Thursday, June 30, 2005

Singer

Image hosted by Photobucket.com

Iklan yang satu ini lebih lawas dari iklan Mesin Jahit Singer yang memunculkan bintang iklan terkenal Ibu Singer. Saya dulu pernah memiliki beberapa majalah lama yang memuat iklan ini, yang entah kemana saat ini sekarang. Bagi saya cukup hal ini cukup menarik, sebagai item lama yang layak koleksi. Maunya sih dalam data softcopy atau digital loh ...

Ibu Singer (bukan penyanyi), aselinya memang bernama RIEKA HARTONO D. PUSPONEGORO ini adalah salah satu ikon iklan mesin jahit yang terkenal pada tahun 70-an. Sayang, saya belum bisa mendapatkan gambarnya.

Untuk urusan mesin jahitnya sendiri, saya sudah pernah melihat eyang saya bekerja dengam mesin jahit ini. Hebat, sampai sekarang mesin itu masih awet.

Wednesday, June 29, 2005

Takashi Murakami

Selalu ada cara mewujudkan kecintaan masa kanak-kanak dalam karya perupaan yang rumit dan satir sekalipun. Fun, menghibur namun dalam dimensi yang besar.

Image hosted by Photobucket.com

Karya Takashi Murakami, mengingatkan akan keceriaan masa kanak-kanak yang terobsesi dengan gadget, toys, dan figur-figur komikal. Lingkup visual wujud karyanya, berkisar dari cartoony paintings sampai wujud quasi-minimalist sculptures serta balon-balon raksasa. Penerapan wujud lain malah dalam prduk massal seperti kaos, mug dan bahkan action figure yang menyerupai produk Manga, Jepang. Surealis yang komikus. Sepintas melihat karyanya, saya seperti melihat parodi hidup dari wujud komikal yang banyak digandrungi generasi muda saat ini.

Image hosted by Photobucket.comFrom Mori Art Museum Inaugural Exhibition, Happiness © 2003, Takashi Murakami

Salah satu statement darinya yang menarik, adalah konteks kritik dan pemahamannya tentang budaya Jepang saat ini. Dimana kultur jepang sendiri menyimpan banyak wujud subkultur sebagai kepentingan sesaat dan mencabut kebersamaan masyarakat selaku makhluk sosial yang selama ini dirindukan dirinya. Utopis memang, namun perilaku dan kepentingan budaya telah tercabut dan memang lebih baik identitas tak perlu dipermasalahkan lagi nilai orisinilnya.

Image hosted by Photobucket.com
"Dob's March," by Takashi Murakami, vinyl chloride and helium, 92 1/2 by 120 by 71 inches, 1994


Sehingga, Murakami banyak menginterprestasikan karyanya dalam konteks hiburan, ikon komikal dan sesuatu yang bersifat populer. Seni seolah menjadi tidak penting untuk dipermasalahkan dalam wujud batasan. Komunikasi dan pesan yang ingin disampaikan. Hanya sejauh mana upaya untuk memperlihatkannya dalam konteks dan situasi yang sesuai dengan tujuannya.

Klik disini untuk lebih resmi: ++++

Monday, June 27, 2005

Julian Opie

Karyanya sih sederhana, figuratif yang digarap dengan komputer, warna-warna nge-pop. Tapi segede gambreng . . . .

Image hosted by Photobucket.com
Julian Opie, Study for Wall at WAM, 2001, inkjet on paper, 17 x 67 feet

Saya cuma sekali beruntung melihat karyanya, itupun ketika dipamerkan di Jakarta. Ketika Tribe Art Project dengan sponsor utama Lucky Strike sekitar 3 bulan yang lalu. Yakni bulan Maret. Sebuah pameran yang menarik, sayang gejala gagap perlakuan lokal terhadap karya seni dan ruang representatif galeri benar-benar parah.

