aktifitas dari kebudayaan. Sesuatu yang luar biasa kompleks jika hal ini sendirian tanpa di bandingkan oleh sistem mekanis organ dalam tubuh yang merupakan sesuatu yang kerap di perhatikan. Ini menjadi pembeda pula ketika wacana tubuh di kaitkan dengan kepemilikan penis dan vagina. Konsep dan ribuan konsep androginitas tak akan usai dan beres ketika salah satu pihak dan dominasi saling klaim ulang wilayah kajian dan ideologis. Ketika salah satu pihak memuja ideologi maskulinitas dan satunya lagi konsep kecantikan femininisme maka kontradiksi tetap terjaga. Secara sadar atau tidak friksi dan pertentangan antara tarik ulur wilayah selalu terjadi.

Inilah metafora, sebuah bentuk wacana ataupun proses yang bersifat retorik yang memungkinkan manusia mendapatkan kemampuan aneh untuk mendeskripsikan kenyataan,jika dia mengalami ...sakit perut yang tak berkesudahan. Akibat salah makan tentunya.

Tuesday, February 22, 2005

Temporary Work Of Art

Membicarakan karya seni rupa dari seorang Christo adalah fenomenalitas yang di sandarkan pada respon bentuk dan bangunan.

Berikut cuplikan dari karya karya terbarunya, " The Gates", yang di pamerkan selama 16 hari di di Central Park, New York. Karya yang direncanakan dari tahun 1979 dan terealisasi semenjak 2004 akhir dalam proses display dan persiapannya untuk di buka dan di pamerkan dari tanggal 12 Februari sampai 29 Februari 2005.



Bisa di bilang, setelah fenomena karyanya membungkus gedung parlemen di Jerman, Reichstag, maka karya ini merupakan salah satu pencapaian artistik kesekian kalinya.



Selalu, selalu memandang bahwa persoalan bentuk, imaji dan impact karya perupaan yang luar biasa bisa diwujudkan.Inilah yang ditunjukkan oleh Christo, salah satu pilihan wujud artwork yang luar biasa.



selengkapnya >>

(Walau saya percaya, segala permasalahan bentuk serta muatan nilai penyajian dapat di hasilkan mulai dari karya seni sebesar kacang polong sampai setinggi menara petronas pun)

Monday, February 21, 2005

Imajinasi (liar dan tak beralasan)

Menunggu inspirasi muncul ternyata sudah gak musim lagi :P

Imajinasi ternyata bukan lagi sekedar cas cis cus awang awang yang di terjemahkan dalam visual dan teks otonom. Imajinasi menjadi semacam heroine yang mengakibatkan transendensi alam bawah sadar dan realitas saling bersinggungan.


Joseph Beuys - I Like America and America Likes Me/1974/performance art with coyote/pic 1

Sesuatu yang jelas berbeda ketika imajinasi dan logika nalar di pakai untuk saling mengukur kadar keberadaanya. Sistem yang menyimpan keniscayaan sebagai alat vital komposisi pengaruh kemajuan dalam berpikir.

Sebagaimana kita medistribusikan dengan baik dan memberikan jalur logis yang lebih nyata dalam bentuknya.Imajinasi liar menjadi sesuatu riil yang luar biasa.Dan inilah sesuatu yang seharusnya di produksi terus menerus. Menjaga konsep ideal berimajinasi dan menuangkan gagasan secara militan.


pic 2

Hal ini sesungguhnya yang kerap menjadi wilayah yang cenderung tak terbatas yang kerap kali di tautkan dalam ungkapan teks, visual, invensi dan lain sebagainya. sesuatu juga yang di sebut aura yang muncul setelah nalar logika bersambung tegas dengan imajinasi yang menghasilkan pemahaman wujud akhir yang luar biasa.Hal yang merindukan katarsis, seandainya logika dan imajinasi tidak menghasilkan sesuatu yang menjembatani, maka wahana misteri 'imajinasi' akan tak terungkap dan tetap menjadi misteri (yang basi).

Toh, saya sepertinya berbicara yang indah indah saja tentang logika dan imajinasi ini tanpa saling berkaitan, saya seperti kembali ke era lampau. Sesuatu yang di ulang ulang oleh para pemikir dan perupa di masa romantis. Menunggu ilham jatuh dari langit ternyata sudah usang. Memeliharanya ternyata merupakan prioritas yang tak lagi cerdas rupanya.

Thursday, February 17, 2005

Republik Orang Gak Punya

Miskin adalah ketakutan.

Hidup berkecukupan, bahagia dan punya simpanan materi sampai tujuh turunan.Dan sudah mati pun ingin masuk surga.

Semua orang punya mimpi yang sama, hidup dalam dunia yang nyaman dan tentram. Semua impian yang saling menautkan ketergantungan akan hidup yang lebih baik. Mimpi yang tidak salah. Dan bermimpi pun tak akan pernah dianggap bersalah.


Kathe Kollwitz,Poverty (1893-94) etching and drypoint

Bam! bagai peluru yang menembus lapisan tengkorak menuju inti otak dan menghancur leburkan jaringan fisik dalam isi kepala sampai terburai keluar dan menyapa dunia. Realita menghantam dengan kerasnya!.

Realita adalah kehidupan yang terkadang penuh dengan konflik,imaji, kelas dan kekerasan.Terkadang pun kekerasan yang terlahir dari refleksi dan luapan moral terbentur dengan realitas. Moralitas terungkap dalam bentuk tekad bathin dan menjadi pendorong paling kuat terhadap tindakan moral. Yang bersumber pada kaidah bathiniah yang terdalam.

Hidup menjadi penuh dengan letupan letupan friksi yang satu sama lain saling bertentangan. Kemakmuran batiniah menjadi jalan akhir dari perjalanan fisik dalam mengarungi hidup. Kekalahan dan kemenangan mereka dalam mengarungi hidup ternyata bukan main luar biasa artistik. Ini menjadi penyangkalan dalam mencapai orientasi kebendaan.Sama halnya dengan perbedaan kelas dalam hidup.Lapisan sosial yang terdiri dari benda dan wujud materi mengesampingkan kebersamaan dan memunculkan naluri terdalam. Ketakutan menjadi miskin. Dan kemiskinan adalah musuh.Ini juga yang membuat sebuah pertanyaan : memerangi kemiskinan dimananya ???

Jurang ketidakadilan terjadi,kesejahteraan rakyat pada umumnya meratap ketitik nadir .Kuasa hasrat budaya masyarakat besar dan kecil.Menjadi konsumtif karena dorongan aksi kapitalistik besar ternyata menjadi pilihan politis masyarakat awam sekalipun.

Dan pada akhirnya, segala bencana dan musibah akhir akhir ini, melempar wujud kemanusiaan dalam empati paling dasar ke dalam dunia yang sesungguhnya.Wujud kemanusiaan tanpa batas. Friksi dalam memanusiakan dirinya sendiri.

Kemanunggalan eksistensial itu ternyata sangat mahal harganya. Maka baiklah tidak ada yang memanipulasinya.Bagaikan mutiara yang sudah hilang, namun kini diketemukan kembali.Kami berhak untuk hidup layak dan lebih layak tentunya.

(gara gara postingan hari ini di blognya pakde kere kemplu neh hehehe)

Wednesday, February 16, 2005

Luar biasa



Entah bagaimana yang melawak dan bagaimana yang menyanyi. Lawak dalam lagu dan melucu saat bernyanyi. tapi sejujurnya,saya amat sangat tertarik.

Sebuah cover kaset idaman. :P

Tuesday, February 15, 2005

Evolusi keberpihakan

Apa yang kita lakukan untuk memahami dunia luar serta menerapkan wacana berpikir dalam konteks lokal ?

Ini yang saya pikir bisa di lakukan dalam mengkaji keberpihakan kita terhadap bingkai bingkai kontestual, selain banyak hal lain yang di pakai dan ramai di bahas untuk mengkritisi euphoria kebebasan sosial politis yang cenderung menjamur, dalam karya seni, sastra dan film eksperimental belakangan ini.


Nam June Paik /the Electronic Superhighway, 1990/"Global Encoder"

Lihat bagaimana globalitas memaknai tayangan televisi dan seluruh kaki tangan media itu sendiri, dan bagaimana pula kita lebih berhati hati menyikapi trend dan apa yang ada di sekeliling kita itu sendiri. Kehati hatian yang lebih majemuk.Walau secara sadar kita menggunakan hal tersebut.

