Thursday, December 29, 2005

Selamat Tahun Baru 2006

Penghujung tahun 2005, sudah didepan mata. Hitungan jam akan membawa diri kita masuk ke dalam suasana dan beban psikologis baru (yang secara faktual sih sama saja, cuma berbenah untuk menggulung kalender 2005 dan setting agenda di PDA). Biasanya saya tidak pernah peduli apakah itu mau pergantian tahun dipercepat sampe lebih cepat 2 kali lipat pun atau diperlama dan diundur kalo tahun baru jadi 31 Januari sekalipun, yang namanya tahun baru cuma ganti kalender saja. Karena semenjak dulu saya paling malas memasang kalender.

Ah, semoga tak terjebak sama kaleidoskop di TVRI dahulu. Yah.. namanya juga masih penganut faham calendar Gregorian, 1 januari awal segalanya. Namun lain halnya tahun baru faham lain,seperti tahun baru China, Cambodian, Islam, Hindu, Sunni bahkan Iran. Unik dan berbeda beda, tapi ya itu, intinya tetap saja sama, merayakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, hingga secara psikis orang akan terpikat untuk mendapatkan dan menerima tantangan terbaru, baik buruk atau baik.

Lucunya, walau ini sudah biasa kita dengar, seringkali ada yang menggunakan momen tahun baru untuk mabuk sampai batas maksimum dan hedon gila-an sebagai ritual mendatangkan rezeki di tahun selanjutnya, atau malah ajang melakukan having sex. Ah mending nanya Mama Loren buat hal itu.

Begitulah akhir tahun diselingi berita dan kejadian yang unik, lucu menyebalkan dan sangat berkesan. Apakah itu patah hati, gaji naik, dapet tawaran naek haji, jadi pecandu sop dan gulai kambing, keuangan naik turun, ribut besar di kantor, bah!, sampai romantika ecek ecek yang gak jelas. Apalagi berita heboh akhir tahun tentang salah kaprah tentang new age spiritualism sama boraks dan formalin di mie bihun yang sempat saya makan, dan dengan sukses sampai sekarang sewot dan berdoa semoga tidak kena yang namanya penyakit - ingat rumah sakit itu terkadang jahat, sobat! dan sekali lagi Selamat tahun baru buat teman-teman semua :)

Semoga tahun 2006 lebih baik .... dimanapun deh baiknya.

Thursday, December 15, 2005

Duchamp

Seni dalam prosesnya memang membutuhkan tokoh, namun perjalanan seni memunculkan gerakan-gerakan seni rupa yang nyaris bergerak sendiri, walau awalnya dijalankan dan dipopulerkan oleh para pendiri dan pelopor. Mungkin, tanpa adanya sosok pelopor di dalam gerakan seni rupa apapun, sebenarnya perjalanan wujud seni rupa hanya membutuhkan waktu untuk berubah. Dan sang pelopor, adalah orang yang mempercepat akan hal itu. Orang mafhum akan sosok Picasso, Dali, Christo sampai Affandi dan Sudjojono, merekalah yang menggerakan poros perubahan visual sebuah perupaan. Namun mengingat selalu ada sisi kontra dalam segala hal, dan ada yang disebut sebagai ujud tandingan yang menciptakan pemahaman baru tentang seni, bahwa seni seharusnya tidak berindah-indah, bahkan sinis terutama, untuk itu terimakasih diucapkan kepada sebuah nama :

Marcel Duchamp (1887-1968).

Image hosted by Photobucket.comPublik seni rupa mengenalnya sebagai pendobrak aturan baku yang menyatakan : Perwujudan Seni sebagai Anti Seni. Karya-karyanya dipenuhi oleh penyangkalan dan penggunaan material massa/populer sebagai hasil akhir kekaryaannya. Elemen-elemen karya seni rupa, (lukisan, patung, galeri,proses ide dan imajinasi) cenderung berjarak dan dikultuskan, pada akhirnya luluh dalam wujud yang dangkal, banal dan sangat biasa, namu mampu menaklukan stigma kuat galeri sebagai ujud museum yang sangat sakral saat itu. Duchamp menggambari reproduksi lukisan Monalisa dengan kumis (aha!), dan menawarkan estetika roda sepeda dan mesin pembuat kopi dengan memajang langsung rodanya di dalam galeri . Penolakan demi penolakan, penyangkalan demi penyangkalan. Duchamp dan kelompoknya, menolak pranata sosial sebagai jalan tengah kompromisasi seni dan masyarakat. Dan secara moral, sama dengan para koleganya, semburat orgasme di atas panggung pertunjukan performances art menjadi sah dalam kacamata mereka. Sama halnya dengan ucapan yang bertentangan dengan kaum avant-gardis bahwa seni lukis sudah habis di era tersebut (1920-an).

Duchamp telah menampar khasanah itu dengan meletakan urinoir dalam gallery dan mentahbiskannya sebagai sebuah karya seni, dengan nama samaran R.Mutt, karya itu sukses membuat publik dongkol dan kecewa ( Fountain, 1917). Kesenian sejujurnya adalah representasi masalah dan realita yang kongkrit. Wujudnya adalah sebuah antitesa dari wujud seni itu sendiri. Filosofi tentang nihilis yang kelak melahirkan gerakan nyleneh yakni Dada, Surrealism, kemudian menjadi lebih serius dalam format modernisme, figuratif hingga akhirnya Pop, bahkan sampai saat ini Kontemporer, retro dan post-mod. Dan 60 tahun kemudian negara dunia ketiga perlahan-lahan membebaskan pilihan akan haluan perupaan dalam konteks yang lebih beragam akibat pengaruh percepatan global, sosial, politis maupun gender. Seorang Arthur C Danto, pernah berujar jika ujud seni saat ini laksana seorang anak buruk rupa yang lahir dari keluarga glamour di lingkungan mewah. Seni menjadi labil dan jauh untuk dinilai secara sederhana dalam kacamata apapun. Seni secara ujar-ujar sudah tak membutuhkan posisi yang tinggi laksana menara gading untuk menganalisa apa yang ada didalamnya. Seni cukup dijabarkan dengan sederhana dan langsung.

Image hosted by Photobucket.comItu adalah pranata lawas yang sejatinya layak diingat. Kaum akademis akan habis-habisan membobol periode nyata keadaan masa lampau pada rujukan teoritis yang terkait didalamnya. Dan kaum praktik, mengetengahkan dunia yang lebih representatif akan makna sosial. Pada akhirnya seni berucap dalam media yang sejalan dengan pencapaian apresiasi dalam masyarakat modern sampai sekarang. Ucap-ucap dan semburan filosofis yang berat dalam muatannya sekarang menjadi sesuatu yang sangat beragam, sublim dan netral, tergantung bagaimana kita menerimanya.

klik: ###

Friday, December 09, 2005

Game : Sebuah Revolusi Provokasi Imajinasi

Definisinya kira-kira seperti ini;
Game1 —n. 1 form of play or sport, esp. a competitive one with rules.

Sampai saat ini, teknologi telah memungkinkan terobosan besar tentang media imajinasi yang saling terkait dengan interaksi. Game merupakan salah satu artefak abad 21 yang telah menghasilkan pemahaman besar tentang nilai spirit juang dalam sebuah daya interaktif buatan. Abad teknologi telah menciptakan peradaban terpenting dalam hidup manusia, manusia menciptakan ketidak pastian interaksi kedalam suatu dunia buatan. Game saat ini, telah berkembang menjadi industri, struktur dagang dan infrastruktur produk yang dibayangi oleh upaya memenuhi hasrat persaingan dalam diri manusia (modern) (game peperangan seperti Doom, Painkiller, Wolvenstein dll ), kekuatan (God of War, Halo2), teka teki dan petualangan (Prince of Persia: Warrior Within), kuasaan (Blietzkrieg, Rome Total Empire), hasrat maskulinitas dan kekerasan (Max Payne), libido (Leisure Suit Larry) , keingin tahuan hasrat memperindah secara fisik (beauty oriented), Horror dan kekerasan (Cold Fear, Silent Hill, Manhunt) hidup ideal, keinginan untuk yang tercepat (Need for Speed Underground: Most Wanted)dan tangan-tangan sang Pencipta (the Sim), sampai keinginan terdalam untuk merusak tatanan ideal dalam masyarakat (depraved desire) , lihat game seperti Grand Theft Auto. Dengan kata lain, imajinasi tentang kuasa diri manusia dalam apapun merupakan fantasi terdasar dalam perkembangan Game. Skenario untuk menjadi ‘robot’ dalam dunia yang tidak nyata. Dan memang ada produser yang memproduksi dan menjajakan mimpi tersebut.

***

Game sejatinya adalah permainan. Yang membutuhkan lebih dari seorang untuk menghasilkan interaksi yang terkait dengan apa yang ingin disampaikan. Muatan selanjutnya adalah pemecahan masalah, solusi dan interaksi manusia. Namun perkembangan selanjutnya adalah hawa teknologi. Yang memang tak bisa dipungkiri.

Game adalah kaki tangan produk elektronik dan nilai dagang (lihat produk seperti Sony Playstation, Sega, Atari, Nintendo), produk yang memfasilitasi tempat untuk meliberalisasikan kekerasan, persaingan dan rasa kompetitif dalam diri manusia. Game bahkan dapat menciptakan ketergantungan, kebutuhan dan kehilangan dengan interaksi sosial sesungguhnya. Manusia memang makhluk masyarakat yang memiliki jaringan, kebutuhan dan tatap muka sebagai nafas dinamika kehidupan. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi, game (media) secara perlahan mengambil alih hal tersebut, dan mengintegrasikan kepentingannya dalam dunia virtual. Banyak hal postif maupun negatif yang dihasilkan oleh media ini. Selayaknya sebuah ideologi, yang dimampatkan dalam wujud bentuk dan bisa mengeliminasi kepentingan sosial. Media saat ini memang sangat ramah - dan menusuk dari belakang.

***

Permainan semenjak saya kecil, amatlah berbeda dengan saat ini (maklum besar di kampung). Wah rasanya amat kelewatan dan tidak perlu dipertanyakan, membandingkan esensi gobak sodor, layangan dan ketrampilan dalam gamewatch ('gimwot keliling' tarif 200 perak sekali main) atau ke pusat ketangkasan game di pasar-pasar yang banyak diisi oleh remaja-remaja tukang palak uang recehan, untuk dibandingkan dengan ketangkasan menguasai permainan di GameBoy, saat ini.

Waktu dan masa yang telah berubah. Itu mungkin belasan tahun yang lampau. Sekarang kultur menjadi sangat progresif dan populis. Banal atau kedangkalan adalah kedalaman yang sangat lumrah. Nilai relatif menjadi nisbi dan bukan sekedar ilusi belaka. Ketika generasi sekarang asik menempuh intensitas gadget (playstation, nintendo 64, game boy, PC game) dalam usia dini, maka perlahan tapi pasti perubahan nilai dan cara pandang akan sebuah kompetisi dalam diri manusia telah jauh berubah. Untuk menyicipi permainan lompat tali, apakah mungkin masih ada dibenak para generasi muda, generasi dunia virtual saat ini? Realita dalam layar kaca adalah apa yang dipercayai. Manusia hidup dalam memelihara kompetisi, persaingan. Ketika ada etika, agama dan tatanan sosial yang mengharuskan manusia memiliki toleransi dalam hidup, maka endapan terdalam diri, rasa dan saling menguasai suatu unsur dipendam dalam-dalam, demi menuruti hasrat toleransi tersebut. Imajinasi liar dalam penyelesaian masalah diadaptasi dengan kemampuan manusia dimasanya.

Semenjak pertama kali olah daya kecerdasan dan pencarian suatu masalah dalam solusi, dimasa ribuan tahun silam (sejarah permainan), sampai masa digital awal di pertengahan tahun 50 an, dimana manusia mensimulasikan diri dalam citra yang saling terkait dengan wahana dan ujicoba, mode permainan telah sukses menembus batas impian dan imajinasi manusia. Simulasi, yak memang hal inilah yang mendorong manusia memiliki kemampuan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Kemampuan, sampai pada yang yang heroik sekalipun dalam game, adalah upaya memberikan solusi penting.

***

Game adalah alam nyata dalam imajinasi yang dibekukan dalam keadaan sebenarnya. Sebuah realita yang dimampatkan dalam sekeping cd, dvd, dan data digital. Penciptaan kenyataan yang dihantam dengan simulasi dan artefak yang tidak lagi menyisakan ruang bathin untuk lebih menciptakan fantasi imajinasi personil. Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kuasa imajinasi, tanpa mewakili pribadi secara nyata, bersentuhan dengan realita ilusif dalam jaringan. Benar adanya, sudah hilang upaya untuk memelihara persaingan dalam kenyataan. Berganti dengan kenyataan yang tidak nyata.