Image hosted by Photobucket.com

Karya Opie (bukan Andaresta), bagi saya, mungkin cerminan khusus dari gejala seni modern yang kontemporer. Dengan tidak mengedepankan seni sebagai sesuatu yang asing dan elitis, tetapi lebih nyaman dan dekat dengan publik awam. Keseharian mungkin tema yang paling dekat dengan kita, imaji media, berlimpahnya bombardir media yang pada akhirnya bersimbolisasi pada konsep figur secara personal yang seragam. Inteprestasi khalayak umum pada karya Opie pastilah umunya seragam, namun kesepakatan secara tematis berhenti pada pencapaian visual yang 'dingin', cult material kota besar yang paradoks, cenderung simple dan juga meriah. Masinal.

Image hosted by Photobucket.com

Toh, bagi saya pembahasan karya Opie sudah merasuk dalam aspek visual yang kuat. Ketika karyanya dipampang pada cover album Blur, sesungguhnya Opie sudah semakin mendekatkan komunikasi yang sederhana, visual sebagai bahasa kontemporer saat ini terhadap khalayak umum, yang sangat beragam.

Klik untuk lebih lanjut : +++ dan yang ini resminya.

Friday, June 24, 2005

Alphonse Mucha (1860-1939)

Ah, saya selalu suka dengan karya-karyanya.

Image hosted by Photobucket.com

Alphonse Mucha, adalah satu seniman dan ilustrator yang mengkhususkan diri pada bentuk-bentuk dan gaya Art Nouveau. Seniman kelahiran Czech, yang besar dan berkarir di Paris ini memang terkenal akan gaya dan tema-tema Art Nouveau. Muscha sendiri memang salah satu pendiri gerakan yang berawal dari nama sebuah biro atau toko (salon de paris?) , yakni Maison de l'Art Nouveau, yang menggabungkan elemen seni, desain yang cenderung berbeda dan wujud yang cenderung avant-garde (wujud garda depan atau beyond) di masanya.

Image hosted by Photobucket.com

Kemampuannya dan kualitas goresan tangannya dalam drawing, melukis dan teknik cetak seperti halnya Litografi baik itu untuk kepentingan cover majalah, poster film, teater dan pameran bagi saya sangat mengagumkan. Detil, teliti, dekoratif, serta rajin dalam wujud ornamen, banyak melakukan repetisi serta penegas dalam outline yang tebal namun tetap fokus pada sosok figur (wanita) yang digambar olehnya.

Saya selalu membayangkan proses berkaryanya yang dimulai dari sketsa diatas kertas dan ratusan garis pensil baik itu salah atau benar yang akhirnya diulas oleh sapuan kuas dan detil yang hampir tanpa cacat. Suatu opsi sempurna dalam mengolah medium. Dengan proporsi figur yang selalu realis dan formal, figuratif dan menguasai proporsi ornamental. Apalagi karya-karyanya yang lain, besar-besar dan terletak diatas medium yang jauh dengan kertas, seperti tembok, kayu dan pelat cetak.

Image hosted by Photobucket.com

Akhir hidup Mucha sendiri berakhir sesaat setelah mengalami penangkapan dan penyiksaan oleh Gestapo (era perang dan invasi Jerman ke Czechoslovakia) pada tahun 1939.

klik disini untuk lebih lanjut: mucha dan yang ini

Thursday, June 23, 2005

Air untuk Semua

"Perang masa depan, akan dipicu demi emas biru. Yakni Air " (Ismael Serageldin)

Saya jadi teringat film-film dekade 80-an dan 90-an yang bertemakan fantasi masa depan seperti Mad Max, Dune, Total Recall dan Water World, semua secara tak langsung berlandaskan pada upaya membenahi peradaban manusia di masa depan yang hancur karena perebutan salah satu dari sumber kehidupan dunia, yakni air (bersih), dengan jalan perang, pindah ke planet lain dan pada intinya adalah bagaimana menyelamatkan hidup masing-masing. Air dan urusan lainnya yang terkait dengannya, merupakan perjuangan untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan urban yang pantas dipertahankan dalam kelangsungannya. Saat ini untuk Era dimana segalanya menjadi komersial, Air adalah bisnis besar. Jika berbagai perang pada abad ini nyaris selalu disebabkan oleh minyak bumi, si emas hitam, perang masa depan akan dipicu oleh emas biru alias air. Satu dekade sejak ucapan Ismael Serageldin itu, krisis air di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, semakin nyata.