Membingkai persoalan yang muncul dan apa yang kita santap sehari hari, visual, estetika, media dan informasinya,serta budaya dan hidup-gaya. Adalah utuh untuk lebih merayakan sikap penolakan dan penerimaan secara bersamaan. Seperti inilah, sikap provokasi yang lebih halus dengan wilayah Kaji Budaya, yang menghilangkan batasan populerisme dalam keseharian kehidupan masyarakat dengan estetika tingkat tinggi sehingga muncul nilai nilai nisbi. Sebagai wujud naluriah manusia, Vica Activa : kerja, karya dan tindakan, maka sepantasnya wilayah kaji sosial tak terhenti dengan sekedar pemahaman saklek akan kondisi perubahan dan dinamika konteks bepikir, terus menggeber dengan oktan tinggi dalam mencapai hakikat esensial hidup yang berpacu dengan waktu.(ini saya kutip sedikit dari pemikiran Hannah Arendt, tentang refleksi kritisnya terhadap etos kerja manusia)


"Helen Against Wall with Door," by George Segal, painted plaster and wood, 38 by 55 by 15 inches, 1987

Ada nilai nilai politis dan agenda sosial yang kerap melintas dalam pemahaman kita untuk mengapresiasikan sejenis penyajian estetika tingkat tinggi saat ini. Sesuatu yang diumbar sebagai pemahaman akan ketertarikan tema dan wilayah “basah” para praktisi, pemikir dan individu sosial dalam mengkreasikan medan “permainannya”.

Ketika ini menjadi sebuah titik tolak akan munculnya skeptisitas dalam wilayah dan area berpikir saat ini. Narasi yang muncul karena titik temu dan nilai jenuh yang kerap kali menghantui esensi pluralisme dalam wilayah lokal. Hanya bagaimana kita secara sadar mempergunakan wilayah ini untuk sekedar “berpihak” dan menggunakan elemen sosial dengan tidak lagi menelan mentah mentah selayaknya pola pikir sederhana segolongan sosial dalam konteks lokal.Dialektika sederhana tentang bagaimana menafsirkan bingkai bingkai keberpihakan kita selama ini terhadap budaya, yang timbul karena arus perubahan.

Mungkin saja ini adalah refleksi kritis atas pemikiran yang menoleh dunia ketiga, kesadaran oposisi yang dualistis. Yakni melakukan kesadaran mengikuti perkembangan internasional dan mencoba menentang pemikiran sama rata dan arus universalisme global demi melakukan kepentingan identitas dan yang satunya lagi melakukan kesadaran untuk mengidentifikasikan diri, mengenali wacana terdalam yang sayangnya tak diikuti oleh kompromisitas.Suatu titik tolak yang saling bertentangan, berawal dari kesadaran yang sama.

Ada baiknya jika kita sebaiknya menentang nilai nilai relative dan nisbi ini. Bukan sekedar akumulasi kekecewaan yang kian menggunung akibat suguhan informasi, hiburan, suguhan dan refleksi wilayah batin sosial yang seperti sampah, junk food,yang cenderung kurang santun dalam mengaplikasikan diri dan kerapkali mendongkrak tuduhan pendangkalan wahana berpikir. Namun apa yang ada di balik itu, motivasi dan tujuan yang hendak diungkap.

Monday, February 14, 2005

Estetika Miring

Menciptakan Pemahaman Sempit ? Kesalahan Kesalahan yang di anggap benar ??

Dalam hal ini sang individu yang di masalahkan adalah kita.

Objek yang di tawarkan adalah Estetika. Kadar pemahaman dan nilai nilai relatif yang di tawarkan lewat bentuk yang di yakini menyimpan nilai nilai keindahan, keagungan, makna sosial, bercerita dan lain sebagainya.

Permasalahannya : Ada kesalahan yang dibenarkan berdasarkan kondisi dan pemahaman estetika yang terus berulang ulang di kemas dalam berbagai lapisan sosial yang mengakibatkan degradasi nilai nilai imajiner dan kurangnya pembelajaran yang baik atas akar masalah estetika itu sendiri dan pucuk pucuk persoalan.


Jean Tinguely, "Le Ballet des pauvres", 1961

Ada semacam permasalahan yang muncul ketika perpaduan tentang salah urus estetika di benarkan dalam nilai nilai aplikatif karya yang di tawarkan. Sikap estetika ini tentu sangat dipengaruhi oleh "sikap ideologi" dari individu , selaku objek politis dan kreatornya.

Sikap ideologi dimaksud tidak selalu berarti sang individu dan kreator harus berafiliasi kepada orientasi ideologi politik tertentu, karena yang demikian berarti ideologi telah mengalami formalisasi. Setiap yang mengalami "formalisasi" sering kali justru mengalami deviasi (penyimpangan), karena ideologi telah tereduksi menjadi aspek teknis. Sikap ideologi dimaksud lebih semacam world view (pandangan dunia), yaitu bagaimana manusia melihat alam semesta ini.

Ada permasalahan yang menarik ketika seorang Ahmad Sahal menyikapi Kultural Studi sebagai biang kerok kerancuan nilai nilai normatif estetika yang melemparkan wujud estetika sosial kedalam fenomena salah urus, dan memiskinkan jarak yang di anggap wajar untuk memahami asal usul dan tinjauan genealogis. Sebuah ketakutan yang dianggap wajar, dan perlu untuk disimak. Wujud purifikasi esensi wilayah estetika.Hasrat untuk lebih mengutamakan kebersamaan dalam keragaman dimana seharusnya institusi yang resmi dan terkait lebih menciptakan kesempatan pembelajaran pokok permasalahan dengan baik dan tepat guna.


Gilbert and George Dress-U-Up by David Gauntlett, featuring photography sampled from Nine Hundred (1999) by Gilbert and George.

Inilah, salah satu wujud kekhawatiran akan trendsetter, lihat bagaimana imaji penting di ciptakan berulang ulang sampai menohok titik jenuh daripada visual dan estetika penyajian gaya kehidupan dan sosialisasinya. Sebuah wahana praktik sosial yang penuh disiplin otonomi, di mana kehidupan dan pemahamannya menciptakan imaji dan wawasan estetika semu yang tertinggal dan terus berulang di bagian pucuk sosial sebagai penikmat dan permasalahannya.

Semoga hal ini bisa dimaknai dengan baik. Bagaimanapun juga semoga pemahaman tentang estetika sendiri bisa jadi amat sangat sulit untuk disamaratakan.Bukan sekedar bagaimana saya mengutip impian ideal tentang penyadaran di dalam masyarakat lewat estetika, dalam hal ini , seperti yang di tulis oleh George Lukacs (1885-1071), sehingga ada nilai nilai ideal yang berpjak pada pandangan realis.(Walau Lukacs, sendiri berangkat dari pemahaman kiri).

Estetika sendiri, kita percaya bahwa pada mulanya adalah perbuatan. Sang kata mengikuti, sebagai bayang-bayang fonetiknya.

Absolutisme dalam selera humor.

Saya tertawa apek melihat Tessy dan Komeng saling bercanda di trans TV.

Charlie chaplin mati matian mengabadikan gerak slapsptick dalam filem bisu untuk mengundang tawa.

Benyamin S berperan sebagai Samson dalam Samson Betawi, yang kehilangan kekuatannya karena bulu ketiaknya rontok di cukur.

Saya tertawa karena melihat hal hal bodoh yang kerap kali terjadi di acara acara serius di televisi.

Menurut Oxford Dictionary sendiri;
laugh —v. 1 make the sounds and movements usual in expressing lively amusement, scorn, etc. 2 express by laughing. 3 (foll. by at) ridicule, make fun of. —n. 1 sound, act, or manner of laughing. 2 colloq. comical thing. laugh off get rid of (embarrassment or humiliation) by joking. laugh up one's sleeve laugh secretly. [Old English]

Menilik pola pemikiran yang mengundang tawa. Bagaimana cara ungkap pendapat yang menyentuh wujud akhir dari audiens dalam mengekspresikan salah satu rangsang serotonin didalam otak untuk mengeluarkan apa yang di sebut tertawa.
Dan tertawa merupakan bentuk akhir dari salah satu upaya meredam gejolak emosi terhadap apa yang disebut sebagai humor. Humor di indikasikan berubah bentuk menjadi tertawa.

Saya juga tak mengerti mengapa saya bisa terbahak bahak dan terheran heran melihat sesuatu yang di anggap lucu dan tidak lucu namun keduanya dianggap saling bertentangan. Humor ternyata tak bisa di tanggalkan begitu saja tanpa menilik nilai nilai yang ternyata dalam tertawa pun sudah memasuki area nihilitas batasan. Tak adanya nilai polarisasi antara lucu dan tidak lucu di saat kita tertawa. Humor = lucu = terpingkal pingkal = mencari masalah = antara tak lucu dan momen yang amat jarang = lucunya apa ? = objek sendiri yang sengsara + susah = akrab = mabuk ganja = diam diam saja = senangnya ada orang yang sengsara = ditipu orang = melorotkan celana = garing kering kerontang alias benar benar tidak ada lucunya sama sekali = Humor lagi deh. Ternyata saya salah, humor tak bisa sesederhana yang saya perkirakan.