Generasi yang dalam ke ambang-sadaran atas realita yang tertaut dalam dunia layar kaca amat jauh dengan rentan waktu yang bisa dibilang sangat pendek. Generasi yang setiap 5 tahun mengalami perubahan orientasi. Lebih lambat daripada percepatan teknologi itu sendiri yang dalam kurun waktu bulanan.

Saya sendiri penyuka game, untuk sampai saat ini, rasa-rasanya game adalah candu yang sangat bertolak belakang dengan eksepsi kaum puritan dalam melihat pemecahan masalah etika, moral dan pendidikan. Kemapanan moral suatu sistem, mungkin tidak akan terganggu oleh sekedar dan secuil game, namun percayalah, anak-anak adalah sebuah kanvas bersih yang kerap di isi dengan realita hidup secara mendasar secara perlahan, dan masuknya aspek moral dalam media permainan virtual ini sangat labil dan sangat rentan ....

Apa artinya batasan usia jika bajakan sudah demikian mudah didapat.
Sampai saat ini, saya tidak tahu lagi batasan yang tepat untuk hadir dalam laju perkembangan game ini, kecuali kemampuan hardware yang rasanya semakin kuno, dalam waktu bulanan. Kenapa saya jadi ribut gini???

lihat : EA dan Sierra

*************

Aspek seni dalam game? ntahlah. Bagaimana Aspek Game dalam sudut pandang seni? yang pasti semua sudah dimanipulasi dengan yang disebut CG. Kecuali sebuah karya seni kontemporer tahun 90-an yang cukup terkenal, karya Feng Mengbo, dengan judul: "Taking Mt. Doom by Strategy CD-ROM". Dia mungkin bisa jadi the next Nam June Paik.

cek ini deh : ++)

Monday, November 28, 2005

Jack The Dripper

Cat lukis yang diteteskan (dripping) lewat ujung kuas kering di atas kanvas dan bergerak sesuka hati melintasi batas normatif penggunaan kanvas.

Inilah yang nampak dalam lukisan ini, yang dibuat oleh Jackson Pollock (1912 -1956).

Image hosted by Photobucket.comPollock, telah mendeskripsikan seni lukis yang lebih mengikuti irama hati. Sebuah gaya melukis yang disebut sebagai: Action Painting, sebuah mode aksidental dalam gestur dan irama ekspresi penggunaan leleran cat lukis yang jatuh di atas canvas. Sebenarnya tidak ada yang menarik jikalau sekedar menghayal bahwa Pollock lahir di era sekarang, dan mentahbiskan format digital (penggunaan komputer) selayaknya mode action painting ini. Tetapi itu berbeda, karena yang dibahas disini adalah seorang seniman besar Amerika, yang terkenal karena suatu teknik dan terobosan baru dalam inovasi abstrak dan kemudian menjadi mahakarya penting, dalam era seni sesudah perang. Alkisah perjuangan Pollock berawal dari lukisan figuratif yang dibuat ditahun 40-an awal sampai inovasi dalam mengungkap gaya yang kemudian dikategorikan Abstrak Ekspresionisme, adalah memang sebuah upaya enerjik untuk mencuatkan kebebasan artistik dan tekhnik, dengan ujud tak baku dan memang sangat subtil. Memang terungkap filsafat bentuk, makna dan ekspresi rupa dari sebuah medium, yang dalam hal ini adalah bentuk baru seni lukis abstrak Amerika, sebelum era Pop.

Image hosted by Photobucket.com

Ia memang sukses memberi warna baru dalam perjalanan ’akhir’ dari formalisme seni lukis.

Pollock lahir disaat seni lukis amerika membutuhkan sebuah terobosan di tahun –tahun itu. Simak ucapannya, yang mengatakan keinginan kuat untuk mengekspresikan perasaan, dibandingkan melukiskan perasaan itu. Dengan kata lain, opsi bentuk yang chaotic dan tak ada awal dan tak ada akhir, Pollock memang sukses mengatakan itu kepada para audiens karya-karyanya, tanpa harus memperdulikan penamaan karya yang terlalu sering diberi judul ”Untitled” dan "Number".

Sang bintang dan tokoh seniman terkenal itu akhirnya takluk oleh alkohol, dan meinggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil, di tahun 1956.

Check it dan yang ini.

Thursday, November 24, 2005

Let's Have a War

Ada yang berperang.

Berjuang atas nama satu tujuan.

Sampai mati pun, rasanya tidak rela melihat musuh makin menggila. Mati, mati .. ayo mati demi kemenangan.

Kalaupun mati jangan sampai sia-sia.Titik.

.............................................

Saya baru sadar kembali, ternyata peperangan masih belum selesai. Diam-diam masih menggeliat dan hadir di depan mata untuk terus berlangsung, bahkan dalam eksepsi media sendiri. Perang melawan sesuatu yang nyata. Konsepsi perang memang bisa dituliskan dalam ribuan buku, tapi intinya cuma satu, perlawanan terhadap kedua belah pihak.

Perang di seluruh muka bumi ini, tidak pernah ada yang membawa pada kebaikan atau paling tidak perubahan yang lebih baik. Perang selalu membawa malapetaka, kengerian, duka, tangis dan penderitaan yang berkepanjangan. Apapun alasan yang dikemukakan dan demi tujuan apapun perang tidak dan tidak akan pernah bersifat konstruktif justru sebaliknya ia amatlah destruktif. Perang selalu dan pasti membawa dampak psikologis yang mendalam dan meluas pada banyak orang hingga luka dan trauma akibat peperangan itu sulit untuk disembuhkan bahkan untuk jangka waktu yang cukup lama.

Image hosted by Photobucket.com

Apakah manusia memang ditakdirkan lahir dengan kekerasan untuk melatar belakangi peradabannya?. Sejarah berkata demikian.

Perang memang sudah lama muncul disekeliling kita. Apakah itu terasa secara langsung atau tidak, urusan nurani memang paling kental untuk terpanggil. Mulai dari Mahatma Gandhi sampai Ernest Hemmingway yang tidak percaya dan muak dengan politik, sampai seorang Misno, sang pelaku bom bunuh diri sekalipun, ada rasa kemuakan terhadap representasi politis pihak penguasa yang memang mengibas-kibaskan aroma arogansi kuasa, dan bedanya mereka dalam kurun waktu yang jauh berbeda pula merepresentasikan keyakinan untuk melawan dalam wujud yang berbeda, tulisan, ideologi, novel dan yang terakhir bom!(bunuh diri pula).

.............................................

Saya sadar, banyak kepentingan yang melatar belakangi hal ini. Terorisme, peperangan antar etnis, perang karena perbedaan keyakinan, tawuran anak kuliahan dan lainnya, itu hanya secuil dibandingkan dengan peperangan lebih besar yang melanda belahan dunia lain, dengan alat yang lebih kejam tentunya.

Teror dan untuk melawan teror itu sendiri.

Rasanya banyak yang putus asa, dan berbelok untuk mendukung peperangan dengan harapan sesudah itu semua akan berakhir. Salah besar. Upaya ini malah melahirkan proto-proto baru untuk membiakkan bibit kebencian dari pihak yang kalah. Perang sebagai salah satu jawaban utama, dan untuk itu siapapun bisa memulainya. Dengan alasan jihad semua bisa dibalikkan. Dengan alasan kesucian semua bisa ditundukkan. Dengan alasan keselamatan, semua nurani dan belas kasihan dikesampingkan demi apa yang disebut emas hitam. Semua orang menangis pilu melihat penderitaan nun jauh tak terperi. Dan semua orang ingin tahu apa yang telah terjadi. Sayang hal ini menjadi komoditas media yang nikmat untuk dilahap dan sasaran empuk nilai filosofis bedah opini kemanusiaan. Semua orang turut ambil bagian tanpa mau merasakan penderitaan. Instingtif, brutal tapi nyaman. perang adalah komoditas, jaman ini memang edan, Raden Mas Ronggowarsito mungkin sekarang sudah gatal-gatal ketika apa yang diramalkan tentang ke-edanan manusia mulai nampak ujudnya.

Harapan selalu ada, namun semua kandas melihat kondisi sekarang.

Ketika kekuasaan mulai menindas dan selalu ada gerakan yang merasa terpanggil untuk menghadangnya. Dan ketika segala cara terasa tak bisa dikompromikan, hanya satu kata : lawan!. Sama saja, hal ini muncul karena kuasa dan dialog yang terputus. Kesan heroik, tapi tetap tidak jelas. Untuk mengatakan dengan intonasi kuat, kata "Lawan", yang ada malah anarkis. Arogansi akan selalu melahirkan reservoir potensi terhadap sebuah Perang baru.

Sayang, efeknya selalu salah sasaran. Dan suasana hening damai tercipta ketika manusia terlelap di malam hari. Dan untuk kemudian bernafas di pagi harinya dan untuk bermain dengan ego dan naluri masing-masing. Untuk saling memuji kepalsuan dalam meloloskan birahi kuasa.

Tuesday, November 22, 2005

Conceptual Art

"If you like conceptual art, think about honking." - Bumper sticker, c. 1977 -

Beberapa orang mungkin berpikir jika sebuah karya seni, dibuat memang untuk merepresentasikan tentang suatu imajinasi, suatu jarak dan keterkaitan yang absurd, dan selebihnya lagi, cenderung tidak mengerti.

Untuk itulah gunanya penjelasan. Tapi tentang apa? (omong-omong sudah hampir sebulan ini saya tidak posting di blog ini)

Namun saya juga tidak akan merepresentasikan tentang hal itu, bagaimanapun perbenturan dengan solusi pemikiran khalayak ramai masih ada, apalagi tentang hal ini, seni.

Oh ya,sudah sangat jamak, seni rupa tak sekedar seni lukis, patung, instalasi dan performance semata. Seni merambah ke dalam wujud pemikiran dan wahana pemikiran yang lebih kompleks. Andaikata hal itu bisa dinikmati pun, rasanya kening berkerut dan pemahaman terbengong-bengong oleh visual kompleks adalah layak. Karena dalam hal ini ideal dan hal yang memang ideal nampak dalam sebuah karya seni. Seorang seniman memang selalu dituntut egois, dalam berkarya, sangat.

Walau kerja kelompok sangat penting dan menjadi trend saat ini.

Ok, kali ini saya akan membahas sebuah jenis karya rupa yang telah menjadi trade mark akan apa yang disebut sebagai seni konseptual. Karya-karya ini memang lekat dengan wujud yang cenderung simpel, minimalistik dan biasanya tiga dimensional. Karya konseptual biasanya merupakan sebuah karya yang menyajikan tentang apa yang ada dibalik realita. Dimana realita menyimpan kekhawatiran bagi setiap seniman akan wujud lain yang lebih kompleks.

Image hosted by Photobucket.com
Jenny Holzer, Truisms, 1983, computerized electronic sign

Conceptual Art, menurut beberapa sumber yang terpercaya (hehe), merupakan suatu babak baru (di masa 60-an loh) dalam karya perupaan yang lebih menekankan ide, dibandingkan visual akhir, bagi mereka ini merupakan bentuk penentangan terhadap formalisme yang memang menciptakan wujud ideal dalam perkembangan seni, dan mereka mengusung sebuah gagasan yang menolak mentah –mentah seni sebagai hasil akhir dari sebuah perjalanan ide.

Pada dasarnya mereka memang mengandaikan ’upaya pemetaan’ nilai simbolik suatu wujud, khasanah yang telah lama dilupakan dan menyeruak langsung kedalam nilai yang cenderung nihilis dan minimalis. Sebagai wujud nyata ekspresi sebuah masyarakat barat yang makin dingin dan cenderung terjauhkan oleh teknologi. Dan memang para seniman ini lebih menyeret permasalahan visual, kedalam wilayah yang labil, berat dan dingin dan serta merta menyeret pemahaman terlalu ke wilayah diskursivitas-intelektual ketimbang intensifikasi perasaan seperti indahnya lukisan, menariknya sosok figur dalam fotografi dan patung tembaga yang menggambarkan sosok seorang pemikir, lebih menarik dan meracau akan insight philosophy ketimbang insight aesthetic.