Image hosted by Photobucket.com

Air merupakan sumber kehidupan. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Wilayah Indonesia, menurut LIPI, memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan demikian di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak. Semoga ini bukan menjadi salah satu dari sejuta bencana yang terencana

Ketika air melimpah dan menerjang segala yang ada, bencana adalah sesuatu yang dialamatkan kepadanya. Ketika tubuh haus, air digunakan memberikan dahaga yang pantas dan sesuai kepadanya. Namun ketika kota-kota tanpa air bersih baik di alam dan sekelilingnya yang mengalir didalamnya, alangkah kering dan begitu kumuh rasanya. Ketika limbah industri yang berbentuk cair melahap perjalanan air disungai, manusia menjadi korbannya. Ketika Air dikuasai oleh segelintir pemilik modal besar, di sumber-sumber mata air dipegunungan, kita jadi terpaksa membeli air bersih dan layak bagi tubuh dengan harga yang mahal. Bahkan, sesudah buang air besar atau kecil pun, air masih dibutuhkan. Sampai membuang sampah di got-got, mematikan pergerakan air yang menghentikan desakan nafas kehidupannya sendiri. Air menjadi busuk, air menjadi bau, keruh dan mati. Air hancur secara perlahan karena umat manusia sendiri. Sebagai buah dari perilaku biadab manusia terhadap lingkungan.

Air, merupakan darah dunia. Sesuatu yang diperlukan, memang benar adanya jika manusia masih bisa bertahan hidup tanpa makan, namun tidak jika tanpa air. Untuk urusan kesehatan rasanya air memang amat penting, 70 persen lebih tubuh manusia yang di dalam terdiri dari wuju cair. Tetapi bagaimana dengan air yang ada di luar, dan memang berfungsi sebagai pengikat keseimbangan ekosistem alam?. Hal itu terkait dengan tempat, wilayah dan lingkungan. Coba tidak usah jauh-jauh berpikir dengan masalah global, untuk membicarakan air yang ada saat ini, misalnya, di Bandung, amat sangat ironis mengingat kedekatan budaya Sunda terhadap penamaan tempat yang bercirikan "Ci" dan filosofi air sebagai nama tempat. Pada tiap tempat namun air yang ada sudah rusak tak terurus, apalagi untuk urusan sampah. Air di situ hanya menjadi wacana sejarah nan usang belaka. Sedangkan untuk ibu kota, Jakarta, rasanya air yang ada di sungai, sudah mati, memang air yang tak lagi bergerak, bernafas dan mencuci ulang. Air menjadi mahal, menjadi nilai nilai komersil, air di kolaborasikan dengan teknologi tinggi seperti hidrogen, oksigen yang dijual mahal dan menyalahi fungsi sebenarnya, air bersih yang gratis untuk semua orang. Sumber air akhirnya dikuasai atau diprivatisasi, air bersih di pegunungan dikuasai untuk dalih kepentingan orang banyak yang tak akan pernah melihat daya jangkau setiap orang. Air yang dipakai untuk kehidupan, bukan hanya umat manusia. Dengan dalih bumi terdiri dari lautan rasanya tak nyaman untuk mendengar manusia dilanda kekeringan dan kehancuran kehidupan karena tak dapat memiliki Air bersih untuk kehidupannya.

Rasanya hal yang pantas dilakukan saat ini adalah menyelamatkan air di sekeliling kita. Baik hemat menggunakan air dan tanah di sekeliling kita sebagai resapan air yang baik. Semoga bukan sekedar membeo retorika dari pemerintah belaka yang terkadang lebih mengedepankan mental bobrok di khalayak, dibandingkan mengurusi masalah terpenting dalam hidup ini, yakni air bagi semua orang, dan untuk kehidupan rakyat kecil terutama. Wah, bagi saya, rasanya semua polemik dan pesan itu mengerucut jadi satu ajakan, yakni; 'Gunakanlah air secara bijak'. Piss beybeh !