Saya sendiri pun suka bingung kok bisa ada yang mambuat kita tertawa. Kalau ada yang mengatakan “ Ah memang kenapa? kalo lucu ya ketawa saja, gitu aja repot pake di pikirin segala!”, justru itu saya jadi bingung apakah saya terlalu bodoh untuk menanyakan kenapa kita tertawa dan terlalu kritis yang menyebalkan untuk mempertanyakan apa yang kita tertawakan .

Sesekali mikir juga hehehe.

Tertawa merupakan gerak dan rangsang otot yang mengakibatkan sinkronisitas pola kerja otak terhenti dengan mengeluarkan energi bunyi yang terlebih dahulu di gunakan dari daya imajinatif. Disaat tertawa ternyata kita mengalami apa yang disebut upaya mengeluarkan energi besar dari dalam tubuh. Representasi dari akumulasi gerak otot di sekitar wajah dan leher yang muncul selain kemarahan . Tertawa ternyata menghentikan sejenak aliran darah di otak kita. Sama halnya ketika kita bersin, orgasme ataupun menguap. Yang berarti “mati sejenak”.

Humor mengandung suatu pemahaman tersendiri. Saya mungkin tak akan dapat mendeskripsikan humor itu apa. Jika kita melihat tentang humor itu sendiri, dari manakah tradisi kelucuan yang dapat membuat orang dan seluruh umat manusia terpingkal entah kapan telah di mulai, mungkinkah setua umur manusia itu sendiri ? bagaimana dengan humor yang pertama kali muncul di dunia ? Apakah nabi Adam sendiri tertawa terbahak bahak saat telah berhasil mengambil buah terlarang yang disertai pula olehnya kesedihan pertama kali di diri umat manusia ? Apakah ketika kita lahirpun kita tertawa sesaat kepala menyembul dari liang rahim sang ibu ? Apakah Tuhan sering tertawa ketika menyaksikan umat manusia hasil ciptaanNya berbuat bodoh ?

Humor mungkin adalah salah satu upaya memberikan nama pada proses membekukan momen kerja otak lewat yang dianggap sebagai kesepakatan yang di sebut sebagai tertawa. Dan tertawa ternyata memberikan konstribusi penting bagi emosi yang dianggap memberikan bahan bakar dari senyawa hidup yang meningkatkan dorongan penting dalam segala aktifitasnya, amat jauh lebih nyaman dan menyenangkan dari agresivitas yang ditujukan untuk memelihara sifat dan perilaku brutal kebinatangan untuk mempertahankan insting survival manusia itu sendiri.

Tertawa ternyata bisa bernilai absolut

Dan semakin gak lucu kalo di bikin serius hehehehe

Friday, February 11, 2005

Bias gender dalam posisi kesetaraan

Masalah ini muncul ketika saya melihat gerak dan pola perilaku berpikir dalam media ungkap dengan melihat buku buku yang saya baca di latar belakangi masalah gender.

Saya menilai ada landasan logika hitam putih yang mengarah pada perlawanan secara frontal landasan logis permasalahan gender dengan masih memberikan logika yang senada. Ini bukan sekedar tarik ulur kedalam wilayah yang lebih dalam,yakni feminisme dan upaya membongkar permasalahan di dalamnya. Dimana upaya memandang dan mengangkat sesuatu yang baru menjadi amat sangat ringkih dengan akumulasi logika dan bias kesetaraan yang kerapkali di pertanyakan. Sesuatu yang saya pikir jika di bahas saat ini akan memberi reaksi keras bagi teman teman saya yang berjenis kelamin wanita, dengan anggapan mengungkit terlalu dalam akan politik kesetaraan yang sudah mulai usang di makan oleh dinamika warna hidup dan area kontemporer saat ini pula. Bisa jadi saya akan terlihat seperti mengulur ulur benang dan menautkannya kedalam selubung permasalahan feminisme, yang di bungkus oleh gender dan kesetaraan, namun saya hanya mencoba memaparkan apa dan bagaimana gender itu di mata saya.

Saya kerapkali mendengar permasalahan gender dalam aplikasi apapun selalu berteriak lantang dan “marah-marah”. Menentang superioritas kaum lelaki yang di nyana dari dulu telah mendominasi baik lewat ideology dan pemahaman budaya yang di sosialisasikan lewat agen agen sosial yang cenderung seksis dalam medium dan budaya itu sendiri. Penentangan sepihak yang saya rasa lebih baik di camkan dan di cermati dengan baik. Bahwa sebenarnya mengamati kesetaraan adalah tugas kita semua, saling mengamati dan memberikan takaran terbaik dalam proses epistemik kita. Dimana saat ini amatlah jarang, proses pembelajaran dan penghargaan terhadap konsep androginitas yang nyatanya memang sangat sulit untuk diterapkan. Perbedaan adalah khasanah nyata dan kasat mata. Bukan lagi semacam persamaan dalam kondisi lintas global, kemanusiaan. Tapi mendadak menjadi isu gender ketika salah satu aturan yang dijalankan di pegang dan di utamakan dalam konteks sosial yang cenderung dari sudut pandang negara dunia ketiga, di pegang oleh dominasi kaum pria.

Ketika seseorang berteriak dalam media ungkap seperti contohnya penulisan, novel dan media film, mengungkapkan bahwa politik kata kata dalam mengungkapkan konotasi seksual secara vulgar adalah sah dan biasa, ini mungkin harus di telaah lebih lanjut, dalam konteks apa yang pantas dan urgensi yang tercakup dalam hal ini. Untuk menghindari semacam pendangkalan etika dan proses kritis. Yang saya rasa ini wajar untuk dikaji ulang, sedemikian dan serumit apakah masalah yang di teriakkan sebenarnya ? mengingat konteks lokalitas di kita yang sebenarnya terhitung baru menghirup euphoria kebebasan dalam mengekspresikan pendapat. Lihat saja bagaimana tulisan dan pemikiran Pram (yah standar lah) benar benar sudah dapat dinikmati secara bebas dan orientasi kekirian (yang sering salah kaprah), dapat di susupkan lewat media sosial dan jargon kebebasan gerakan anak muda di kota kota besar. Meredefinisikan system dan ideology yang telah lama dilarang dengan wujud baru yang cenderung menghindarai polarisasi nilai nilai.

Untuk itulah jika kita mengamati media sebagai agen sosial, betapa permasalahan dan wacana seksis yang di tawarkan begitu luar biasa padat dan tak terkendali.Selama TV culture terus bergerak, dengan muatan nilai ideologis, kepentingan komersil yang tak bisa di pisahkan, semakin mengukuhkan bawaan nilai nilai yang bersifat “kelontongan”.

Hal ini tentunya menawarkan suatu wacana pergulatan nilai kritik. Tawaran akan suatu upaya memaparkan apa itu hak dan ekualitas dalam posisi sosial. Ini bisa jadi sekedar semacam solusi tentang apa dan bagaimana gender dapat di adaptasikan secara normal dan bukan lagi penyama-rataan hak dan posisi yang seringkali masih di anggap sekedar angin lalu.

Dan bagaimana pula gender sering di kaitkan dengan area pertentangan hierarki antara lelaki dan perempuan yang masih sering di dengung dengungkan. Suatu permasalahan klasik semenjak feminisitas muncul. Inilah upaya mereduksi hubungan dan dominasi salah satu pihak yang cenderung opresif dengan kehadiran kuasa. Sebentuk permasalahan klasik yang kian lama kian memuncak dalam suatu konteks globalitas hak dan nasib.

Begitulah, masalah ini muncul begitu saja ketika menalar dan melihat permasalahan yang terjadi di dalam konteks lokal. Apa yang saya rasakan ketika mendengar informasi tentang pandangan dan struktur baru yang terlihat lebih “mapan”. Bagaimana ideology patriarchal perlahan mulai berubah. Ideology kapitalisitik yang memberikan ruang gerak yang meluas secara perlahan bagi kaum wanita. Inilah emansipasi, yang di manfaatkan sebagai perluasan wilayah industri dalam masyarakat. Emansipasi di susupkan secara rinci dalam kesetaraan untuk mengaktifkan kesadaran produksi yang mana tak mengenal batasan usia, kelamin dan status. Kesemuanya di tarafkan dalam kesadaran dari struktur masyarakat feodalistik yang kemudian menjadi industrialis kapitalistik. Kesemua batasan di hilangkan dalam penunjang industri tersebut. Sexual dan permasalahan kesetaraan telah perlahan menjadi komoditas, yang makin menegaskan “ke-suara lantang-an” bahwa kesetaraan adalah hal yang paling hakiki dalam hidup dan sosial di masyarakat. Sex yang lebih kepada kesepakatan dan mengesampingkan tabu-isme dalam komoditasnya berubah menjadi mesin pencetak uang,mesin hasrat yang di komersilkan, sebagai sesuatu yang menjadi sumber inspirasi isu isu yang di angkat dalam politik kesetaraan dan posisinya.Sekali lagi pemutar balikan posisi permasalahan dalam hal ini adalah salah satu dari konsep utama hierarki kapitalistik, sama halnya Amerika Serikat mencari dan membuat musuhnya sendiri dengan menegaskan posisi sebagai polisi Dunia.