Selama 10 tahun kemudian, perkembangan seni rupa jenis ini memang perlahan buram, dan sejarah seni berubah kedalam wujud yang lebih masinal, dan ide pada akhirnya menjadi mesin hasrat yang telah di kembangkan secara umum dan biasa. Dan kemudian hal-hal yang biasa itu menjadi sesuatu yang eksklusif, ketika dikemas dalam ruang-ruang bersih galeri seni (Pop Art dan Contemporary).

Image hosted by Photobucket.com
Joseph Kosuth (American, 1945-), Clock (One and Five), English/Latin version, 1965, clock, photograph and printed texts on paper.

Secara umum karya ini mengasyikkan, aneh dan cenderung datar, sejurus kemudian kita sudah lupa dengan rumit dan kompleksnya dibalik realita yang (visual yang nampak) mereka tawarkan sesudah itu.

cek : Klik disini

Monday, October 24, 2005

The Incredulity of Saint Thomas (Doubting Thomas)- 1599

Image hosted by Photobucket.com

Whoah ....sekali lagi saya mengulas tentang sepak terjang salah satu pendekar seni lukis Italia. yang di abad pencerahan, sukses menelurkan karya-karya dramatis dengan teknik lukisan chiaroscuro (kontas pewarnaan antara gelap dan terang) dan realistik yang shocking.

Michelangelo Merisi da Caravaggio (1573-1610).

Saya pribadi awalnya hanya mengenal karyanya yang saya paparkan disini, Doubting Thomas. Hanya itu dan itupun masih dalam buku yang sama, The Art Book dari Phaidon Press. Sama halnya saya mengenal sedikit sekali tentang sosok Rembrandt, berdasarkan kuas Rembrandt yang pernah saya pakai melukis cat air dengan hasil yang ...ah memalukan.

Doubting Thomas, berkisah tentang keraguan seorang St. Thomas atas sosok nyata seorang Yesus Kristus dan luka yang dialaminya pada bagian lambung kanannya, sesaat setelah crucifix (penyaliban). Komposisi jenius, pandangan seluruh sosok dalam lukisan yang mengarah pada gerakan jemari St. Thomas, yang menusuk, merasakan kedalam lubang di lambung Yesus, bekas luka akibat tusukan tombak salah seorang serdadu Romawi. Penggunaan realisme yang sangat hidup, vivid dan penolakan idealisasi gaya lukisan di jaman itu. Bagi saya, sensasi dalam reproduksi diatas kertas telah membawa nuansa yang mampu membuat saya merinding takjub, apalagi kalau sanggup melihat aslinya.



Caravaggio, memang sangat terkenal akan kebiasaanya menggunakan model saints dan apostle. Caravaggio secara nyata sudah membawa pengaruh revolusi dalam realisme dalam seni,sesuatu yang sudah sulit untuk dilihat saat ini. Berlanjut kedalam Realisme Baroque, Rococo, Klasik dan hingga kini, Surealisme Modern.

Ah.. bahkan sang priyayi Jawa, seniman lukis nyentrik, Raden Saleh Sjarif Bustaman mungkin termehek-mehek ketika bertualang di Eropa di tahun 18-andan terpengaruh oleh realisme yang berasal dari gaya seperti ini.

Hebat, 500 tahun lebih masih sanggup mencerap sensasi.

check it

Wednesday, October 12, 2005

Judith Slaying Holofernes

Image hosted by Photobucket.com

Saya sangat menyenangi sebuah karya yang terpampang dalam salah satu halaman di buku seni; "The Art Book", keluaran Phaidon. Karya itu berjudul "Judith Slaying Holofernes (1620)". Saya berpikir jika ini memang sebuah maha karya dari seorang pelukis wanita yang besar di era post-renaissance, yang saat itu didominasi pelukis pria, bagaimana dengan ketokohannya kaumnya sendiri, yang bisa dipastikan sangat sedikit diwaktu itu. Di mana hampir jarangnya dan sedikit sekali sejarah seni rupa mencatat karir seniman wanita. Perjalanan waktu dan sejarah seni rupa, kemudian telintas ratusan tahun sesudahnya, untuk menempuh perkembangan selanjutnya dalam mengkategorikan seni sebagai seni yang bermartabat, seni tinggi atau high art yang dibedakan dengan seni rendahan, kepentingan masyarakat banyak dan instan, low art. Dan itulah seni rupa dalam bentuk lukisan, sebagai sebagai salah satu ujud seni yang paling riil saat itu (era paska zaman emas), selain seni patung tentunya.

Secara visual, adegan yang dilukiskan terasa sangat dramatis dengan memanfaatkan unsur temaram cahaya, ketegangan atau rasa hingga teknik yang digunakan seperti pencahayaan secara langsung, chiaroscuro (pengkontrasan antara gelap dan terang). Ini bisa jadi salah satu lukisan terbaik yang menggunakan teknik yang disebutkan di atas, dengan adegan yang dipenuhi dendam, nuansa dramatis dan brutal.

Image hosted by Photobucket.com Dengan menggunakan ide dari sebuah lukisan lawas, kyang juga terkenal, karya dari Michelangelo Merisi da Caravaggio yang dibuat tahun 1598-1599, yang kemudian dimodifikasi oleh Gentileschi, berpuluh tahun kemudian. Tentang kematian seorang jenderal perang bangsa Assiria, Holofernes, yang dibunuh oleh seorang janda yang bernama Judith, dari daerah Bethulia. Daerah yang ditaklukan laskar Assiria. Di tangan Artemisia,kesan memperkuat adegan malah tambah lebih mencekam dan penuh dengan nuansa yang cukup brutal. Benar-benar terlihat kehendak dan keinginan dendam yang tertangkap pada gestur sang tokoh wanita.

Ini bisa jadi sebuah maha karya dari Artemisia Gentileschi (1593 - 1652/1653), yang ternyata sangat terpengaruh oleh dramatisasi perjalanan hidupnya sendiri.

How come?

Saya tak pernah sadar sampai ketika membaca kisah hidupnya sendiri. Pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru lukisnya, Agostino Tassi yang juga rekan seniman ayahnya sendiri, telah menghasilkan perasaan terkucil, malu dan dendam. Hal yang mengakibatkan sebagian besar karyanya mengetengahkan katarsis dari simbolisasi perasaan pahit dan dendam terhadap kaum lawan jenisnya. Dengan menggunakan realisme dan apa yang disebut para kritukus sebagai powerful female protagonists. Realisme yang nampak dan berada di ambang batas pemahaman antara kejahatan dan kebaikan.

Woah! rasanya saya terlalu naif untuk menjabarkan sejarah kebesaran seniman italia di era sesudah renaissance ini. Saya hanya kenal sedikit dari beberapa lukisannya saja. Secara jujur, saya adalah pengagum seniman yang menggunakan teknis lukisan yang menggunakan efek realisme dan dramatis cahaya seperti ini, selain seniman seperti ya Caravagio itu tadi, Rembrandt, Durrer dan lainnya.

link: gentileschi

Wednesday, October 05, 2005

Selamat Berpuasa ...

Dengan segala hormat dan rendah hati ....

"Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan ini dan semoga bagi yang berpuasa, lebih baik puasanya di tahun ini ..."

Maafkan kesalahan saya selama ini :), baik yang tertulis dan ataupun salah ucap . . .

-----------------------------------

Semoga di bulan ini orang sedikit terbuka mata hatinya untuk kemudian sadar dan saling menerima perbedaan positif dan menjalankan apa yang disebut sebagai T O L E R A N S I terhadap segala aspek K E M A N U S I A A N dalam kehidupan ini.

Semoga aja.

Thursday, September 29, 2005

Seni, Moralitas dan Hal yang Memang Tidak Bermoral

Kalau seni mencari sensasi, itu mungkin bukan seni pada umumnya, tapi muatan makna yang diprovokasi sedemikian rupa untuk menciptakan permasalahan dan perbincangan baru diwilayah yang sangat rentan akan perbenturan.

Pemahaman tentang seni memang terkait dengan kebebasan mengapresiasikan dan menafsirkan dalam lingkup masyarakat. Yang pada akhirnya sebagai reseptor pesan dan makna pada level yang paling akhir dan lebih luas. Seni adalah upaya yang sangat penting dalam menafsirkan dan mengapresiasi realita yang ada dalam kehidupan.

Image hosted by Photobucket.comMenafikan nilai agama, seni dan moral, merupakan satu pekerjaan besar yang sudah lama sering bertentangan terhadap nilai dan hasil titik temunya. Tubuh sebagai obyek estetika telah dieksplorasi ribuan tahun lamanya, sebelum nilai-nilai religiusitas muncul sebagai pedoman atas keyakinan hidup dan interaksi terhadap apa yang ada di atas. Tubuh telanjang manusia sejak ribuan tahun menjadi objek seni dan demikian juga harus diakui hak, bahkan nilainya. Nilai estetis tubuh manusia adalah nilai yang positip, prinsipil dan sangat politis pada akhirnya (saat ini).

Seni (saat ini) pada akhirnya memang memegang peranan pada polarisasi nilai, apakah itu moral, obyektifitas dan nilai-nilai etis. Seni, bagaimanapun membutuhkan sarana untuk aktualisasi diri. Penyelenggaraan dan parade nilai makna lewat karya seni, tetap pada akhirnya mengacu pada ruang, waktu dan tempat.

Mungkin saya rada terlambat untuk memberikan opini tentang hal ini. Terkait dengan kisah Pameran CP Bienalle yang bertemakan "Urban Culture" (lihat ceritanya oleh rekan saya ini) yang sempat meraih popularitas lewat tayangan di infotainment (duh!), lewat karya yang menampilkan model Anjasmara dan Isabelle Yahya. Karya digital imaging yang bertemakan sejalan dengan konsep pameran saat ini, Urban Culture, yang diproduksi oleh Davy Linggar dan Agus Suwage, telah menuai banyak kontroversi dan hal-hal lain yang sangat berkesan murahan dan sensasional belaka. Amat melenceng dengan tema awal pameran saat ini. Alhasil, akibat opini pro dan kontra di dalam masyarakat, rasa keprihatinan itu muncul, dan saya memiliki beberapa kesimpulan tentang hal itu, yakni;

1. Eksepsi Media Elektronik yang berlebihan dan cenderung serampangan dalam mencari sensasi sebagai nilai jual. Terutama dalam acara-acara tayangan yang lebih sering menyebutkan ’foto syur ’ dibandingkan karya foto(grafi). Apalagi karya seni rupa.
2. Segolongan Organisasi masyarakat yang memiliki kadar pencerapan atas pesan dan makna sebuah karya artistik dibawah rata-rata.
3. Sensitifitas publik yang dipolitisir dalam nilai moral, agama dan kesantunan oleh sekelompok oknum, untuk menciptakan keriuh-rendahan publik belaka.
4. Penyelenggara acara yang tidak siap menerima perbenturan antara media, sang perupa dan masyarakat itu sendiri.
5. Salah kaprah, toh tayangan di TV dan tabloid ’esek-esek’ jauh lebih parah.
6. Sensasi bodoh belaka.
7. Perupa cerdas yang memanfaatkan sensasi populis lewat riuh rendahnya media massa saat ini
8. Hal yang tidak penting untuk diributkan.
9. Memang belum adanya wibawa dari aparat pemerintah untuk menengahi dan melindungi aktifitas publik warganya.
10. Ternyata masih banyak orang yang sok jago di bumi ini.

Kesimpulan?

Semua mungkin masuk. Namun semua muncul karena dugaan, kesimpulan yang lebih bersifat prediksi. Bisa jadi semuanya disimpulkan kedalam satu anggapan bahwa: ada kesalahan selama ini selama proses menuju demokrasi (jijay) dan ketidak siapan orang-orang untuk menerima perbedaan, baik makna dan cara ungkap.

Dapat dibayangkan, galeri atau museum memang memiliki kapasitas moral dalam menayangkan karya seni untuk umum yang terseleksi. Umum disini adalah audiens pengamat seni dan penikmat seni dimana mereka memiliki toleransi atas sebuah pesan dari karya seni yang beragam.

Image hosted by Photobucket.comBahwa kadangkala seni memang memiliki keterbatasan dan tidak sanggup merepresentasikan batasan yang jelas antara nilai agama, etika, pornografi dan estetika yang sangat sensitif dalam hal ini, karena memang tugas seni adalah merepresentasikan imaji, bentuk dan pesan yang akan diungkap dalam bentuk yang diolah dan memiliki batasan estetis, batasan cair yang relatif. Masyarakat, memang benar, merupakan lingkup penilai dan pemberi wahana dan dampak dari publikasi sebuah karya seni. Namun apa jadinya mengharapkan nilai pemahaman dan penyampaian makna di dalam masyarakat pragmatis? Nilai perut dan eknomis belaka? Dan sedang bingung memikirkan BBM dan harga-harga yang akan naik menjelang bulan puasa seperti ini? Serta mudah diterkam isu gombal seperti ini?