Tuesday, June 21, 2005

iPod vs Gramafon

Sebuah iklan lokal jaman Belanda yang memperdagangkan produk pemutar kepingan piringan hitam dan yang satu lagi sebuah music player digital merek ternama. Keduanya berbeda secara waktu, lahan industri dan tempat. Namun keduanya memiliki satu tujuan, komunikasi dengan bungkus yang sama. Yang satu dengan tujuan secara jelas, lugas dan terpercaya, sedangkan satunya lagi dengan wujud dan konsep lama yang mengajak untuk berpikir ulang sehingga bermuara pada satu kesimpulan; "Keren!".

Image hosted by Photobucket.com

dan

Image hosted by Photobucket.com

Untuk memperbandingkan kedua iklan ini adalah lebih bagaimana untuk mengetahui apa yang hendak dikomunikasikan. Batasan untuk iklan jaman dahulu yang mengakomodir segala kesimpulan tegas dalam komunikasi yang padat dan langsung sasaran jelas, sama dengan sekarang namun berbanding terbalik dengan upaya mereduksi makna visual dan bentuk yang memungkinkan audiens lebih 'berpikir', untuk mengerti maknanya dan bukan tak mungkin ini sekedar sebuah 'keisengan' belaka yang diseriusi. Sehingga cecitraan dan makna imaji dapat dibentuk secara permanen dengan menggunakan idiom simbol yang merujuk secara tak langsung kepada produk yang ditawarkan. Terlepas, dari perihal kapital dan wahana iklan sebagai lahan industri yang kerap memborbardir kita tanpa toleransi saat ini.

Bagi saya, konsepsi retro disaat ini memang mengasyikkan, sama halnya ketika jenuh dengan segala sesuatu yang cenderung simbolik dan terdekonstruksi ulang, maka terkadang apa yang ingin disampaikan dengan wujud klasik ( perspektif masa kini) meringankan beban dan mempermudah konsumsi tentang apa yang diterima.

Friday, June 17, 2005

Yoko Ono - Flux Art

Yoko Ono? John Lennon?

Sedikit dari kita yang memahami bahwa sosok wanita jepang kelahiran 1933 ini dan juga istri dari mendiang pendiri The Beatles, adalah salah satu seniman yang sempat menjadi eksponen sebuah gerakan Seni Rupa di Amerika periode 60-an awal, yakni Flux Art. Flux Art, bisa juga didefinisikan sebagai sebuah konsep seni rupa yang mengetengahkan pengalaman artistik 'baru' secara total ketika secara langsung berhadapan dengan penonton, dengan menggunakan banyak media, atau secara spesifik, bisa disebut dengan intermedia art.

Seniman jepang yang lahir di era pasca perang dan masa transisi keterbukaan global antara poros kebudayaan, Amerika, Asia (Timur) dan Eropa ini, telah merepresentasikan realitas akan hal itu. Modernisasi yang terkait antara latar belakang pendidikannya di sekolah Musik di New York dan sekolah Seni Rupa, menghasilkan pemahaman akan wujud perupaan yang dikategorikan pembaharu garda depan (avant-garde).

Image hosted by Photobucket.com

Yoko Ono, secara konsep, karya-karyanya cenderung mengkritisi situasi tentang pemahaman dematerialisasi seni. Dia memang dikenal sebagai seniman konseptual dan performance. Secara medium, karyanya bergerak dimulai dari instalasi, performance atau dua dimensi. Bagi saya, cenderung lebih 'dalam', perlu konsentrasi lebih untuk dapat 'membaca' karya-karyanya (yang pada akhirnya didokumentasikan dalam foto dan buku-buku, dengan realita yang lebih tentunya). Berbagai macam label seperti permasalahan gender dalam sudut pandang feminisme yang radikal, sampai pada olah suara sebagai pemahaman estetika yang anarkis, semua masuk dalam karyanya. Media (baru) yang memang dikolaborasikan dengan konsepsi seni konseptualnya. Secara visual, wujud instalasi seperti cahaya, musik dan gerak olah tubuh, memang dipengaruhi oleh umumnya penyikapan artistik seniman Asia yang mempermasalahkan material. Semenjak tahun 1960-an, Nam June Paik, Yayoi Kusama, Takehisa Kosugi, Shigeko Kubota (mirip merek pompa air..:P) dan lainnya, telah melakukan penyikapan wujud baru dalam medium terhadap seni rupa pada umumnya.