Anggap saja ini sekedar sekelumit pemikiran, merupakan suatu bentuk kepentingan filosofis dalam sudut pandang perspektif pribadi tentang gender dan posisi kesetaraan itu sendiri.

(saya teringat film " I Shoot Andy Warhol" yang mengetengahkan SCUM manifesto dari Valerie Solanas, walau tak seekstrim itu dan tulisan dari Kris Budiman tentang topik2 seperti ini)

Tuesday, February 08, 2005

Tanda dan tanda dan tanda dan tanda . . .

Mari kita berbincang bincang sejenak tentang "Tanda".

Tanda adalah sesuatu yang di kategorikan berada dan lekat dengan lingkungan kehidupan keseharian kita sampai sekarang. baik itu pesan dan upaya memberikan makna di dalam siaran televisi, rambu rambu di jalan, fotografi, media, surat kabar, fashion dan lain lain. Semua itu di simbolisasikan dengan jalan memberikan pengalaman baru akan tanda yang menjadi persepsi yang muncul dan berikut pesan pesan yang di sampaikannya kepada kita sendiri.

Adalah suatu usaha yang amat sangat rumit untuk mengurai tanda.Dimana di dunia ini penuh dengan jejak jejak dan artefak tanda yang di padu dengan tanda tanda baru yang berseliweran mewarnai dinamika masyarakat lokal ini.


Christo and Jeanne-Claude: Surrounded Islands, Biscayne Bay, Greater Miami, Florida, 1980-83

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan, dapat di katakan objek di dalam benda mewakili pikiran atau gagasan dari seorang, sesuatu dan apa tujuan itu di ciptakannya.

Memaknai dan mengklasifikasikan sebuah upaya reproduksi cecitraan sampai saat ini.Setiap simbol mewakili makna, dan makna mewakili sesuatu yang di jelaskan. Itulah jika di kaitkan dengan ilmu yang mempelajari tentang tanda sekalipun, Semiotika, maka berjejalan makna dan apa yang ada di balik tanda bisa terwujudkan dalam berbagai aspek yang tercampur baur. baik dari sisi ideologis, politis, religi, gender dan teori awang awang sekalipun. Ternyata tanda menyimpan makna sekalipun kecil bobotnya.

Bentuk tanda dalam ideologi lama ( Modern ) menawarkan sikap-sikap subversif,mengacu pada percepatan, dinamika dan oposisi serta di katakan otentik dalam menghadapi persoalan-persoalan dunia. Sementara representasi tanda dalam kazhanah, yang katakanlah kontemporer, seakan menawarkan suatu jalan balik, membuat tiruan-tiruan, dan mengulang-ulang sesuatu yang pernah ada, membuatnya menjadi sesuatu yang baru. Begitu terus menerus. Sampai tercipta sesuatu yang baru lagi.

Tanpa membutuhkan kode baru sekalipun, representasi tanda kontemporer telah mengakibatkan munculnya Alegori, yakni pengambilan bentuk kode lama yang di representasikan dalam bentuk baru. Dan sekaligus mematahkan sistem personifikasi tanda dalam konteks modern yang mana sesuatu yang orisinil dan otentik, di patahkan maknanya dengan eklektisitas dan pencampur adukan segala macam gaya, baik kurun waktu dan periodenya.Dan begitulah tanda sekalipun dalam penjelasannya terkait dengan konten tekstual. Sebuah teks dalam sudut pandang postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang pembawa pesan atau medium; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa, yang di pakai untuk menjelaskan tanda ke-sekarang-annya itu.


Christo and Jeanne-Claude: Indoor Installation The Wall, 13.000 Oilbarrels,Gasometer, Oberhausen, 1999

Tanpa kita sadari sekalipun, tanda telah di lahirkan secara sengaja, dan tidak sengaja sekalipun dalam konteks pewarnaan dan elemen fungsi masyarakat sekalipun. Lihat bagaimana media gosip lokal yang memberikan berita terbaru tentang artis yang akan bercerai, dalam menayangkan gambar gambarnya sekalipun, identitas dan opini publik saling terkait terutama dengan gambaran dan misi makna dari balik gambar gambar yang di tayangkan menyangkut industri televisi, bias gender, komoditas berita dan ada semacam upaya pemampatan dan pengkerdilan esensi jurnalisme itu sendiri. Dan itu perlahan lahan mulai di benarkan seketika. Hal mana yang mengakibatkan Budaya Massa mendapat tempat yang sedikit rawan akan simulasi dan permainan tanda yang saling menyudutkan makna.

Mencermati tanda membuat adanya upaya menjaga jarak demi menciptakan keshahihan dan objektifitas yang berguna demi memandang secara jernih apapun persoalannya.Mungkin saya salah, namun upaya komunikasi dan saling bertautan dalam memahami pesan ternyata telah di gunakan lewat tanda sekalipun, demi menjalankan salah satu aturan sosial, saling berkaitan dan komunikasi secara nyata, apapun cara dan maknanya.

Monday, February 07, 2005

Fetish

n. 1 Psychol. abnormal object of sexual desire. 2 a object worshipped by primitive peoples. b obsessional cause (makes a fetish of punctuality).

Saya menuliskan secara sadar akan orientasi wujud kebendaan terhadap sesuatu yang ingin dan akan nantinya saya miliki. Hal ini tercermin bagaimana ketika suatu komplektisitas masyarakat di warnai oleh hasrat material.Seperti halnya ketika hasrat melihat sebuah karya seni terkenal dan bisa melihat dari dekat saja, sudah merupakan nilai nilai relatif penting dari fetish itu sendiri.

Dan pastinya saya berada di dalamnya, ketergantungan masyarakat terhadap televisi, media, informasi, alat komunikasi dan lain sebagainya, di mana di dalamnya ramai ramai ajakan pembentukan cecitraan dan kebendaan diwilayah angan angan yang merupakan milik kita semua selaku audiens.Suatu komodifikasi industri, iklan, tayangan, kuis gampang dengan hadiah ratusan juta, iklan HP, rumah impian,jalan jalan di luar negeri, gaya hidup dan kepentingan bergaya wilayah kaum otak tumpul berseliweran di layar kaca dan lingkungan sehari harinya,huh!.Wilayah materi ternyata memegang peranan penting pembentukan pola pikir, peranan dan status sosial.Baik itu lewat "paksaan" dan harapan yang secara sadar di tandai lewat perilaku manusia dalam konteks sosial. Walaupun nantinya sampai saat ini pun , kebendaan telah menghiasi dimensi kemanusiaan mereka sendiri.

Fetish, orientasi dan hasrat memiliki yang luar biasa kerasnya ketika imaji dan reka bathin terbentuk sekian lama oleh media, interest dan lingkungan. Sebuah efek psikologis yang muncul terhadap dinamika kebendaan yang sedemikian pesat dalam lingkup sosial hingga saat ini. Prinsip dialogis ternyata di wakili oleh objek kebendaan untuk memenuhi hasrat kepuasan bathin yang lebih kearah visual.

Ketentuan dan kepemilikan terhadap sesuatu yang di motivasi oleh obsesi baik yang fisik dan non fisik, salah satu perkiraan akan definisi yang tepat untuk memaknai gejala hal ini. Salah satu rujukan yang menarik tentang fetish, dapat di tampilkan tentang fetish dalam definisi akan orientasi sexual terhadap kebendaan yang menyimpang dan pemujaan terhadap sesuatu yang anonymous yang kerap kali di identifikasikan di kebudayaan primitive dari sisi pandang barat.

Fetish menyimpan dimensi lain akan makna tanda yang di modifikasi sedemikian rupa. Hal mana yang telah di tentukan dalam uraian jejak psikis dalam hegemoni sosial,saat ini yang telah di bentuk sedemikian lewat hal hal yang bersifat populis. Inilah salah satu bentuk kontribusi lain dari konsumerisme yang telah berjalan secara nyata mengikis identitas kolektif dalam wujud nyata kedalam implikasi personal.

Tentang Sex

Seks adalah persoalan yang purba. Adam dan Hawa, manusia pertama di dunia, dikeluarkan dari surga penyebab utamanya adalah persoalan seks. Buah kuldi yang dilarang Tuhan untuk dimakan Adam.Sampai sekarang pun persoalan seks terus bertebaran, hingga ke dalam konteks kehidupan manusia itu sendiri.