Agak susah untuk mengatakan bahwa kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi dan dianggap biasa-biasa saja. Karya seni yang dibakar oleh aparat, karena ketidaktahuannya, karya seni yang diturunkan karena dinilai menghina salah satu simbol keagamaan. Semua itu bisa jadi terjadi karena memang tidak adanya atau kurangnya kemampuan untuk memahaminya, dan dengan besar hati tentunya.

Ini bisa jadi sebuah preseden yang buruk atas kebebasan ekspresi karya seni dalam sebuah masyarakat negara dunia ketiga yang diombang-ambingkan oleh gejolak tinggi jurang antara kaya dan miskin, munculnya resesi ekonomi, politis, pemerintah yang membangun sektor fisik tanpa berpihak pada sektor non-riil, sensitifitas keragaman, pemahaman kaku dan sempit soal nilai moral dan etika didalam media, pemahaman yang sempit soal agama, tidak adanya pendidikan yang penting soal demokrasi, karena sedari kecil manusia diarahkan kearah pendidikan teknis, bukan visi dan rohani, dan sekali lagi perut lapar yang gampang dikendalikan oleh tangan-tangan kuasa, dan ketidak adanya bukti nyata jaminan kebebasan dalam legal yang tertulis oleh pemerintah bahkan dalam skup yang lebih prinsipil dan terbatas. Dalam hal ini adalah seni.

Dalam hal ini posisi dilematis amat sangat terbuka. Budaya masyarakat Indonesia memang tidak bisa dilawan saat ini, apalagi yang menyangkut yang namanya ketimuran, agama dan moralitas. Kalaupun berani dilawan, hal yang berasal dari wacana akan menjadi bencana moril dan fisik bagi sang penentangnya.

Mungkin masih ada dan banyak pilihan media (seni rupa) yang lebih aman dan lebih baik untuk dijadikan wahan tersebut. Saya sangat merasa kecewa dengan keputusan panitia penyelenggara atas hal ini. Saya faham, publikasi sebuah pagelaran seni rupa yang biasanya sepi dan jarang mendapat perhatian publik, dan hanya didatangi oleh pemerhati seni dan budaya, malah mendapat perhatian luar biasa dari media dengan tema yang melenceng jauh dari tujuan yang diusung awalnya. Alhasil nilai dan pesan yang ditawarkan malah jadi ajang sensasi belaka. Membuat sebuah upaya dari seni, sektor yang memang tak didukung infrastruktur yang mapan menjadi makin tenggelam dan mendapat nama buruk.

Ah peduli amat, maju terus, pantang mundur!

Monday, September 26, 2005

Kreator - Trashing Indonesia 2005

People called them as a one of God of Trash Metal.

20 tahun lebih mereka masih eksis memainkan musik TRASH METAL, dan kemarin, 24 September 2005, mereka sukses menggelar konser di Ancol, Jakarta. Terima kasih akhirnya, kepada dua rekan sejawat ( Nikk dan Moni Babi Kecap) yang biar suka kumat dan ogah-ogahan, masih sempat menyemangati dan mengajak saya untuk melupakan kesibukan biadab di kantor dan kembali bernostalgia, menyelami impian masa kecil, sibuk ketika baru mulai mengenakan celana sekolah pendek biru sambil mengumpulkan poster, mengguntingi gambar-gambar dari majalah HAI (edisi Rock), sibuk menerima pesanan menggambar logo grup musik dan berburu kaset-kaset metal yang masih seharga 4500 rupiah sampai 5000, dan dilabeli stiker bulat, "Rock-Trash Metal" tersebut dan seringkali ditaruh di areal pojokkan etalase kaca toko kaset dan cd, sampai berdebu.

Teng! pukul 7.45 malam, konser inti belum dimulai.

Image hosted by Photobucket.com Kami bertiga masih tertahan di pintu masuk. Aparat dan panitia cenderung over-acting, bertampang sangar –sangar, dan tegas untuk tidak membolehkan kamera digital dan minuman mineral dibawa masuk, walau saya tahu untuk konser musik metal seperti ini, toh sebagian panitia dan partisan penggembira rekanan panitia pasti bermabuk-mabukan di dekat stage. Kami sabar menunggu, kondisi panggung gelap dan penonton sudah menyemut. Namun band pembuka terakhir sudah selesai bermain, Siksa Kubur. Padahal saya ingin menyaksikan kembali band ini bermain, karena mereka sangat rapih dan teknis. Saya sempat membeli kaos tour: Kreator - Trashing Indonesia, dan kecewa ketika dibagian belakang ada gambar peta Indonesia terbakar, dasar gudang bawah tanah(sang pembuat kaos) Tapi ya sudahlah, anggap saja kenang-kenangan.

Jam 8 malam. Teng! (tumben tepat waktu)

Tiba-tiba saja, suara distorsi raungan khas metal terdengar kencang dan lampu strobo menyala. Mereka tanpa basa-basi langsung menggebrak. Singel pertama di bawakan, crowd jakarta langsung berlarian brutal, slam dancing, body surfing, moshing dan head-banging, di sepanjang lagu. Dari kegelapan dan temaram lampu panggung, terlihat siluet mereka, gondrong-gondrong dan mengibas-ngibaskan rambutnya, Enemy Of God (2005) sukses digelontorkan di awal. Dan langsung menggeber dengan beberapa lagu andalan klasik, diambil dari 11 album penuh mereka, Endless Pain (1983) sampai Violent Revolution (2001) dan sampai album terakhir, Enemy of God (2005) ini.

Sesudah lagu kedua, lampu agak terang, terlihat 2 personil asli Kreator dan yang paling lama bertahan, Mille Petrozza (vokalis, gitar) sang pendiri group yang terlihat sudah tua, dan coba-coba berbasa-basi, say 'hi jakarta', dengan face bapak-bapak, rambut panjang, kerutan di wajahnya dan sang drummer, Jürgen "Ventor" Reil , masih terlihat bermain sangat gila, dan sama saja sudah tak bisa menghindari kebotakan, walau gondrong. Soal permainan individu, sekali lagi mereka masih terdepan. Saat rekan seangkatannya, Metallica sempat terlena dengan permainan metal soft ala amerika dan Megadeth yang sempat bermain metal balada, mereka tetap konsisten dengan warna musik yang membesarkan mereka, dan telah sukses mentahbiskan diri mereka sebagai jawaban Jerman atau Eropa atas serbuan musik Trash dan Heavy Metal Amerika, di periode 80–90 an awal.

Image hosted by Photobucket.com Didukung oleh gitaris kedua dan pemain bas yang dari awal konser memperagakan head-banging (gerakan memutar-mutarkan kepala, mengikuti beat musik metal, lebih efektif jika sang musisi berambut panjang) klasik, Christian "SPEESY" Giesler dan Sami Yli-Sirniö. Mereka secara nonstop membawakan lagu andalannya dan beberapa saat, screen raksasa di belakang mereka memperlihatkan gambar cover album-album klasik mereka, Endless Pain (1983), Extreme Agression (1985), Terrible Certainty (1987), Coma of Souls (1990), sampai Violent Revolution (2001). Cuma beberapa saat, ternyata banyak visual yang rasanya berasal dari visual di winamp ( hehehehe). Beberapa album klasiknya yang kurang begitu terkenal disini, tidak dibawakan seperti Renewal (1993), Endorama (1999). Termasuk ketika lagu ”Terror Zone”, "Impossible Brutallity", "Love Us or Hate Us" dikumandangkan. Kejayaan trash metal dengan intensitas gitar yang rapat, melodi saling bersahut-sahutan kembali terpatri dibenak saya. Woah... mereka rupanya masih konsisten sampai saat ini, rasanya perpaduan musik ini bakal bangkit. Soal waktu saja, saat ini warna permainan metal sudah kembali mengungkit dengan gaya seperti ini.

Crowd Jakarta (eh, banyak anak-anak bandung juga sih) makin menggila ketika "People of The Lie" dibawakan. Body surf, penonton sudah menggila. Disusul oleh Hits terkenalnya: "Extreme Agression". Termasuk "Pleasure To Kill". Semakin besarnya putaran arus penonton dan penonton yang semakin berjubel ditengah. Sementara di saat yang sama, kanan kiri panggung terlihat sejumlah penonton yang tadinya juga liar mulai adem ayem, dan sekedar mengacungkan tangan di tiap lagunya. Terlihat mengantuk. Metal yang konstan memang bikin ngantuk, kecuali dia sang penggemar sejatinya. Sempat disindir Petrozza, akhirnya crowd mulai menggeliat lagi. Dan beberapa penonton tercium bau alkohol, bah ! ini mah pletok (vodka campur krating daeng + Nutrisari) hahaha, standar tongkrongan anak metal + kuliahan. Toh selama itu tidak mengganggu sejauh ini, ya dibiarkan saja.

Mereka tidak capek, staminanya melebihi band-band usia muda saat ini.

Saya melongok jam dan ternyata sudah jam 9 lebih.


Image hosted by Photobucket.com

Sedari tadi saya terpisah dengan beberapa rekan dan teman-teman lama yang bertemu di konser ini. Dan asik bermoshing di bagian agak belakang. Saya lihat beberapa orang yang mengenakan kostum non-metal malah lebih hafal bait demi bait yang diteriakan Petrozza, dibandingkan penonton yang lebih muda dan mengenakan kostum kaos metal hitam hitam bertuliskan Napalm Death, Venom, Pestilence, Black Flag, Incantation, Nasum, Entombed, sampai Cannibal Corpse dan Annihilator. Mungkin lebih mirip obral logo dan pameran typografi dari neraka.

Penghujung acara, Kemudian lampu gelap, taktik kuno. Penonton berteriak, karena tahu, mereka belum membawakan lagu lain yang cukup terkenal sampai saat ini di kalangan pecinta metal ; Flag of Hate, Betrayer, Tormentor dan Coma of Souls.

Sekitar jam 10, mereka kembali dan membawakan lagu-lagu pamungkas tersebut. Sampai ditutup benar-benar puncaknya dengan musik yang luar biasa gemuruh dan menyisakan beberapa orang yang terharu dan puas. " Coma of Souls " tak dibawakan. Mungkin mereka sudah lupa, ha !.

Pukul 11 kurang 20 menitan, (kalau tidak salah), konser selesai. lampu menyala, penonton mulai membubarkan diri, dan beberapa wajah akrab yang selama ini nangkring di gerai-gerai komersil musik keras dan punggawa komunitas musik underground tampak. Rasanya lingkaran musik yang segmentatif ini tidak jauh berkembang banyak. Tapi memang itulah keadaannya. Dengan jumlah penonton yang tidak bisa dibilang banyak, mungkin ada ribuan, tidak sebanyak waktu Napalm Death tampil di tempat yang sama, mereka telah menemukan sejumlah penggemar setianya, yang mungkin sudah terhadi kesenjangan generasi. Dimana MTV dan musik rock seperti garage rock dan retro 80 an, kembali mewabah, ternyata masih ada audiens yang konsisten terhadap jenis musik lama ini.

Kami beringsut pulang, setelah selesai berhaha hihi dengan rekanan kampus dulu.

Terasa capek tapi puas, dan terasa badan sakit-sakit, bekas hantaman sesama penonton.Kuping masih terasa berdenging. Tadi pagi terasa, setelah malam sampai Bandung. Gile bener.

cek disini: http://www.kreator-terrorzone.de/

Wednesday, September 21, 2005

(finalis) Cover Boy dan Cover Girl 89

Image hosted by Photobucket.com

Zaman segitu mungkin saya masih belum terlalu bisa membayangkan, apa itu cover girl dan boy, masih ada sisa sisa video beta :p. Dokumen klasik, yang sangat menarik ini, didapat dari teman yang kebetulan waktu itu bekerja di sebuah majalah remaja. Sudah lama sih, tapi tak ada salahnya dipasang disini.

Satu hal yang pasti, ternyata memang setiap masa memang ada waktunya.