Image hosted by Photobucket.com
Yoko Ono, Cut Piece, 1965 (performance art,video; 30 minutes)

Pada akhirnya janda mendiang John Lennon ini akhirnya memang terkenal akan pernikahannya dengan sang almarhum. Kontroversi yang mengatakan dirinya, adalah sosok yang bertanggung jawab atas bubarnya band legendaris itu mungkin akan dikenang sampai akhir hayatnya. Setelah puluhan tahun, semenjak kejadian tragis yang merengut nyawa suaminya tersebut, Yoko tetap berkarya, sculpture, film pendek, komposisi sound dan konsepsi fine art dalam wujud yang lebih dalam. Mementahkan kritik yang mengatakan karya-karyanya tak lebih bermakna, namun pada akhirnya sukses membiaskan batasan media dalam karya -karyanya. Dirinya pun juga dikenal sebagai musisi telah yang mengeluarkan belasan single dan album. Baik itu dalam kolaborasinya dengan almarhum suaminya atau secara solo.

klik untuk lebih lanjut : situs tidak resmi

Thursday, June 16, 2005

Kiki Smith

Mungkin bisa disebutkan, salah satu nama ini, Kiki Smith, sebagai salah satu seniman wanita yang cukup intens menggarap karyanya dalam teknik yang cukup konvensional. Salah satu seniman wanita kelahiran jerman yang cukup terkenal di Amerika ini, seringkali memvisualisasikan objek objek figurative, anatomy, self-portraiture, nature, and female iconography. Sepintas, karya-karya ini mengingatkan saya akan objek 3 dimensional yang memiliki kemiripan dengan karya Agus Suwage. Pendidikan formalis yang diterimanya dalam seni rupa telah menghasilkan pemahaman dan teknik berkarya patung secara geometris yang cukup tinggi.

Image hosted by Photobucket.com
Untitled (Flower Head)/1994/bronze and glass + Untitled (Roses)/1994/cast aluminum/ 65 x 43 x 21 in.

Awal-awal karirnya, Kiki lebih cenderung mengutamakan objek-objek formalis, seperti yang dijelaskan tadi, tentang tubuh. untuk kemudian pergerakan karyanya, seperti halnya seniman yang tidak puas pada satu medium ungkap, beralih ke kanvas dan objek-objek cecitraan dua dimensional yang cenderung langsung dan spontan.

Image hosted by Photobucket.com
Rapture/2001/Bronze/67 1/4 x 62 x 26 1/4 inches/Edition of 3

Ada pemahaman yang menarik tentang karya-karyanya. Pemahaman objek tubuh yang ajeg dan struktur anatomi yang terkuasai dengan baik dan untuk kemudian direpresentasikan dalam medium seperti perak, bronze dan wax. Alhasil tema simbolik seperti representasi Life, death - resurrection itu sendiri, menceritakan penandaan subjek dari manusia selaku pemilik wacana tubuh terdekat. Tatanan struktur tubuh yang dekat dengan tema klasik, mitologi Yunani Kuno, dan problematika (yang akhirnya mengacu juga) gender sendiri terpancar tanpa harus berteriak dalam level kesetaraan. Instalasi rupa, patung dan terakhir di tahun 2003, Kiki Smith mengeluarkan karya cetak (print making)dalam pamerannya sendiri, Kiki Smith: Prints, Books, and Things (2003).