Dan Flavin, Untitled, 1970 ( Minimalism & Conceptual Art)

Apa yang kita bayangkan dalam hal ini ? Ketika hasrat sexual berbicara dalam wujud eksperimentatif dan kepuasan tersendiri, maka dorongan ini di wujudkan pada objek lain yang di anggap mewakili kepentingan hasrat dan metafora penguasaan kebendaan dalam diri manusia. Sex melibatkan objek lain yang di rasa penting dalam hal ini. Dan hal ini di cetuskan oleh Freud yang sejak awal telah mendeskripsikan libido sebagai teori dasar karyanya.Libido di yakini merupakan dapur pacu hasrat dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan orientasi kejiwaan dan keinginan untuk memiliki dan menguasai. Wujud metafora yang sama dengan makhluk lain, yakni binatang atawa kebinatangannya dan kepemilikan akan hasrat terhadap hal hal lain di luar dirinya.

Ternyata hal yang sama muncul ketika konsep fetishisme modern ini di bandingkan dengan wilayah primordial, yang di artikan sebagai konteks sosio-religi. Hal mana yang sebenarnya merupakan pelebaran wilayah instingtif manusia kepada kebendaan, dengan menggantikan faktor kepercayaan dan keyakinan kedalam wilayah baru, budaya materi, populis dan kebendaan.Dalam fetishisme modern, kegunaan benda-benda didistorsi secara sistematis oleh pencarian keuntungan kapitalis. Dan jelas bahwa kebutuhan untuk mencari untung ini telah secara dramatis melahirkan benda-benda baru yang dijual hanya untuk memanipulasi konsumen.

Saya jadi teringat pada konsep pemurnian, Purity of Of The Race. Sesuatu yang berbau fasis sebenarnya. Bagaimana salah satunya di ungkapkan tentang pengembalian upaya masyarakat ideal baik dari segi fisik, psikis dan warna kemasyarakatannya itu sendiri yang menjalankan arus profilitas materi kebendaan dengan sewajarnya. Yang akhirnya takluk lekuk di bawah kaki tangan kapitalistik. Membiarkan modifikasi makna dan kepemilikan materi dalam warna hidup manusia yan lebih dahsyat. Terus menerus berjalan dengan tanpa kita sadari terlena dan hanyut dalam arus komoditas kepentingan yang mengakses ke seluruh lapisan sosial dan budaya. Gaya hidup, globalisasi, hidup gaya, konsumtif dan cecitraan sampai menuju identitas dan tatanan kultur sampai menerjang ke kematian alam berpikirnya sekalipun. Manusia tetap membutuhkan hal itu.

Gelombang hasrat kebendaan ini lebih dahsyat dari manapun.

Estetikasi murni dan norma norma kebendaan wilayah orientasi budaya materi yang telah dirintis oleh Marx, dengan gamblang dan menjelaskan hal ini. Seperti yang di bahas oleh dedengkot pemikir di wilayah Mazhab Fankfurt.Adorno sudah menjelaskan dengan jitu akan hal itu.


Dan Flavin, Untitled, 1987

Jika mau sembarangan, saya jadi menganggap dimana wilayah materi di anggap menuju wujud artifisial dari sebuah tokoh kartun bodoh kesayangan seluruh umat dunia :P, Spongebob!! yang membesar karena menyerap air di sekelilingnya, jika dia mau dapat di hempaskan kembali tanpa takut kehilangan wujud baku materi yang ada di sekelilingnya, sehingga sang Krusty Krab yang terus menerus memproduksi dan mencium semerbak aroma uang di dalam laut sebagai bapak dari primordialisme kapitalistik baku yang liar dan lugas, maka sama halnya para pemikir dan penulis seperti layaknya Squidward yang sombong dan gaya abis sembari memberikan penilaian terhadap sesuatunya. Sampai halnya kebodohan yang di alami oleh Patrick Starfish yang kehilangan kepemilikan orientasi makna hidup dan mengalami disorientasi kembar, sejalan dengan Spongebob itu sendiri, dimana selera humor yang di ajukannya kepada komunitas Bikini Bottom benar benar hancur...terutama dengan suara Garry, siput bersuara kucing. Dunia yang penuh satire.

Membuka borgol identitas hidup dari material ini amatlah sangat sulit. Keran ideologi dan global sudah terbuka lebar, tanpa bisa kita tahan. Sebuah episode yang tak akan pernah berhenti.

Saturday, February 05, 2005

Kesadaran Untuk Lebih Ngawur

Awal :

"...Anjrit, jalan jalan di Bandung sudah gak nyaman, debu di mana mana, pembangunan jembatan superbrengsek itu makin bikin gak nyaman, mau jalan kaki kena debu, naek motor nyedot asep, mau belanja mahal mahal,Ngeliat ABG dandan ala Niggah bikin sepet mata aja, Sampah di mana mana, Mau minum beer gak ada yang dingin, harga dvd di kota kembang naek seceng, macet menuh menuhin jalan aja dasar Setan ...bakar deh bakar ajaa semua !!..." ( wahahahaha )

Sekedar Memulai

Mencermati beberapa tulisan responsif dan ajuan kritis di media, di beberapa surat kabar, buku buku dan blog ini sendiri, ternyata menciptakan pemaknaan baru bagi saya sesaat sebelum mencoba menuliskan hal ini. Nuansa paradoksal, bagaimana mencermati ulang konteks yang saling berlawanan dan menilai kebersinggungannya masing masing. Yakinlah akan polemik yang diciptakan belum tentu cermat untuk di tafsirkan lebih jauh, tanpa mengenal lebih mendalam tema yang sedang tumbuh. Mungkin inilah salah satu wujud acuan kulit luar daripada eksistensi untuk melatih insting menuangkan ide kedalam tulisan.

Menulis bagi beberapa orang lebih merupakan satu satunya cara dan profesi dalam pekerjaannya yang menuntut untuk lebih giat dalam berkarya. Sama halnya beberapa orang yang mengalami katarsis dalam mewujudkan hal hal lain diluar rutinitasnya yang terjebak dalam lingkup industri. Hal mana yang mengakibatkan kerap munculnya letupan letupan emosi dalam memilah dan mencernakan kepentingan psikis dan berpikir. Sebagian lagi memilih keahlian merangkai kata kata ini dalam kondisi yang lebih penting, media ungkap gagasan karya dan keseniannya :)(untuk satu hal inilah yang memandang saya lebih respek kepada kaum penulis dan sastrawan)

Hehe:) bagi saya dalam mengamati hal itu sah sah saja, memposisikan sebagai penilai dan pengamat terhadap hal itu. Semakin banyak menulis semakin lancar mengapresiasikan gagasan, dan semakin giat membuka wawasan diri.

Menulis tanpa memperhatikan tema yang akan muncul, spontanitas, memelihara kesadaran intuitif, dan meyakini kebebasan berpikir dengan koridor koridor yang jelas, merupakan suatu proses yang tak terhenti begitu saja. Sama halnya bagaimana seorang seniman yang mengaplikasikan kepentingan objek dan visual dalam karyanya dan seorang desainer yang mengikuti kepentingan pihak lain sebagai latar belakang pekerjaannya. Proses bagaimanapun menyimpan catatan panjang untuk hal itu, yang sayangnya sering diruntuhkan oleh ego ego di pihak luar yang di terjemahkan dalam bentuk peraturan dan disiplin.

Kemudian

Polemik yang muncul dalam mengadaptasikan kedasaran berpikir di runtuhkan lewat hal yang disebut sebagai " Bercanda Sektoral". Inilah yang di camkan lewat dagelan dagelan Suroboyoan, apalagi canda ria Rumah Kostan serta Srimulat Minded. hal yang lazim adalah upaya saling memelesetkan kalimat kalimat awam dan garing tentunya. Hal yang jelas jelas bikin saya malas ketawa dan terheran heran kenapa sebagian orang bisa tertawa. Plesetan plesetan ala Marwoto (mungkin sodara Nikk sangat menggandrunginya).

Saya jadi ingat kartun di harian Kompas Minggu yang menceritakan hebohnya lagu lagu Peterpan baik di Mall, warung warung dan di jalan jalan, sampai sang tokoh menjadi gila karena Peterpan. Hal sama yang mengakibatkan selera humor saya berubah ketika banyak sekali suguhan infotainment dengan berbeda nama dan stasiun televisi dengan satu tema dan gosip yang sama, terbahak bahak melihat wajah sang artis yang menjawab sembarangan setiap di tanya terutama kasus Rockstar yang bertanggung jawab atas kehamilan sang kekasih di saat naik daun..Rockstar kan mestinya rock n roll sebelum insaf seperti Mark Wahlberg dan lebih lucu lagi tayangan misteri menganalogikan pesan pesan dan petuah team pemburu hantu yang berebutan memasukkan sang roh jahat kedalam botol.Dan dengan gerak segala jurus jurus pencak silatnya :P.