Image hosted by Photobucket.com

Ntah bagaimana dengan nasib para finalis cover boy dan girl yang terpampang di gambar ini, ataukah masih menjadi artis atau memang udah lewat masanya, atau malah terkena narkoba ?? he he he

Bekerja keraslah wahai kalian para pencipta trend :P hahaha

Friday, September 16, 2005

Baraka (1992)

Image hosted by Photobucket.com“Baraka”, (1992)
The World beyond Words
The Story of Our Planet, Human Interaction with it seen trogh images sound and music.

Sutradara: Ron Fricke, Musik: Michael Stearns, Mark Magidson Production.

Saya akan mengulas sebuah film lama, yang tanpa sengaja saya lihat kembali.

Rasanya, film ini sangat unik, sang sutradara sangat mempercayai bahwa visual merupakan dialog hidup yang tidak akan pernah berhenti bahkan sampai film itu tamat sekalipun.

Baraka, sebuah film yang dilakukan pengambilan gambarnya di 24 negara. Tanpa aktor, plot cerita ataupun sepatah kata atau bahkan sedikitpun dialog tertentu didalamnya. Semua yang tersaji begitu dahsyat. Rangkaian cerita lewat gambar bergerak dengan nuansa megah dan makna besar yang terkandung di dalamnya.

Image hosted by Photobucket.com

Sejak dikembangkannya teknologi dalam film, film pada akhirnya merupakan suatu perwujudan realitas dalam sebuah media, yang merupakan hasil karya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil peradaban dan kemajuan imajinasi manusia terhadap apa yang telah terjadi, sampai saat ini. Film, merupakan sebuah mimesis. Dan melihat film Baraka ini, dalam hal ini telah menjadi suatu pemaparan tentang peristiwa apa yang telah terjadi dalam sebuah dunia nyata manusia dan bumi. Tanpa kita sadari, muatan realita dan masalah yang muncul malah menimbulkan sensasi yang menuturkan sebuah proses dialogis, tanpa wujud manusia, peradaban dan tempat di mana telah ber-miliar miliar tahun menjadi satu pijakan akan kehidupan, yakni bumi ini sendiri.

Manusia adalah apa adanya, kehidupan dipuncak tertinggi di dunia (Himalaya) sampai aroma tropis alam Bali dan wajah penduduk Indian Amazon, menafsirkan ulang suatu definisi atas rantai panjang asal usul identitas manusia bumi ini, yang niscaya sangat beragam.

Hakikat manusia dan peradabannya, serta dialog panjang antara penghuni bumi ini dengan apa yang di sekitarnya telah membuka mata kita. Tanpa harus membuka statement apapun. Kita akan menyaksikan suatu proses panjang eksistensi manusia dan bumi sebagai suatu wujud akselerasi kehidupan, yang di simbolkan lewat kehidupan agama, modern, kaum urban, modernitas, ilmu pengetahuan, kemiskinan, keindahan alam, kemarahan dan segala wujud ekspresi tunggal terhadap pernyataan yang berkaitan dengan empati akan sekitar.

Image hosted by Photobucket.com

Seakan membuka mata, bagaimana sebuah kehidupan bermula. Sebuah pernyataan manusia yang terus menerus mengeksploitasi sekitar kenyataan dalam keseharian kehidupannya. Menafsirkan suatu wujud tunggal, manusia sebagai penguasa. Dan mempertanyakan bagaimana semua itu dapat terjadi? Apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang telah di rencanakan sebelumnya? bagaimana hal tersebut bisa berawal dengan sempurna? bagaimana sesuatu tersebut dapat memiliki kemiripan dengan alur kehidupan manusia? dan apa yang mendasari hal tersebut sehingga semua ini bisa terjadi?

Semua visual yang nampak terlihat berkaitan dengan sisi pencapaian peradaban manusia, baik aspek fisik wujud kemajuan dan problematika saat ini. Mulai dari visual tentang kemiskinan dan problematika sosial di negara dunia ke tiga seperti Asia dan Amerika Selatan, aktivitas manusia dalam nafas religius atau menjalankan keyakinannya di belahan dunia, bahkan sampai ke dalam geliat kehidupan kaum urban kota megapolitan seperti Tokyo dan New York. Bahkan ketika adegan dibuka dengan visual kera gunung Fuji yang sedang berendam air panas, sound yang berkesan megah, nuansa dialog visual yang kuat sudah sangat terasa. Sampai beberapa adegan menarik ketika secara tidak sadar muncul perbandingan dalam adegan menarik, tentang produksi raksasa pembiakan anak ayam dengan padatnya kerumunan orang menuju subway di Tokyo.

Dimulai dari alam dan berakhir kembali ke alam. Mitologi mitis, dari masa ke masa dan mengubah wujud sejarah manusia.

Melihat film ini, kehidupan manusia adalah dialog, dan manusia itu sendiri menjadi sebuah sistem mekanis yang tercipta oleh alam. Film ini sangat menarik, sungguh filosofis. Sayang, lebih cocok diputar di bioskop atau layar besar rupanya, nonton di TV kecil, ya mana enak ...

Tuesday, September 13, 2005

Busana, kostum, pakaian, baju , kaos, celana bla bla bla

Saya mungkin setuju dengan ungkapan ini; saat ini, ‘pakaian adalah segalanya’, pakaian adalah penampilan dan segala aksesorisnya merupakan pelengkap dari bungkus dari tubuh telanjang. Pakaian memang penting, yang menciptakan pemahaman bahwa yang terpenting adalah penampilan, isi otak nanti dulu. Tapi memang sebaiknya kompromi memang ada, pakaian hancur, otak ada, tapi rasanya gak mungkin juga.

Maaf, jika ada yang kurang berkenan, bagi saya saat ini pakaian memang adalah sebuah sistem tersendiri yang amat sangat terkenal di muka bumi sampai saat ini.

Alhasil, hal ini telah menciptakan upaya untuk sesuai dengan pemahaman tentang pakaian itu sendiri saat ini, dengan berlomba-lomba berkomunikasi satu sama lain dengan berbusana, etika berbusana dalam setiap kelompok yang menciptakan kelas dan makna tertentu. Baik antara pria dan wanita, anak kecil dan anak muda, dewasa dan tua, bahkan ketika meninggal pun, kostum untuk berjalan jalan di alam baka pun masih dipikirkan.

Pakaian memang menyisakan kompromi dalam kehidupannya, kemudian orang mengambil jalan tengah, bolehlah penampilan ala kadarnya, asal bersih dan rapih. Tapi kemudian orang berpikir, karena perut lebih penting, maka berpakaian toh seadanya saja, kami tak butuh pakaian untuk mengenyangkan status harga diri kami. Kemudian ada segolongan orang yang tak mementingkan pakaian, masyarakat dan perut, mungkin mereka orang yang gila, ataupun memang tak mengharapkan kegembiraan material dan duniawi di kalangan pengabdi agama konvensional. Dan akhirnya ada juga orang yang tak menggunakan pakaian selama berlibur di pulau tertentu, mereka adalah kaum Nudist. Atau memang ada yang tidak membutuhkan pakaian ? saya tidak tahu, mungkin memang saat ini masih ada.

Pakaian memang menjadi dewa dalam sebuah sistem sampai saat ini.Pakaian sebagai tanda, dan tubuh didalamnya adalah tanda yang dibungkus oleh tanda.

Manusia sudah lama mengenal konsep pakaian sebagai antisipasi terhadap perubahan cuaca dan ganasnya alam. Dimana semenjak intelektualitas mengalami evolusi, manusia dalam sejarahnya mulai mempercayakan insting bertahan dalam melihat tubuhnya, untuk mencapai aspek ketahanan dalam hidup. Pakaian kemudian memang sebagai representasi fisik, dari perlindungan terhadap cuaca dalam melindungi organ-organ tubuh dan tubuh biologis manusia itu sendiri. Manusia butuh perlindungan dan pertahanan dalam diri sendiri, sebuah cikal bakal antroposentris, dimana manusia memandang diri lebih unggul dari alamnya, dan berlaku seolah-olah penguasa jagat raya. Manusia telah menciptakan evolusi dan pemahaman tentang pakaian sesuai dengan pentas sejarah dimasanya. Setiap Abad dan masa, serta menciptakan definisi tersendiri tentang apa itu pakaian bagi setiap bangsa-bangsa di dunia ini. Bisa jadi, pakaian memang makhluk 'hidup' tersendiri.

Pakaian adalah sejarah jutaan tahun, pakaian adalah perlepasan dari materi, dan umur pakaian mungkin memang telah sejalan dengan usia manusia dimuka bumi ini. Apakah mungkin pakaian nantinya akan berubah fungsi?, sebagai sebuah alat, sebagai sebuah jarak diluar pemaknaan hakikat terdalam dari seorang manusia?. Apakah manusia membutuhkan pakaian sebagai komunikasi dalam ragam pentas sosial? Dengan adanya modernitas, pentas sosial yang digantikan oleh televisi, mall dan beragam informasi, pakaian menjadi ilmu tersendiri yang dikaji oleh manusia dan menjadi tanda yang memperluas tentang struktur yang terkait dengan hegemoni mode, trend, politik, industri, golongan bahkan sampai keyakinan atau agama. Pakaian memang mencitrakan tanda yang tak lagi sederhana seperti dahulu kala. Semenjak diketemukannya metode penggunaan baju dari kulit (berbulu) binatang untuk menghangatkan tubuh kaum Homo Neanderthal, untuk menghadapi ganasnya musim dingin, sampai jutaan tahun kemudian di masa kini, penggunaan bulu binatang sebagai sebuah alat komunikasi tentang gengsi, tanda dan martabat, dan kemudian di masa lalu berperang dengan tombak yang terbuat dari bebatuan sampai jutaan tahun kemudian dimasa kini, masing-masing pelaku peperangan menggunakan rompi dari serat Kevlar untuk melindungi tubuh dari terjangan timah panas. Pakaian saat ini menjadi status simbol, status gengsi, sebuah ideologi yang hidup dimasa modern, bahkan sampai menyeruak kedalam relung wilayah kemanusiaan, bagaimana Martunis, bocah ajaib yang selamat dari bencana Tsunami di Aceh, dihujani hadiah oleh pihak Badan Sepakbola Portugal, karena menggunakan kostum kesebelasan nasional Portugal, bernomor 10, bertuliskan nama pemain legendaris Portugal; Luis Figo. Pakaian memang menjadi sebuah alat komunikasi yang kemudian mampir kedalam pemahaman tentang diri dan orang lain. Bisa juga memang sah jika pakaian adalah harkat dan kesetiaan tubuh yang tunduk pada insting untuk mengeluarkan pemaknaan tentang identitas diri manusia.

Untuk perkembangan selanjutnya, pakaian adalah konsep dari penanda dan makna atas identitas sebuah diri, yang saya sebutkan disini adalah harkat, martabat, status dalam lingkup sosial dan pergaulan. Dan kemudian, pakaian menjadi alat komunikasi, manusia berkomunikasi secara tidak langsung tanpa membutuhkan upaya untuk melakukan pendekatan secara personal. Dengan kata lain, pakaian mencitrakan sesuatu dan nilai dibaliknya, dan ketika melepas baju hingga telanjang bulat pun, manusia menciptakan pembenaran sendiri yang masih mengkaitkan antara seksualitas, pornografi dan kesepakatan bersama sebagai kaum Nudist. Tetap, apapun wujudnya, pakaian telah meninggalkan nilai dan pemaknaan yang hakiki tentang budaya, manusia adalah budaya itu sendiri.

Era yang menyebutkan kebebasan dan modernitas sebagai wahana pikir manusia, menyebutkan dan menciptakan pemahaman pakaian adalah konsep baku antara biologis dan kebutuhan untuk bertahan hidup dengan entitas diri dalam lingkup sosial dan kemasyarakatan. Manusia memang hidup di alam yang berbeda, saat ini dahulu alam adalah sumber utama yang menyakiti tubuh manusia, dan tidak selalu selaras dengan upaya bertahan hidup manusia, sekarang manusia dengan tubuh yang dibungkus beragam tanda dan komunikasinya malah menciptakan perang terhadap alam dan sektor apapun dalam keberlangsungan hidup suatu umat, apakah itu bahan baku tekstil, penebangan hutan, serat organik dan kulit hewan , hasil kerajinan biologis hewan sebagai bahan baku pembungkus tubuh manusia.