Image hosted by Photobucket.com
My Blue Lake, 1994/Photogravure and monoprint/42 1/2 x 53 1/2 inches/Edition of 41

Tema dengan pendekatan teknis ternyata menghasilkan konsep yang sangat jelas dan terbingkai dalam level profesionalitas, sampai sejauh mana pemahaman karya dan senimannya sendiri saling terkait. Sebagai sebuah 'greget' filosofis.

klik : ini

Tuesday, June 14, 2005

Edvard Munch

Biasanya karya seni yang jenius dihasilkan oleh pribadi penciptaan para seniman yang 'depresif'. Sedangkan ketika suasana ceria, yang lahir malah biasa biasa saja (?). Untuk itulah ketika sesuatu yang subjektif terkait dengan produk cita rasa pribadi. Latar belakang penciptaan karya-karya cenderung dihasilkan oleh kekuatan mengekspresikan rasa yang cenderung terpuruk, empati dan apa yang melatari keberpihakan secara total terhadap mood. Tak salah, seperti karya yang dihasilkan oleh Edvard Munch, Van Gogh, sang filsuf; Frederich Nietschze dan jika para penikmat musik rock pasti tahu, bagaimana Jim Morrison, Richie Edwards (Manics Street Preachers), Ian Curtis(Joy Division), Kurt Cobain, Michael Hutchence (INXS) mengakhiri hidup secara tragis. Tak usah jauh jauh, sosok seperti Chairil Anwar pun mengalami rentang usia karir yang terbilang sangat pendek, ditengah keterpurukannya oleh nikotin, alkohol dan perilaku kehidupan seksualnya yang notabene liar. Karya yang luar biasa dihasilkan oleh sosok-sosok yang secara pribadi yang luluh lantak oleh ego kehancuran dan tenggelam akan ketakutan terhadap kehidupannya sendiri.

Image hosted by Photobucket.com

Kali ini karya karya Edvard Munch (1863-1944), menarik perhatian saya akan salah satu sisi tragis daripada wujud ekspesionis dalam sebuah karya seni. Munch, seniman kelahiran Norwegia dan juga merupakan sosok founding father dari expressionist movement di Jerman tahun awal 1900-an.

Image hosted by Photobucket.com

Selain terkenal akan karya lukisnya, Munch juga terkenal akan kepiawaiannya dalam membuat karya Grafis atau cetak. Hal yang cukup wajar, mengingat dimasa itu, Seni Cetak (cukil kayu/woodcut, intaglio, etching dan lainnya), sebagai acuan berkarya mengalami salah satu masa keemasan di Eropa khususnya era Republik Weimar (Jerman), yang lebih cenderung representasi politis, sebelum era Nazi.

Image hosted by Photobucket.com

Karya-karyanya banyak mengundang pertanyaan yang memperkaitkan skema ketakutan akan hidup, cinta dan kematian dalam emosi terdalam. Sesuatu yang mengundang decak kagum atas keberhasilan Munch merepresentasikan ketakutan terdalam terhadap situasi dan kondisi sekelilingnya yang mulai dimakan oleh industri dan 'masyarakat' yang mulai sakit. Munch mengelaborasikan tanda, sosok-sosok pribadi dan cerminan diri sendiri yang terkait dengan pemahaman sureal akan makna dari ketakutan. Pencarian demi pencarian saat itu telah melahirkan arahan penting tentang makna terdalam dari esensi sebuah karya. Keyakinan bahwa seni merupakan suatu dogma dalam kehidupan yang lahir dari sisi empati terdalam sebagai refleksi terhadap keadaan sekitar, telah mengakibatkan Munch kehilangan kepercayaan terhadap esensi terdalam dari hubungan personal antara diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Suasana perang, kondisi sosial yang timpang, kegelisahan prbadi dan campur aduk lainnya terpancar dari karya-karya Munch yang terlihat makin absurd dan figuratif. Pencarian yang tak kenal lelah dalam setiap karya-karyanya adalah sisi kontemplatif yang penuh perenungan, bukan sesuatu yang main-main jika dia pernah mengatakan seni adalah sebuah totalitas kehidupan. Pada akhirnya, pencarian rupa dalam haluan besar ekspresionisme tersebut mengakibatkan konsekuensi yang fatal, keseimbangan mentalnya terganggu. Salah satu karyanya yang paling terkenal, yang bertemakan kegelisahan (Anxiety), The Scream(1893), muncul dan didominasi oleh berbagai macam kode simbolik akan dialog fakta tekanan pada sebuah kondisi kejiwaan yang timpang. Lukisan ini merupakan salah satu kajian visual psikologis yang banyak diterapkan sebagai satu contoh oleh Sigmund Freud, salah satu tokoh psikologi terkenal di masa itu. Munch, dalam perjalanan karirnya memang banyak menghasilkan karya lukis yang senada dengan pandangannya akan ketakutan, kecemasan akan kematian dan cinta sebagai sesuatu yang buram dan berjarak, seiring dengan kondisi mentalnya yang makin memburuk pada tahun 1908.