Belum lagi menyaksikan Spongebob, inilah hiburan yang bikin saya terbahak bahak sampai terbatuk batuk. Dibandingkan menyaksikan sang legenda Srimulat,Paklik Asmuni yang kebelibet lidah mengucapkan kata "Cekoslovakia" .

"Jaman sudah digital kok masih masuk masukin hantu kedalam botol, kenapa gak ke Hardisk aja sekalian dasar dodol ... "

- "What The ....!"-

Bukan salah bunda mengandung kalau dinda beranak (arghhhhh ....)

(Ajari saya untuk nulis lebih ngawur dong ...)

Friday, February 04, 2005

Queens Of The Stone Age - Song For The Deaf

QUEENS OF THE STONE AGE
Songs for the Deaf /Interscope
2002



1. You Think I Ain't Worth A Dollar, But I Feel Like A Millionare . . .
2. No one knows
3. First it giveth
4. Song for the dead
5. Sky is fallin'
6. Six shooter
7. Hangin' tree
8. Go with the flow
9. Gonna leave you
10. Do it again
11. God is the radio
12. Another love song
13. Song for the deaf
14. Mosquito song (hidden track)



"The most hotly anticipated hard rock album of the year .."

Rilisan 3 tahun yang lampau, namun masih mengena di hati. Yup Stoner Rock N Roll !!!.

Masih mengena di kuping saya setiap album ini di mainkan, saya pikir ternyata musik Rock bisa seperti ini, kasar dan kering tanpa harus mempertebal distorsi dan kebrutalan, dengan mengambil elemen elemen country dan sound sound khusus ala ala perbatasan Amerika dengan Mexico. belum lagi ditimpali oleh lirik lirik eksentrik dan video yang absurd. Mempertegas tentang Drugs, Sex dan Stoner Rock !!.

Album yang di buka dengan suara pintu tertutup dan suara DJ radio murahan yang memberikan aksen latin di setiap pengucapan kata katanya ,"KLON, clone radio, we play more of the songs that sound like everyone else . . . " dan bang! sound kering, kasar dan berkesan berjalan udara panas di gurun pasir Amerika sambil sesekali meneguk tequila .... dengan lirik yang cerdas dan nakal langsung menggebrak dengan judul lagu yang panjang itu :P.
Namun ada yang mengatakan inilah album yang mengesankan perpaduan segala elemen seperti Acid Rock, 60's sound dengan Heavy Metal ..whatever ...

Lagu Ke dua dengan video yang tak kalah sintingnya tentang kebalikan dan bermain dengan analogi head-hunter, di mana rusa yang menabrak para personil QOTSA dengan mobilnya(ha ha).Berikut track track penting yang sesekali ber-akustikan dan dengan piano dan tempo yang masih cepat, seperti First It Giveth (my fave), Song For The Deaf, God is On The Radio dan Go With The Flow. . .wuhuuuuu benar benar panas . . . .

Beberapa orang tertentu malah mengidolai band ini yang dianggap mentransformasikan bentuk baru dari musik Rock itu sendiri, keras, dengan sound kering dan cepat, menjadi haluan. Walau ini masih merupakan adaptasi ke-sekarangan dari era era Stoner di tahun 80 an dan 90 an yang cenderung lambat, seperti Kyuss( cikal bakal band ini), Monster Magnet,Mondo Generator,Khanate dan Place Of Skulls, serta masih banyak lainnya. Band ini secara musikal juga fasih menerjemahkan suasana dengan sound dan yang bermain main di wilayah Rock, Punk, Blues, Acid Rock dan Country.



Di awaki oleh Josh Homme(Eagles Of Death Metal, Kyuss), Nick Oliveri(ex- Kyuss),Dave Grohl ( Foo Fighter, David Bowie, Nirvana, Killing Jokes, Probot)- hanya untuk di album ini sebagai additional drummer dan Mark Lanegan ( Screaming Trees). Band ini telah mengeluarkan 2 album sebelumnya ("Queens Of The Stone Age" dan "Rated R"),dan masing masing personil merupakan orang lama yang telah malang melintang di dunia musik rock itu sendiri.

Sebuah album yang layak di koleksi. Amat layak bahkan.

Perbedaan dan isu Post-Kolonial (saja)

Penghilangan aspek aspek sosial dan sadar diri ditengah orang orang gila:)

Saya tertarik dengan tulisan seorang rekan yang benar benar menceritakan secara rinci "hantamannya" terhadap isu isu globalisme dan hidup-gaya yang kemarin kemarin saya bahas di blog ini. Inilah titik tolak dari salah satu wujud akumulasi kekecewaan dan kepenatan melihat keadaan yang semakin tidak berkembang dan ramainya entitas individu yang saat ini masih mengusung "mayat dan keranda" ideologi kritis, menuju pemakamannya.


"Popples," by Jeff Koons, porcelain, 29 ¼ inches high, number 1 of an edition of 3 plus one artist's proof, 1988

Tentang membahas, dengan meradang menyerang dan mencaci maki sebuah isu terpenting tentang Perbedaan dan ekses globalisme sebagai kaki tangan kolonial gaya baru yang tidak lagi bertarung lewat darah dan daging namun menyentuh elemen terpenting dalam aspek wacana dan budaya. Hanya salah satu dari identitas Post-kolonial yang tengah di jarah dan di ombang-ambingkan lewat kondisi sedemikian keras.Sebuah penentangan yang gagal dan pembentukan citra diri imajiner yang kerap kali terbentur oleh modernisasi, globalisasi, multikultural, justifikasi semu akan suatu keadaan yang berujung pada kehilangan identitas, kebingungan dan laksana gerak anak ayam kehilangan sang induk.Kebingungan memaknai percepatan waktu dan keadaan.

Berlanjut dalam skema arus narasi besar, bagaimana politik identitas baik dalam wujud kota, hidup gaya, berpikir dan merayakan eklektik dalam idiom yang tak lagi sehat tentang arus berpikir.

Untuk apa ? merayakan idiom dan simbol eklektik dalam lingkup lokal yang ternyata lebih rumit dan kompleks di banding infrastruktur negara maju. Itulah pertentangan yang tak seharusnya, penyikapan yang lebih baik untuk di simak tanpa harus memperjelas ke Post-Mo-an lokal yang jelas jelas belum menyentuh ranah wilayah keseluruhan modern sekalipun.

Hahahaha :), Merayakan kematian ideologi " Kesamaan" dan menggantikannya dengan "Yang Penting Keren" ...:P

Bisa jadi inilah dinamika Budaya, sistem dan penggolongan yang paradoks terhadap respon keadaan. Upaya mewakili jaman yang kerapkali mengindahkan sisi humanitas terhadap lingkungan. Terjebak dalam belantara dan patahan patahan jalur menuju keadaan modernitas. Sistem yang terbagi atas dominasi kekuasaan kuat yang saling menerkam dan memaksakan sakit bagi individu miskin.

Entitas semu dari tenggang rasa dan spirit sosial.Untuk identitas ?

Ya Identitas, cara menjaga "karakter" dan "sifat beda" kita. Mulai dari gaya hidup, strata sosial, agama, usia, ras/ etnis, bendera kelompok, sampai orientasi seksual umumnya menjadi referensi penting dalam eksistensi identitas.

Sesuatu yang kerap menyangsikan adanya lintas batas dan hukum "rimba", kemuakan melihat gerak dan falsafah hidup menye menye di kota besar. Antisipasi terhadap hantaman "brand" dengan membudayakan hidup hemat. masih melongok pada sisi estetikasi hidup gaya tanpa melihat keadaan dan kepentingan.

Dan perbedaan ?? multi wujud dan apapun yang namanya tak mengingkari bentuk kesamaan namun lebih kepada keragaman. mungkin seharusnya sudah di kembangkanlebih dalam polemik tentang perbedaan dan rasa percaya diri akan superioritas.

Polemik penting, dari salah satu permasalahan terbesar dalam konteks lokal. Identitas dan pencabutan spirit perlawanan. Isu besar dalam era post-kolonial.

Sebagai kelanjutan dari sebuah upaya ungkap mewadahi isu isu dan dinamika pergulatan multikulturalisme, global dan lainnya.Semacam medium untuk melihat perbedaan dan dinamikanya.


"Woman, Sunlight, Moonlight," by Roy Lichtenstein, painted and patinated bronze, 39 1/2 inches high, numbered 4/6, 1996

Sehingga, Pluralitas dan isu isu terpenting dimana perbedaan dalam berpkir saling berjalan dalam koridor yang sesuai. Sekali lagi mungkin wahana Kritis. Untuk menganggap kesatuan universal bukanlah dalih sederhana bagi pluralisme. Pluralisme di dunia demokrasi berkenaan dengan banyak suara yang perlu diperhatikan.