Manusia memang hidup di alam yang serba kompleks, sangat padat dan tak terkira dalamnya. Wahana dunia yang penuh dengan gejolak pemikiran tentang modernitas dan posmodernitas yang mencanangkan nilai-nilai ambivalen, tak jelas dan terkadang abjektif. Era pasca-modernisme telah menyebabkan manusia menghadapi dilema dalam menyikapi masalah sebagai teks, sebagai pemaknaan dalam unsur kehidupan. Begitu banyak teks hadir dengan berbagai pembelaan ilmiah, di tengah krisis kemanusiaan yang beragam kerumitannya. Dan memang pakaian telah berubah fungsi dan imajinasinya. Toh pada akhirnya, kehidupan di dunia ini, lebih dari sekedar pakaian pun (saya kutip dari ungkapan seseorang) terkait dengan denyut jantung dunia modern saat ini, degup jantung dunia sendiri kemudian adalah naik turunnya fluktuasi ekonomi dan nilai tukar mata uang, dan posmodern untuk menganalisa fenomena perkembangan makna pakaian sebagai wacana kritis, adalah buku-buku dan diskusi semata.

Toh yang penting adalah gaya, hehehehehe.

Tuesday, September 06, 2005

Tomer Hanuka

Karya ilustrasinya, yang selalu diliputi pemahaman mendalam akan posisi diri sebagai bagian dari kultur urban sebuah salah satu kota niaga terbesar di Dunia, New York, sebagai penggambaran sebuah percampuran dan titik temu berbagai bangsa, dan kehidupan yang luar biasa variatif dari industri musik, film dan realita tentang gaya hidup bebas. Karyanya saya lihat pertama kali di sebuah majalah musik (masih impor biar bekas juga), Rolling Stone,di awal tahun 2000-an kalau tidak salah.

Ternyata orang ini sangat terkenal, selain memang posisi kemampuannya yang ilustratif dan memang cukup detil menggambarkan tema-tema komikal dan visual kultur generasi muda. Karyanya, selalu berciri khas, garis yang detil dan tebal menjadi ciri khas tegas, disambung dengan kemampuannya mengkomunikasikan realitas kehidupan urban New York yang lekat dengan ekspresi individu, baik itu keunikan dalam style, fashion maupun absurditas dalam emosionalitas.

Image hosted by Photobucket.com

Komikal, tapi cenderung garang. Lihat saja situsnya:http://www.thanuka.com/, banyak menggambarkan figur manusia dan tokoh yang terlihat tidak cerah, suram, namun hidup sebagai identitas masyarakat kota New York.

Image hosted by Photobucket.com

Tomer Hanuka, seniman kelahiran Israel, 31 tahun silam ini, memang seniman ilustrasi yang terlihat bergaya 'New York banget'. Bekerja secara detil dengan warna-warna gradasi yang cenderung suram, memadukan ilustrasi dengan kepentingan majalah dan media, juga memadukan visual mimpi dan gejolak kultur industri-media, majalah, media, ikon rock-star. Ditambah lagi kedekatannya dengan kehidupan malam dan ya itu tadi, pekerja seni imigran asal Israel, yang ternyata karyanya berkarakter lebih 'Amerika'.

Image hosted by Photobucket.comLahir di Tel Aviv, Israel, dengan saudara kembarnya; Asaf Hanuka. Besar dengan komik- komik Amerika yang tidak bisa dibacanya, dan sampai kemudian meninggalkan tokoh komik lokal di negaranya, Yosef Trumpeldor, ke dalam wujud imajinatif penggambaran tokoh komik luar, Superman. Dan belasan tahun kemudian hijrah ke Sekolah Seni Visual di New York dan berkarya, setelah meninggalkan Israel dan menamatkan tugas bela negara di Kemiliteran.

Urusan skill, teknis pewarnaan dan detil outline , orang ini nomor satu deh.

Thursday, September 01, 2005

Menyikapi Rasisme

Image hosted by Photobucket.comSaya sering mendengar ungkapan seperti ini; " Dasar Jawa lo!", atau malah " Dasar Cina!" (mohon maaf buat teman-teman yang dirinya memang orang Jawa dan Cina, jika tersinggung, ini saya ambil hanya sekedar contoh belaka). Mungkin akan terdengar lucu saat itu diungkapkan sambil tertawa dan ditujukan untuk memuji atau memberi hormat, karena keakraban sering menembus batas etika dan kesopanan kadang kala. Namun apa jadinya ketika, kalimat diatas diucapkan dengan penuh amarah dan keluar dari umpatan mulut sekelompok orang bermata merah dan berpenampilan berangasan? Saya akan malas untuk meladeninya, dan memilih kabur, kalau saya meladeninya, mungkin bisa jadi saya mati dengan kepala pecah, akibat dikepruk. Rasisme kemudian menjadi alasan untuk melakukan tindak represif.

Tersirat perkara penting dalam hal tersebut, yakni Rasisme memang kemudian menjadi alasan untuk menjalankan tindak kekerasan.

Rasisme dalam sejarahnya selalu menjadi hantu ideologi sosial yang menyebalkan dan menjijikkan, sampai sekarangpun, rasisme rasanya masih berupa ketegangan upaya dalam mengucap eksistensialitas diri dan kelompok lebih baik daripada yang lain. Dengan kata lain ini menyangkut persoalan identitas, biologis dan optimasi fisik yang dipandang lewat kacamata perspektif diri sendiri. Dan parahnya itu menjadi faham, diteriakkan tanpa mempunyai rasa malu dengan membayangkan ideologi yang ada dibelakang mereka sebagai satu kekuatan superpower yang mampu meluluhlantakkan apapun yang menghalangi jalannya.

Image hosted by Photobucket.comRasisme, rasanya masih ada sampai sekarang. Semenjak era propaganda NAZI di awal tahun 1920-an sampai kini adanya kelompok haluan keras, dari suporter klub sepak bola Italia, LAZIO yang rasis dan fasis (perlanjutan dari ideologi Musollini?). Namun masih teringat ideologi politik pembedaan warna kulit yang sebenarnya amat sangat menjijikkan untuk diperhatikan. Apakah itu merupakan ucapan umum yang diklaim sebagai wakil sekelompok massa, rasa bangga terhadap wujud fisik dengan memandang orang lain lebih rendah dari dirinya dan upaya menindas bangsa lain, bahkan sampai ucapan keseharian yang jamak dilakukan dalam konteks sosial. Lihat saja, masih ada anggapan bangsa lain yang merasa dirinya lebih besar dan berhak menirukan suara kera ketika seorang pemain sepak bola berkulit hitam bertanding melawan sebuah klub sepak bola internasional, atau yang merasa berbeda dan berhak mendapat perlakuan berbeda dengan masyarakat lain hanya karena dirinya mempunyai golongan darah biru. Termasuk Ethnic Cleanse, di Afrika, Boznia dan lainnya. Bahkan adanya kepentingan yang lebih besar dengan menyelamatkan segolongan kaum kulit berwarna dibandingkan lainnya di daerah yang terkena bencana besar. Sampai bahkan ada yang mengatas namakan golongan beragama (dan notabene orang dewasa) dan merasa berhak menghancurkan sebuah sekolah dasar yang berbeda agamanya dengan mereka? Ataukah rasisme muncul dalam peraturan yang sedianya disediakan untuk kehidupan bernegara ? rasanya kengerian yang lahir dari masalah ini sudah terlalu menakutkan dan menyedihkan untuk didiamkan.

Rasisme memang menjadi cikal bakal untuk melakukan kekerasan. Selalu.

Berubahnya wujud keyakinan menjadi materi, bentuk rasisme, atau aturan ideologi, akan merusak konsep negara demi kepentingan golongan, atau organisasi yang akan menggantikan konsep kehidupan. Keyakinan dan keteguhan iman adalah poses batiniah yang sangat dekat dengan kepribadian universal, yang amat sangat menakutkan jika dimaterialisasikan kedalam ideologi, negara bahkan kelompok terkecil pun, karena kemudian mereka menjadi satu aturan yang ingin diterapkan kesemua hal tanpa memandang perbedaan dan keinginan untuk saling melengkapi atas perbedaan itu.

Image hosted by Photobucket.comApakah rasisme memang lahir karena rasa superioritas yang muncul dai beberapa bangsa maju? ataukah memang karena ketakutan dan sensitifitas tinggi terhadap keberagaman? atau memang rasisme telah diciptakan secara sengaja dan turun temurun guna mendukung pemuasan hasrat sifat terkeji dari manusia?. Keponggahan yang akhirnya mungkin hancur dalam kekuasaan Sang Maha Kuasa, atau malah menelan sang pelaku rasisme itu sendiri. Karma berbicara.

Dalam wujud skala yang lebih global, contoh terpenting, misalnya adalah anggapan dimana Barat harus terus berkuasa sebagai yang dipertuan agung dalam konteks politik, sosial dan ekonomi, sedangkan wilayah Asia (Timur), Amerika Latin dan Afrika wajib tunduk sebagai subordinatnya. Dan polah arogan Amerika yang merasa harus terus unggul dan menguasai seluruh pojok bumi dengan kekuatan militer dan pengaruh dolarnya yang disiapkan setiap saat untuk menopang hegemoni imperialistiknya itu.

Secara sadar, rasisme memang lahir dalam wilayah yang dikategorikan heterogen sebenarnya, memang terkait dan saling berbenturan antara kepentingan yang muncul bahwa konflik masih terjadi dalam menuangkan kepentingan ideologi, dimana memang kita masih mengalami tekanan ideologi dari muatan media yang dicitrakan untuk membentuk superioritas kaum penguasa golongan kapital, yang kebetulan dalam hal ini adalah barat.

Rasanya masih sanggupkah kita menghitung untuk berapa lama lagi bumi ini harus diracuni dengan cara-cara sangat brutal ini?

Image hosted by Photobucket.com Manusia diciptakan dalam perbedaan yang seharusnya bisa saling melengkapi. Bahkan hidup manusia secara fisik sudah dilengkapi oleh rasa dan moralitas. Apalagi cita rasa. Cita Rasa kemudian menjadi suatu logika pembeda yang terpenting antara binatang dan manusia. Bagaimana perilaku masinal dan instingtif dibedakan dalam menjalani kebutuhan untuk hidup yang akhirnya berakhir dalam kepentingan batiniah. Sayangnya selalu ada kebutuhan untuk menguasai wujud lain dan kepentingan kelompok yang telah berubah menjadi upaya menegakkan hegemoni kemanusiaan, peradaban lewat perang dan jalan menghancurkan sesuatu yang menjadi ancaman.

Prasangka buruk atas suatu identitas kebangsaan (rasis) memang belum sepenuhnya lenyap. Prasangka itu masih ada terutama saat ini. Rasanya hanya keteguhan hati dan solidaritas sesama yang akan menghilangkan perilaku prasangka buruk ini,dengan integrasi dan kesadaran akan perdamaian rasanya bukan mustahil, perilaku biadab ini bisa perlahan dihilangkan. Manusia sebenarnya tidak ada yang berbeda, perilaku genetik mereka semua identik dalam DNA. Rasanya kita masih ada harapan untuk melakukannya, bukannya malah menambah-nambah pentas sejarah manusia yang memang sudah selalu diwarnai dengan darah dan pertikaian dalam menyokong peradaban di masanya.

link : klik disini

Tuesday, August 30, 2005

Bagi Yang Merasa Benar

Image hosted by Photobucket.comBelakangan saya mulai merasa muak untuk mendengar berita dan melihat fenomena kekerasan akibat dari rasa kebangsaan dan terusiknya esensi keagamaan sebagai pembenaran terhadap tindak kekerasan, baik itu individu dan kelompok. Entah terlalu sering dibombardir media atau memang opini yang timbul malah lebih gila dibandingkan kenyataannya. Keyakinan yang disetir secara politis dipergunakan dalam kondisi yang tidak seragam, dan memang relatif gampang untuk mencapai sasaran. Dengan dalih agama dan dalih kesetiaan terhadap simbol negara, mereka meyakini tindakan represif atas nama kelompok dapat menunjukkan citra powerful dan merasa berhak membungkam kredibilitas hukum di negara ini yang memang sedang terpuruk.

Padahal, dalam konteks kehidupan untuk bernegara, tindak kekerasan atau represi oleh masyarakat sangat tidak dibenarkan. Yang berhak melakukan represi ( dalam wujud ’netral’) adalah negara. Masalahnya, dalam pandangan sebagian masyarakat, logika seperti ini terasa berbelit-belit, sementara penyimpangan sosial sering terjadi. Serba salah, memang hal ini yang membuat kondisi makin terpuruk, bak buah simalakama. Buah simalakama mulai terkuak kembali dengan munculnya bibit krisis ekonomi yang mengakibatkan rusaknya tatanan hegemoni sosial ekonomi masyarakat.