Munch kemudian meninggal pada tahun 1944, di lokasi peristirahatannya di Norwegia. Setelah mengalami nervous breakdown yang cukup parah, dan pneumonia yang merengut hidupnya.

Klik untuk lebih lanjut: +++

Monday, June 13, 2005

Vulgar Display Of Power (1993)

Image hosted by Photobucket.com

Album ini memang 'nonjok', seperti covernya. Hmmm ...bagi penikmat musik rock yang pernah mendengar album klasik dari sebuah band metal lama, Pantera, pasti rasanya sebagian besar akan setuju jika "Vulgar Display Of Power(1993)", merupakan album terbaik mereka. Selain album klasik seperti "Chaos A.D" nya Sepultura dan "Burn My Eyes" nya Machine Head. Album yang pernah dikategorikan album metal terbaik versi majalah Metal Edge ini, dan no.1 di tangga Billboard, memang merupakan salah satu karya terbaik dari segerombolan musisi asal Dallas ini. Album sebelumnya, "Cowboys From Hell(1991)", masih amat terasa ciri khas metal dekade tersebut, melodi yang egois, dan vokal melengking lengking, dan dandanan yang mulai meninggalkan outfit era rocker jijay rumbai-rumbai dan berganti dengan jaket kulit hitam hitam + rambut gondrong, memang juga album yang bagus. Namun rasanya warna musik yang disebut power-groove-metal terpatri dengan jelas di album ini. Dengan sound yang berat, beat yang memang groove dan kombinasi vokal a la Black Flag, growl Hardcore dan old school punk. Album ini layak dikenang, dengan ciri khas yang meredefinisikan ulang tentang musik Heavy Metal. Secara tipikal, distorsi yang muncul memang berat, dan jika masuk ke bagian melodi bisa bikin kuping sakit. Belum lagi double pedal dan vokal yang seperti orang marah-marah.

Saya teringat, album ini di tahun itu amat sangat laris di pasaran. Lagu lagu seperti, "Mouth For War", "Walk","This Love","Hollow","By Demons Be Driven"," A New Level" dan "Fucking Hostile", "No Good (Attack The Radical)" dan lainnya. Album ini memang keras, skill tinggi, kencang trademark Dimebag Darrel dengan raungan gitar yang bikin sakit kuping dan irama yang ngebut, vokal kasar Phillip Anselmo rasanya cocok untuk soundtrack kebut kebutan dengan motor trail, diatas bukit, sambil tutup mata (heee..heee).



Penutupnya menarik sekali, lagu balada (saya lebih suka menggunakan istilah ini dibandingkan "Slow Rock", Rock kok slow ...ckckckc)yang bagus dan cenderung muram, "Hollow". Kemudian, berturut turut, lahir album-album yang tak kalah bagusnya, seperti "Far Beyond Driven(1994)", "The Great Southern Trendkill(1996)",satu album live (yang saya lupa judulnya) dan terakhir " Reinventing the Steel(2001)". Sebelum mereka membubarkan diri, dan nasib Dimebag Darrel, berakhir tragis dengan tewas di tangan penggemarnya, akhir tahun kemarin. Saat konser dengan band barunya, Damageplan.

Klik disini : !!!

Saturday, June 04, 2005

Queens Of The Stone Age - Lullabies to Paralyze

"So thrilling, visceral experience . . ."