Ide terbaik akan memenangkan kompetisi. Bukan sekedar Orality alias Omong Doang. Pluralisme terdalam akan bertanya: " Bagaimana perbedaan budaya mengartikulasikan hak-hak orang lain dan apa inti dari kesatuan dalam perbedaan ini?"

Mari saling membongkar, mungkin inilah jalan terpenting dalam mencermati isu isu dalam konteks kekinian, sebagai salah satu wacana praktik.

Thursday, February 03, 2005

Globalisasi = Bisa Jadi masih Setan Alas

Kenapa tidak ?

Globalisasi seakan-akan dipandang sebagai penghapusan identitas dan batas-batas negara-bangsa sehingga dengan suka cita menyerahkan diri ke dalam pelukan ideologi
baru yang sekaligus dianggap sebagai jimat menuju masyarakat adil dan makmur.

Pemahaman yang berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya ternyata masih menyisakan pemikiran yang belumlah lebar untuk di kaji. Bagaimana Globalisasi itu sendiri menyimpan dimensi pemampatan ruang dan waktu, yang kian lama kian sempit. tanpa kita sadari terseret secara kuat ke dalam wilayah kepentingan " mendunia" ini.

Sebab itu, globalisasi dengan cara atau pola yang tidak berbentuk dan tidak terarah seperti sekarang akan menyulitkan negara berkembang untuk berdiri sama tinggi dengan partnernya, negara maju.


Jenny Holzer, artwork -series-

Globalisasi memperkaya yang sudah kaya dan bikin melarat yang sudah miskin.

Mempersempit jarak dan massa.

Masih dengan struktur dasar narasi yang sama, globalisasi ternyata di lewatkan begitu saja tanpa sadar untuk memahami kebekuan pola pikir penerimaan saja. Bagaimana arus sempit dan ketakutan akan runtuhnya koridor religi dan seni misalnya, yang semakin lama semakin kuat. Batas batas yang tercermati semakin jauh dan semakin masuk kedalam transparasi batasan. Itulah, eklektisisme dan percampur bauran segmentasi elemen sosial dan politis sedemikian kuat.

Ideologi yang dimasukkan dengan liar, kasar dan penuh pemaksaan.

Percampur adukan faham, fashion,ideologi, Seni, budaya dan teknologi merupakan kekuatan yang telah lama di bentuk dan di kondisikan sebagai amunisi yang di tembakkan keseluruh dunia. Menjadi satu bagian dengan siapa yang terkuat memimpin dunia. Dalam hal ini , konteks itulah sesusungguhnya kesatuan global telah menjadi semacam system nilai tunggal, yang harus ditaati, ada proses dominasi sistemik


Jenny Holzer, artwork -series-

Itulah Globalisasi yang sedemikian kuat di tanamkan oleh para pemikir , di kondisikan sedemikian alamiah walau ternyata inilah kolonialisasi gaya baru lewat wahana berpikir dan kolektif.Seperti yang dituliskan oleh Susan George dalam bukunya Republik Pasar Bebas.

Saya tercenung sejenak, hal ini merupakan kekuatan pasif yang harus di nilai sebagai wujud nyata yang kian lama mendesak dan mengubah nilai nilai dari diri sendiri. tanpa saya, kita sadari sendiri arus ini telah lama menghantam tata letak norma dan estetika kehidupan dan barui tersadar belakangan setelah wilayah kritisisime yang lama terbungkam, terbuka lebar.Dalam era yang penuh persaingan luar biasa ini, bukan tak mungkin melahirkan kemungkinan kemungkinan luar biasa yang menjadi penentang dan bibit bibit ideologis baru yang saling menerkam.

Euforia kritis yang saya harapkan tak akan berhenti sampai di sini saja.Secara sadar dan hati hati dalam menyimak dan memaknai hasil berita dan informasi sampai saat ini merupakan wacana kritis yang membangun kesadaran. Lihat betapa buruk dan pekatnya ideologi tentang "Globalisation" dengan sekedar mengetikkan kalimat tersebut di mesin pencari Google.com. Dan betapa banyak arus pemikiran yang ramai ramai melongok kedepan dan menjatuhkan klaim penentangan secara sepihak.

Inilah salah satu bentuk kehati-hatian dan kesadaran untuk lebih mawas diri.

(dari berbagai sumber baik di internet dan di buku buku)

Wednesday, February 02, 2005

Globalisasi = Setan Alas

Inspirasi modernitas?

Saya berpikir dengan brand dan keaslian suatu produk, maka saya senang(sekedarnya).

Dunia mengecil. Yang demikian menandakan globalisasi. Itulah arti menjadi modern: mau berubah, maju, mengatasi alam, jarak, waktu, dan mengabdi pada ilmu dan teknologi.Ekspresivitas batin yang telah bercampur dengan fasilitator teknologi. Era yang kognitif.Semoga masih benar definisinya saat ini.

Apakah menunjang secara keseluruhan ?

Pola industri yang menekan dan menghasilkan produk dan kemajuan negara maju ternyata secara kapital, hal ini di hasilkan mengacu pada sistemik faktor ekonomi terhadap negara negara berkembang ?

"Saya membayangkan, betapa lelah dan tertekannya buruh buruh berusia muda dengan upah minimum di bawah rata rata (mungkin terampas masa depannya)yang sedang mengerjakan produk bergengsi olahraga yang terletak di pabrik pabrik di daerah penunjang kota besar yang kemudian di pakai untuk mengisi butik butik eksklusif, di kota kota besar di Indonesia, kemudian menjadi suatu komoditas tentang gaya hidup di berbagai media yang menekankan imaji untuk kemudian coba di sebarluaskan ke khalayak seusia sang buruh ...."



Agus Suwage, Pressure and Pleasure, 1999 Military tent, cinema advertisement banners, paint, spot lights

hal mana yang mengakibatkan pandangan positivistik terhadap pembajakan merek dan aksi perjuangan hak yang berputar putar laksana lingkaran setan.

Penuh dilema. Globalisasi mengantar kita sekaligus ke dua arah yang saling berlainan. Persahabatan dengan modal, teknologi komunikasi, mesin-mesin produksi massal membawa kita ke tingkat baru keterjaminan hidup. Namun bukan berarti tidak ada yang dikorbankan dalam meniti ke tingkatan tersebut. Banyak sudah yang harus dibayar sebagai biaya pada pengorbanan tak berdosa alam dan pekerja-pekerja otot yang tetap saja tertindas. Yang ini adalah jalan lain lagi menuju kehancuran alam sekaligus eksistensi manusia sebagai pembentuk dan perencana masa depan dunia.


- Agus Suwage, Self Portrait -

Inilah penyimpangan, semenjak revolusi industri terjadi sekalipun di Eropa awal abad 18, teknologi massal di terapkan dan swasta di beri kebebasan sebebas bebasnya terhadap pengelolaan hasil alam, invasi akan sumber daya alam telah menjelajah jauh semenjak pembenaran lewat kolonialisme, kebersamaan pengelolaan masyarakat dunia, kesadaran kapitalistik mencengkram negara negara dunia ketiga pun, hanya bisa menerima dan inilah apa yang disebut naluri instingtif manusia, rasio yang terabaikan dengan menganggap hal di luar manusia sebagai komoditas dan alat belaka.

Penghancuran dan peleburan humanistik .

Saya terkesima dengan sebuah hasil laporan lokakarya tentang dialog antara pemerhati masalah budaya di beberapa negara yang kebetulan non sentral atau blok blok mainstream ("Fixing the Bridge", Cemeti Art Foundation, Yogyakarta 2004). Globalisme ditenggarai menjadi biang kerok yang makin memperkeruh tekanan politis sosial budaya negara negara maju terhadap laju gerak pertumbuhan negara dunia ketiga dan ke empat. Hal mana yang di analisa lewat perkembangan dialog budaya, dalam konteks seni rupa, wahana sosial dan medan kritis terhadap kanon budaya pusat di negara Eropa dan Amerika.

Saya berpikir dengan segala elemen yang menafasi gerak gerik kehidupan selain air dan udara di bumi ini. Yakni Reebok, Nike, Siemens, Prada (palsu), Samsung,Merek merek abal abal di pinggir jalan, dvd bajakan, pecel lele dan jika minum coca cola dan teh manis anget sama kompleksnya makan di Hanamasa dan warung capcay Mas Slamet dan di tambahi pula oleh printer epson dan geliat transportasi dan komunikasi lewat jaringan internet. Kesamaan secara belaka di berbagai kota besar di seluruh dunia. Potret kaum muda di dunia lewat nafas globalisasi.