Apakah karena memang harus melalui proses pembelajaran seperti ini?

Apakah kekerasan dan perilaku sosial kita sudah mulai runtuh?. Apakah karena rasa nasionalis (ekonomi perut) yang mengesampingkan nilai moral? Pengaruh orientasi hidup untuk materi lewat perlakuan tak seimbang dalam media komunikasi ?. Itulah identitas yang tercermin lewat rasa bangga berlebihan (over), dan kesatuan kelompok yang disalah gunakan, legitimasi palsu dalam wujud nasionalisme. Kebanggaan diwujudkan dalam simbol legitimasi sosial yang didukung oleh masyarakat tertentu. Toh, yang bertanggung jawab hanya seorang. Pembelajaran, seperti halnya seorang calon anggota mafia yang harus bertarung dengan puluhan orang untuk masuk kedalam keanggotaan kubu itu.

Apaan sih Nasionalisme itu?

Rasanya gampang, nasionalisme baru muncul kalau hal itu menyakut harga diri dan olahraga. Jujur saja, saya lihat rasa akan hal itu baru muncul jika ada sesuatu yang mengusik harga diri bangsa ini, dan pertandingan bulu tangkis atau PSSI di kancah Asia Tenggara. Nasionalisme adalah cangkang dari globalisme dalam lingkup paling kecil. Sedangkan Globalisme merupakan arena pencarian jati diri dalam suasana abstraksi yang tak bernyawa. Bagi mereka, globalisme telah memberikan arus dan celah masuknya intervensi budaya dan kultur asing yang sangat berbeda dari yang sudah ada. Alhasil, bagi mereka, globalisasi menciptakan era dingin tanpa norma dan pijakan sosial yang jelas, dalam konteks yang plural. Itulah yang melatari bagaimana saat ini, nasionalis yang timbul karena terusik, yang timbul karena balutan ekonomi, lapar dan kebencian dan rasa sensitifitas.

Image hosted by Photobucket.com Bagi beberapa golongan dengan latar belakang masyarakat yang berbeda dan tingkat pemahaman sosial yang cenderung berlawanan, sensitivitas akan arus perubahan sering disalah artikan dalam gerakan yang dilawan dalam segi fisik. Semua itu bisa jadi karena ketakutan terhadap arus, dengan mengedepankan pemahaman sempit dan ketakutan akan perubahan. Simbol legitimasi sebenarnya diperlukan oleh tiap kerumunan individu dalam satu wadah yang disebut masyarakat, untuk menentukan kearah mana mereka akan bergerak. Dalam hal ini wujud masyarakat bak anak ayam kehilangan induk sudah tergambar dalam hal ini. Salah kaprah dan cenderung mencelakakan individu lain.

Kekerasan dengan kelompok ?

Ini merupakan sebuah indikasi nyata bahwa anarki sosial yang terjadi di ruang-ruang publik sulit melepaskan diri dari simbol, idiom dan atribut bahkan keyakinan yang disandang oleh para pelakunya. Dengan kata lain, anarki sosial dalam konteks individu amat sangat berbahaya karena erat dengan tindakan kriminal, sedangkan kekerasan (secara sadar) yang dilakukan atas nama kelompok merupakan sebuah pertunjukan kesenjangan cita-cita (das Sollen - kalo kata Hegel) dengan kenyataan.

Kenyataan untuk hidup yang hakiki dan saling menghormati dihantam oleh pemahaman keyakinan yang dangkal dan cenderung gampangan, sehingga dirinya merasa berhak melukai orang lain tanpa merasa perlu untuk bertanggung jawab.

Friday, August 26, 2005

Komunikasi Visual Propaganda

Kaku, figur yang berotot dan tegar, tegas, wajah keras, dentuman mesin industri dan pekerja tambang yang luar biasa, selalu dicitrakan sebagai heroisme yang sangat sentral, namun selalu terlihat figur yang dipaparkan dalam posisi tiga perempat pandangan wajah, tak pernah menatap langsung kedepan. Itulah kesan yang saya dapatkan setelah menilik visual dan perkembangan poster- poster dimasa sosialis Uni Soviet dahulu. Warna merah yang dominan, minimalis kaku dengan ekspresi tunggal, ternyata memang diciptakan untuk menimbulkan semacam sensasi, perasaan kecil dan takjub yang terbius oleh propaganda pemerintah atau rezim tepatnya.

Image hosted by Photobucket.com

Belum lagi propaganda perang, tema-tema perlawanan terhadap neo-imperialisme-kolonialisme.

Itu juga yang terdapat dalam wujud visual propaganda realisme sosial di masa itu, dan Soviet (sekarang Rusia) sebagai figur sentral daripada hal ini. Setelah melihat poster, banner, dan visual yang merupakan replika historis dari sebuah masa, masa dimana dua kubu saling bertikai, barat dan timur. Kepentingan dua ideologis yang berbeda telah mengambil cara apapun untuk menciptakan imaji dan menumbuhkan suatu semangat dalam rangkaian propaganda. Tak ada hitam, tak ada putih, tak ada pula kesendirian dan kebersamaan, hilangnya rasa manusiawi ditunjukkan guna menciptakan heroisme sesaat yang mendukung peran suatu rezim. Baik Barat atau Timur.

Image hosted by Photobucket.comJika Hitler men-setting setiap pidato banner-banner raksasa bergambar swastika, untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan Bangsa besar a la NAZI, dan tema kerakyatan atau Narodsnot kata Joseph Stallin, maka memang terlihat upaya menciptakan citra megah itu selalu ada. Masih sebelas duabelas dengan Mao Tse Tung tentang tema-tema kerakyatan yang kemudian dikutip dan diinternalisasi sebagai sikap revolusioner. Dengan kata lain, pemposisian visual dalam poster, alat propaganda yang membutuhkan komunikasi secara gambar, harus menegaskan bahwa etika yang muncul adalah bersifat mudah dipahami dan sederhana dengan simbolisasi yang mudah dicerna.

Bagaimana di Indonesia sendiri?. Untuk melupakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), di Indonesia, yang pernah mengharu biru masa perkembangan seni rupa di Indonesia, rasanya amat janggal. Mereka yang pernah mencampur adukkan ideologi politis partai komunis dalam seni rupa dan apapun yang bersifat estetika dan kemudian memfragmentasinya sebagai jargon ideologis para seniman. Buah percaturan dan penyebaran ideologi dalam sebuah perang besar, perang ideologi. Alhasil, beberapa eksponen pembela Lekra seperti Joko Pekik, Amrus Natalsja maju paling depan dan menggembar-gemborkan seni kerakyatan untuk melawan apa yang disebut kolonialisme dan imperialisme.

Namun dengan berlebihannya propaganda dan muatan yang diinginkannya, alhasil kesan politik pun lebih mengemuka dari kemanusiaannya. Dalam hal ini, prinsip komunikasi menjadi ajang propaganda heroik yang ditujukan menebarkan loyalitas terhadap rezim tertentu. Dalam hal ini makin terlihat jelas upaya rezim untuk menguasai dan menandai muatan sistem komunikasi visual untuk lebih efektif dan image di benak yang kuat.

Satu hal; muatan yang dipampangkan adalah perkara soal eksistensi tubuh manusia. Dengan menyulap citra yang kukuh dan tegar dalam karya seni untuk kebutuhan 'kerakyatan', bahwa manusia dalam komunitas yang tak mengindahkan prinsip liberal, menjadi satu dan kuat.

Ada awal, ada akhir.

Dan kemudian Soviet, sebagai sentra sosialis di daratan Timur, runtuh, berganti nama menjadi Rusia. Dan Cina kehilangan pelindung terhadap dominasi sosialis dan masih secara formal sebagai negara komunis, namun bergerak dalam cara imperialis ekonomi. Alhasil jejak propaganda visual dalam kurun waktu itu berubah, dan arus dominasi gerakan liberal dari luar dalam culture semakin kuat. Semenjak runtuhnya rezim sosialis blok timur, salah satu acuan gerakan kultural dan sosial dalam kepetingan politis dan propaganda tersebut juga mulai berakhir. Kelahiran (kemenangan) mazhab liberal dan (kapitalistik) di negara-negara berkembang dan gerakan pembaharuan dalam budaya, sosial dan ideologi yang mulai cair, otomatis tak tersentuh konfrontasi blok, melahirkan satu skema yang seragam dalam mengupas masalah realita dan self-existence. Maka didobraklah segala aturan estetika tentang itu dengan munculnya pemahaman bahwa seni rupa dan visual yang diolah mampu menyajikan realita dalam masyarakat.

Image hosted by Photobucket.comDan selanjutnya, realisme sosialis yang dulu dimanfaatkan sebagai propaganda masih hidup di Rusia,Cina dan bahkan negara-negara lain, mungkin masih ada sebagai sebuah artefak namun juga sudah "memfosil" dan hampir mati.

Kalaupun ada, itu sekedar upaya eklektik belaka, memvisualkan sesuatu sebagai lintas sejarah dan mengambil kenangan sebagai sesuatu yang baru, dikombinasikan dengan kultur pop. Propaganda imaji dan bentuk-bentuk kontemporer. Biar keren gituh ....

link: ***

Tuesday, August 23, 2005

SEPTEMBER CERIA

Image hosted by Photobucket.comSebelum Aidit ada pula Dharsono dan Sema'un. Bagaimana Saudara Nyoto ? Wikana dan lainnya. Dan juga, kalau organisasi Komunis Indonesia, merupakan buah pikiran dan upaya Almarhum Henk Sneevliet, sang pendiri organisasi revolusioner ini. Yang pada akhirnya merupakan sebuah partai komunis diluar China dan Rusia. Evolusi menuju revolusi yang semua berakhir pada bulan September. September Ceria.

Saya mengingat sejenak dan terkenang akan bulan september, tanggal 30 nanti (yang ternyata masih lama dari sekarang), ingatan saya terpaku pada film "G/30S/PKI", sebuah film wajib yang selalu disiarkan oleh TVRI sebagai stasiun tunggal di tanah air pada saat itu. Mungkin sudah ribuan kali bahasan tentang hal ini (saat arus kebebasan informasi saat ini dan sayangnya televisi untuk sekarang ini dipaksa 'tidur' dan penderita insomnia akut mungkin mengeluh) mengacu pada wacana pembelokan sejarah, dekonstruksi dan rekayasa imajinasi untuk menciptakan kepentingan ideologis bagi hegemoni penguasa Orde Baru.

Image hosted by Photobucket.comSaya mengenang saat itu, saya masih tidak pernah berani menonton sampai selesai, berikut juga; layar buram (karena terlalu sering diputar), darah dan kekejaman digambarkan secara gamblang. Bibir hitam tebal mengepulkan asap tembakau yang mengucapkan kalimat seperti; " ..Jawa adalah Kunci..", " Darah itu merah, jendral!" dan lain sebagainya. Ada juga irama musik genjer -genjer dan ini yang terpenting; GERWANI. Ada pula semboyan egaliter, " Sama rata!". Sebuah semboyan yang meniadakan wujud fisikal makna kata; "lebih" dan kelebihan dalam proporsi yang merata. Sehingga terciptalah kesan bahwa Komunis memang dibentuk menjadi menakutkan dan banyak yang merasa sedikit angker untuk menelusuri jejak bangkai salah satu partai terkuat di Indonesia ini dahulu, semua diakibatkan oleh besarnya dendam berdarah-darah puluhan tahun para pelaku dan turunannya. Semua dikonstruksikan sebagai tindakan kejam tak berperikemanusiaan dengan kredo agama, dan pemberontakan yang mengganggu asas kemerdekaan.

Dan kemudian sebagai sarana cuci otak paling efektif.

Ini semua karena kejelasan bahwa, masa silam merupakan konstruksi yang mampu menghadirkan rekayasa bentuk dan imajinasi. Dan penting untuk mengetahui bahwa ada semacam link yang hilang, ada semacam gap dan jarak yang membiaskan sebuah perjalanan panjang. Bentuk evolusi yang terputus.

Sejarah merupakan konstruksi tanda, visual dan linguistik untuk menelaah masa lalu yang tak akan pernah terjadi kembali. Sejarah merupakan fiksi verbal dengan tulisan sebagai realita. Dengan ini pernyataan atas sejarah sebagai sesuatu yang dikenang, adalah buah pemikiran dan distorsi pemaknaan yang tidak akan pernah diurai dengan jelas. Bagaimanapun kemenangan dalam sisi ideologis merupakan bentuk sejarah yang telah ditulis, dipakukan, dibentangkan dan dibekukan dan direkonstruksi dalam induk pemikiran kita.