Gerombolan musisi 'sakit' dengan outfit pelayar dan tema tema absurd telah kembali. Dan mereka mengeluarkan album terbarunya, dengan musik yang lebih pelan tapi ....njelimet. Queens Of the Stone Age atawa yang lebih enak disingkat dengan QOTSA. Nick Oliveri, sang bassis yang suka telanjang di atas panggung dan telah lama ikut serta dalam album album QOTSA, keluar, dan mereka tetap membuat aroma rock n roll (padang pasir?) ala QOTSA dengan harmonisasi yang terasa kering dan gersang. Sejak album terbaiknya, Songs for The Deaf dirilis tahun 2002, kesibukan konser dan membuat band 'senang senang' seperti Mondo Generator, Eagles Of Death Metal, makin mencirikan kreativitas tunggal seorang Josh Homme, selaku otak QOTSA ini.

Image hosted by Photobucket.com

Kali ini dengan cover yang mencirikan sesuatu yang aneh dan ganjil, album ini banyak menuai kekecewaan dari para penggemarnya dan ekspektasi tentang QOTSA saat ini. Di album terakhir yang dirilis pada bulan bulan kemarin ini, terasa sekali aroma eksperimentasi, fuzzy guitars, dark metallic riffs, aroma Pshycedelic, Led Zepellin dan Stoner Rock. Simak track seperti " Little Sister"," "You Got a Killer Scene There, Man...","Everybody Knows That You Are Insane" dan track lainnya. Njelimet, gelap ...seakan mendengarkannnya pun seperti tak ada semangat, pedih sekali. Aneh tapi tetap menarik untuk disimak.

Image hosted by Photobucket.com

Bagi yang pernah mendengarkan album sebelumnya, dimana pentolan Foo Fighters dan ex-Nirvana, Dave Grohl turut serta, dan mengharapkan album ini sama dengannya, lupakan. Mungkin tidak se-perfect album Songs For the Deaf, tapi mereka tetap solid.

Thursday, June 02, 2005

Jeff Koons

Jeff Koons, mungkin adalah sedikit dari seniman unik yang mengusung seni konseptual yang memandang materi sebagai objek bercerita. Seorang figur yang menarik perhatian, karena karyanya kerap mengundang kontroversi. Secara latar belakang, Koons, yang pernah bekerja sebagai broker di Wall Street, dan amat paham dalam berkomunikasi, tentunya memiliki pandangan tersendiri ketika karyanya belakangan mulai berbicara tentang realita yang kerap ditentang dalam masyarakat Amerika pada umumnya.

Image hosted by Photobucket.com
Easter Bunny

Karyanya kerap kali mengundang kontroversi dengan kritik tajam atas kesenjangan ekonomi, perbedaan kelas dan warna kulit, duplikasi produksi, yang tentunya dengan menggunakan simbolisasi objek keseharian. Mungkin secara bentuk, karya Koons tak lagi mengikuti arus Pop, ketika permasalahan tentang realita dan objek benda kemasyarakatan amat mendominasi arus perbincangan tentang jarak seni dengan masyarakat. Mungkin juga wilayah Kontemporer, ketika karyanya mengundang perbincangan dengan meminjam dan meniru ikon ikon porselen yang terkenal dan bahkan juga istrinya (mantan?), Cicciolina Ilona Staller, sang bintang film porno dari Italia tahun 90-an. Karyanya diletakkan di ruang ruang publik dan sempat menjadi ikon sebuah tempat, dikoleksi oleh korporat korporat yang dikritiknya seperti, Spalding, Nike dan lainnya, hal ini memang mengindikasikan kemampuan komunikasi Koons dalam level profesional. Apapun, tapi secara konsep, karya karyanya adalah refleksi dari problem masyarakat barat pada umumnya, yang salah satunya adalah konsumerisme, arus global, permasalahan warna kulit dan kelas dan lain lain tentunya.

Toh, pada wujud akhir dari karya karyanya sendiri, Koons memang cenderung simbolik dan satire. Baginya, cecitraan seperti iklan, konsumerisme, problematika seksual dan kesenjangan ekonomi telah melahirkan perbincangan menarik tentang potret masyarakat dunia pada umumnya. Yang bermuara pada karya karyanya, dan jejak yang diikuti oleh para seniman di belahan dunia lainnya.

klik disini untuk melihat karya karyanya : +++