Film-film yang kita tonton di bioskop adalah hasil penguasaan sekitar enam – tujuh perusahaan film di dunia saja. Mereka amat sangat menentukan apa yang kita tonton. Dalam banyak hal juga menentukan pembentukan selera kultural kita. Itu bukan terjadi di film saja, tetapi dalam musik juga. Selera kultural secara keseluruhan amat sangat ditentukan oleh kinerja globalisasi dewasa ini. Jadi bukan hanya film atau musik, tetapi juga bungkus kultural secara keseluruhan.

Globalisasi mengesampingkan kesejahteraan bersama dan itu pasti.

Setuju atau tidak , kesempatan untuk mengakomodir hal ini terjadi lewat penilaian relevansi dan ketidak relevansinya pada manusia. Saya melihat tidak ada yang perlu di takutkan, toh ini adalah salah satu cara mencermati pemikiran lain tentang apa yang terjadi di belahan dunia saat ini. Menentang globalisasi adalah belaka konyol semata sebagai kemajuan yang tak dapat di lawan, dan menikmatinya adalah terseret pada arus enigmatik yang menekan batiniah menjadi konsumtif belaka.

(ampun deh)

Tuesday, February 01, 2005

Sepenggal cerita perjalanan menuju Bali + Jean-Michel Basquiat

Sudah Senen rupanya dan tanggal 1 pula, inilah cerita saya di akhir bulan kemarin untuk melihat langsung pameran Jean-Michel Basquiat di Bali, selama 2 hari lebih.

Bersama seorang rekan, Joko Dwi Avianto dan saya sendiri tentunya, mencoba menikmati perjalanan selama sehari semalam dengan menggunakan bus (yang pada akhirnya membuat saya kapok akhirnya, walau seru juga ketika mengidentifikasikan lokasi lokasi penting di tiap kota yang di lewati, yang kebetulan merupakan kampung halaman para rekan rekan kuliah kami dahulu).

Dan maka dari itu, sampailah kami pada sebuah pameran yang berlangsung lewat pembukaan yang bertele tele dengan sejumlah sambutan dan impresi awal yang sekiranya (diharapkan) mengesankan dengan sekedar membahas sisi fenomenal dan kesejarahan pop sebagai embel embel belaka muatan nilai harga lukisan yang mahal saja, maka resmilah pameran dengan tendensi menguak sekelumit jejak seniman pop new york, Jean-Michel Basquiat di buka.

Fiuh . . .euphoria dari keberhasilan memboyong karya seniman pop kelas dunia, Basquiat.

Teng, pukul setengah 9 malam di Darga Gallery, Sanur, Bali pada tanggal 29 januari 2005, pameran ini resmi di buka.

Inilah pameran yang di ketengahkan untuk memperingati kehidupan sesosok seniman yang meninggal karena overdosis di usia 28 tahun, pada tahun 1988, yang belakangan kembali hangat di bicarakan di masyarakat Seni Rupa tanah air, dengan sekitar 15 karya yang di pamerkan baik itu di atas panel pintu, kanvas dan kayu.

Pameran di mulai di lantai pertama yang mengetengahkan proses dan sekelumit visual foto perjalanan karir Basquiat. Bersama Warhol, Keith Harring, in Studio bla bla bla sebagai semacam prolog sebelum memasuki dimensi kekaryaan Basquiat secara nyata.

Jantung saya tergetar, sesaat setelah melihat karya di lantai ke dua, dan menyaksikan jejak sepatu kotor yang masih menempel di kanvas ( hmmm saya gak tau teknik spray yang ampuh buat melindungi lapisan luar karya karya seperti itu dengan hasil yang maksimal dan clean seperti itu ). Goresan kuas, pastel spidol dan cat yang sembarangan dan gambar gambar ‘ancur’ nya. Beautifully make any sense.

Sesosok seniman yang bahkan membuat orang seperti saya mencoba mengapresiasi karya karyanya sejak 7 tahun yang lampau lewat film “Basquiat” yang di sutradarai Julian Schnabel dan “ Downtown 81”yang di sutradarai Edo Bertoglio, sebuah film retrospektif tentang urban dan keseniannya, dengan basquiat sendiri sebagai bintang utama, belum lagi buku buku dan artefak tentang dirinya yang tersebar di internet.

Karya karya nya mengetengahkan sesuatu. Terkadang kasar dan kekanak kanakan.
Betapa kritis dan populis tema yang diangkat dengan ketidak peduliannya terhadap komposisi dalam konteks perupaan yang benar benar menjadikan karyanya amat sangat cool dan liar.

Justru ketidak peduliannya dalam berkarya dan gaya hidupnya, merupakan representasi kepeduliannya terhadap permasalahan yang terkombinasi sesuai berbagai elemen sosial, menyinggung masalah politis, ras, religi, kebobrokan mental, indutrialisasi, dan mengkritisi artworld itu sendiri. Wujud kebobrokan status hierarki masyarakat urban. Seperti yang di ungkapkan lewat jargon Same ‘ol Shit alias SAMO. ( seorang rekan dengan sadar dan terinspirasi untuk mengaktivasi kesadaran sosial lewat karyanya yang meniru secara telak jargon ini - Social Activator Mobile Object )

Karya karya di lantai paling atas, justru mengetengahkan sebuah puitikalisasi yang mengandung visual yang amat sangat menarik, (saya mungkin melanggar ketentuan untuk tidak mengambil gambar karya karya Basquiat, seperti yang di perlihatkan dengan tingkah laku sekuriti yang amat tengil, namun hal ini bisa di atasi dengan menipu gerak).

Karya karyanya di atas panel panel pintu apartemen dan studio ataupun memang berkarya di atas media pintu pun, masih menyisakan kekaguman. Bekas tendangan kaki basquiat yang menembus lapisan pintu pun masih terawat dengan baik dan serpihan kayu masih menempel dengan baik.



Sekali lagi komplektisitas yang lebih luas di paparkan lewat karya karya yang di mix sekenanya tanpa memikirkan komposisi, puisi, graffiti dan goresan kapur yang di perlakukan sama dengan di tembok jalanan kota New York dan dengan di atas kanvas. Seperti layaknya improvisasi liar musik jazz yang kerap berubah dengan pakem standar namun berbeda beda setiap penyampaiannya.



Mungkin juga tidak. Improvisasi dan ketidak harmonisan liar ini malah menjadi keseragaman karya juga ujung ujungnya yang mewarnai dan mencirikan karya karya seorang Basquiat. Dan itu biasa di tiap seniman lewat karya karyanya sampai saat ini.





Namun saya pikir tanpa untuk mengomentari lebih lanjut ada sesuatu peyampaian dan hasil yang di dapat oleh para audiens yang berbeda beda di tiap pameran seni rupa. Baik itu karya seniman yang hanya tahu menggambar ikan dan kuda sampai karya yang kedalamannya sudah antah berantah penyampaiannya.


Ini blog gue wajar dong numpang pasang poto gue ndiri..jangan protes

Begitulah ketika kami pulang pun, ingatan tentang embel embel tentang harga yang fenomenal tentang lukisannya, sambutan bertele tele yang di paksa mencoba mengerti apa yang menjadi pijakan karya sang seniman dan spontanitas sang almarhum sampai kemudian apa yang menjadi urgensi kepentingan Pop-isme basquiat sebagai salah satu literatur penting sejarah seni modern ( Barat ), spontan menjadi semacam memori yang amat indah bagi saya dan rekan rekan yang hadir saat itu tentunya.

Dipamerkan di sebuah ibukota provinsi di sebuah pulau yang mendunia dan terletak di bagian tengah Indonesia yang telah lama menjelma menjadi sebuah halaman belakang negeri Eropa dan Asutralia. Indah dengan alamnya dan masih selalu terbebankan dengan pariwisata yang akan selalu dan selalu menjadi bagian dari itu , dan sayangnya masih mati matian mempertahankan tradisi yang makin lama makin terkombinasi dengan acuan barat yang menghilangkan kebanggan itu sendiri. Menghasilkan pemahaman orientasi seni tradisi semata dan kombinasi kultural dan menghasilkan even even yang kebanyakan gagap menterjemahkan hal hal ini sendiri, termasuk wacana dari pameran basquiat itu sendiri.Internasionalisasi yang keteteran karena tradisi.

Kritisisme yang tak nampak.


-punten atuh Basquiat, karya maneh di oprek ku abdi, All Beef jadi All Beer :p-

Secara keseluruhan hal ini menjadi memori yang cukup mengasyikkan dan jelang tengah malam di pinggir pantai Kuta sambil minum beer sesudahnya.wakakakakaka

Selamat kepada penyelenggara :)

(thks buat Pande, geng yang lagi lagi ketemu melulu di Kebon Bibit eeh ini ada di Bali dan ibu ini)