Sejarah pada akhirnya dan memang, tak terlepas dari yang disebut pihak penguasa. kekuatan yang memegang peranan penting tentang dinamika otoriter keberpihakan. ideologi yang dijinakkan. Itulah upaya salah satu kekuatan yang terpenting dalam ideologi dijinakkan lewat apa yang disebut konstruksi imajinasi. Konstruksi diri sendiri sebagai anggota dunia ketiga, wujud negara yang ambigu, dan sedikit kacau. Itu berarti secara citra kita masih mengalami apa yang disebut sebagai penjajahan walaupun secara formal fisikal kita sudah merdeka.

Setelah Komunis hancur, maka kapitalis menyerang, istilah kasar yang sebenarnya kalau diurutkan dalam segi peran wacana memang membuat kita mulas. Sebagai contoh, kalaupun kita, di satu pihak, bisa berkata-kata tentang betapa kita membenci betapa berbahayanya ideologi pembebasan Amerika, dan juga produk buatan Amerika dan mengancam akan memboikotnya atau mengecam kebijakan negara-negara Amerika dan Eropa Barat. Di lain pihak kita berhasrat untuk mengonsumsi makanan, pakaian, sepatu, konsep tata negara, puisi, novel, film, lagu, ilmu, teknologi kalimat-kalimat yang yang diproduksi wacana kapitalisme global yang standar mutunya diregulasinya, distribusinya dikelola periklanan dan propagandanya, sirkulasinya disalurkan oleh ekonominya, konsumsinya digalakkan hasrat yang dibangkitkannya. Bentuk hasrat yang dimatikan dalam keliarannya. Dekonstruksi hasil sejarah yang sudah puluhan tahun dipermainkan lewat kaki tangan kekuasaan. Untuk membentuk tafsir baru, toh perang dan pada akhirnya kemenangan ideologis ternyata sudah sedikit banyak diciptakan oleh pihak yang menang dari dulu kala.

Ah, kalah karena propaganda.

Image hosted by Photobucket.comSehingga, pada akhirnya, pertikaian tentang ujung pangkal sejarah, dekonstruksi dan penyajian dilibatkan kedalam inteprestasi masing-masing yang memanfaatkan kekuatan media, citra dan ideologi bentukan masa kini. Toh, ideologi berakhir pada harkat manusia, dan imajinasi diri sendiri. Dan tak lupa lewat doktrin tentunya.

Dekonstruksi pada akhirnya membawa pada satu pertanyaan penting tentang keabsahan, otentik dan kenyataan. Seperti yang sudah sudah, memancing wujud upaya mengingat masa lalu yang dalam hal ini memang terjebak dalam pertikaian untuk mengulang imajinasi masa lalu. Dan menciptakan pemahaman dan posisi yang lebih penting dalam diri sendiri, walau pada akhirnya pernyataan (seperti ini yang cenderung) nihilis kritis dan menolak, serta mempertanyakan sejarah itu sendiri hanya berakhir dalam perdebatan tak berujung pangkal. Sialan.

Monday, August 22, 2005

ke-LAPAR-an

Image hosted by Photobucket.comSyahdan, di tahun 85 atau 86, Bob Geldof, sang penggagas Konser Live Aid yang pertama, pernah memaki-maki dan berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia (saya lupa tempatnya dimana), karena maraknya pembajakan kaset rekaman konser tersebut di Indonesia yang terbilang luar biasa. Sedianya uang hasil penjualan itu untuk disumbangkan untuk mengatasi kelaparan di Etiophia. Yang ini malah semakin tidak jelas, uang hasil penjualan tersebut menguap kemana. Untuk 20 tahun kemudian pembajakan menjadi dilematis dan kelaparan (busung lapar,kemiskinan) muncul di Indonesia. Aha!

Kelaparan, adalah bentuk dari kemiskinan paling akhir di Indonesia, dan bukan sekedar cerita isapan jempol. Kelaparan tidak hanya sebuah dongeng masa lalu dari nenek moyang kita yang hidup pada masa pergerakan dan revolusi fisik sebelum kemerdekaan Indonesia. Tapi sekarang, setelah hampir 60 tahun Indonesia merdeka secara politik, kelaparan adalah fakta, kejadian nyata, bukan mimpi atau sekadar cerita indah yang gemar mengangkat tema kemiskinan.

Adalah ironis bahwa di dunia sebenarnya tidak akan terjadi kekurangan pangan, mengingat era modern dan komunikasi lintas global saat ini. Yang kemudian menjadikannya kekurangan adalah tentang mekanisme –lapangan kerja, transportasi, distribusi, akses—yang memungkinkan semua orang mendapat pangan. Yang juga tidak ada ialah kemauan politik untuk membuatnya terjadi. Tema politis yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan segelintir orang demi kepentingan golongan yang lebih besar.

Terbayang saat kita kecil, jika ditanyakan tentang bencana kelaparan, maka Ethiopia adalah suatu wilayah penderita kelaparan di benua Afrika, yang sangat jelas ada di benak kita. Sedangkan jika saat ini jika mendengar tentang kelaparan, yah mau tak mau negara yang masih ingin disebut berkembang ini, mengalami kondisi yang sama dengan apa yang dialami di tahun 80-an tersebut.

Sperti kita lihat, Niger, Somalia, Ethiopia, Sudan dan lainnya. Semua menunjuk pada hancur leburnya, keadaan sosial dan politis di sana. Tampuk kekuasaan lebih menarik untuk diperebutkan dibandingkan menata keadaan dan porak-porandanya kehidupan untuk kearah yang lebih manusiawi, hidup selayaknya manusia, bukan terbaring pahit, diam tak bergerak, dengan mata kosong dan perut membesar, dikerubungi lalar dan ulat, sambil menunggu hitungan ajal. Masihkah ada suatu tempat yang merdeka lahir bathin dan hidup dengan layak diatasnya? Mampukah kita menolong mereka?

Kelaparan merupakan buah penting dari ketimpangan Akses pangan. Dan ini terjadi di negara-negara yang melakukan kesalahan dalam sistem distribusi makanan yang benar benar tidak merata. Dengan kata lain, ada satu kesalahan sistemik yang diakibatkan oleh sistem pemerintahan sehingga implikasinya meluas kemana mana. Sistem yang despotik, partai tunggal yang tak berpihak dan otoriter terselubung yang mengakibatkan skema sistem yang cenderung diktator muncul. Demokrasi yang dijalankan tidak mendukung empati terhadap permasalahan ini. Kelaparan dan penyakit yang muncul malah dianggap karena kesalahan sendiri (saya jadi teringat pernyataan arogan dan picik seorang menteri atas hal ini), bahkan penyakit yang ikut mendukung permasalahan ini bertambah hancur-hancuran ditanggapi dingin oleh pejabat pemerintahan. Ketimpangan akses pangan karena wujud perlakuan terhadap demokrasi ditanggapi dengan arogan. Permasalahan yang timbul karena kurangnya perhatian, karena tidak adanya akses komunikasi yang diciptakan ataupun inisiatif untuk menciptakannya.

Jangan berbicara tentang gaya hidup kalau masih ada Busung Lapar. Sistem kapital dengan K besar memang mendukung nilai apatis dan tidak perduli. Penderitaan rakyat adalah buah tertawa para lembaga donor asing dan cekikan maut sistem harga yang diperuntukan memang untuk kepentingan golongan. Pelaku bisnis, lokal, internasional merupakan peruntukan dan prioritas utama dalam menciptakan ladang pembangunan dan pekerjaan dari sektor ekonomi, industri. Tapi jangan pernah bertanya apakah ada jalan layak untuk mencapai lokasi pedalaman di daerah terpencil dari Sumatera bagian selatan. Dan jangan pula ditanyakan bagaimana mereka harus berjalan sejauh belasan kilometer hanya untuk menempuh pendidikan sekolah dasar setiap harinya. Jangan harap akan ada perbaikan jika sistem masih berlanjut seperti ini. Distribusi kemakmuran dan perbaikan yang terputus putus dan memang tak layak untuk diperjuangkan. Berlaku demi perut sendiri tanpa memperhatikan perut lain yang ikut berkepentingan didalamnya.

Semoga saja, pendidikan merupakan modal dasar yang sangat penting untuk menumbuhkan bibit- bibit keinginan melawan kemiskinan dan kelaparan.

Image hosted by Photobucket.comKelaparan memang sangat tidak enak, sangat menyedihkan, menyakitkan bisa jadi buah penyakit konspirasi akut penopang kehidupan sosial. Baik itu kemiskinan, kehilangan pekerjaan, dan kehidupan yang layak serta harga bahan pangan dan sandang yang mahal. Apakah kemudian kita masih mempunyai otoritas untuk mempertanyakan apakah keadilan yang seperti ini layak untuk mengetengahkan apa yang disebut kehidupan pada saat ini?

60 tahun yang masih tidak pernah bisa belajar dari yang sudah ada.

http://www.thehungersite.com

Friday, August 19, 2005

REKOR

Rekor adalah kemampuan seseorang manusia pada limit tertinggi atau sesuatu yang dianggap diluar kemampuan manusia biasa, dan mencatatkan diri baik secara kompetitif atau ajang resmi. Karena itu, rekor tidak hanya mengandung nilai-nilai superlatif, namun juga kemanusiaan. Untuk itulah dengan dan tanpa orang lain, rekor dapat dipecahkan, baik sejalan dengan upaya menembus batas ketahanan tubuh manusia, namun juga kemampuan dari hasil interaksi ratusan orang didalam satu team untuk memecahkan sebuah rekor. Jika kita melihat pada fenomena tentang pemecahan rekor saat ini di Indonesia, saya berkesimpulan, rekor yang berupaya dipecahkan adalah rekor yang gampang dan aman, sesuai dengan apa-apa yang diberitakan lewat media massa. Namun kalau segala hal didokumentasikan sebagai sesuatu yang menunjukkan kemampuan untuk lebih 'wah', rasanya amat sangat konyol jika hal itu dipandang secara belaka sebagai kemajuan suatu bidang.

Pada dasarnya, rekor diciptakan justru untuk menunjukkan superioritas terhadap hal-hal yang sangat musykil dilakukan oleh orang lain, selain orang yang sanggup dan berkompeten terhadap apa yang dilakukannya. Dengan kata lain, jika sebuah rekor mampu dipecahkan, maka dengan kesimpulan tertentu, hal ini dapat dipakai untuk menunjukkan kadar dan kemampuan manusia-manusia indonesia pada hal-hal yang (tak) berguna.

Rekor adalah sesuatu yang lebih banyak dari biasanya dan berada di luar kemampuan secara nalar. Namun apa jadinya jika rekor dengan parameter 'ter' a la MURI?, sebut saja rekor seperti Nasi Goreng terbesar, Panggangan Sate terbesar, Kue Bolu terbanyak, Berondong Jagung terbanyak, Acara Perakitan Komputer terbanyak, Patung dari es tertinggi, dan juga Bendera Merah putih terbesar di Dunia, bahkan sampai Minum Es Kelapa terbanyak (mungkin) dan lain sebagainya, itu dianggap sebagai sesuatu yang diakui kerap menimbulkan pertanyaan, seberapa absahkah nilai yang telah dipecahkan? atau memang parameter seperti apa yang dijadikan acuan untuk itu? ataukah memang berguna untuk memberikan orang-orang MURI suatu pemahaman bahwa rekor menjadi sangat esensial? Dan apa gunanya rekor itu nantinya ?

Untuk memberikan nilai lebih suatu acara yang melibatkan ribuan orang dan melakukan hal yang sama dengan tujuan tertentu, yakni memecahkan rekor. Dan otoritas MURI sebagai lembaga bentukan Oom Jaya Suprana, merasa berkewajiban untuk mendedahkan dan mendokumentasikan kemampuan bangsa ini yang ditunjukkan lewat kemampuan dan pernyataan; " Bahwa kami pun juga bisa!".Dalam memecahkan dokumenter dari superioritas kemampuan luar biasa baik individu atau bukan, bangsa Eropa dan Amerika yang terlebih dahulu muncul, lewat Guiness Book Of Record.

Adakalanya saat ini permasalahan dan polemik tentang rekor menjadi menarik, bahwa sesungguhnya inilah sebuah cerminan pemahaman rapuh atas nilai sebuah upaya pemecahan masalah, juga atas kondisi sosial yang masif dan gampangan. Bahwa sesungguhnya mitos tentang rekor memang dibentuk dan dikondisikan pada sesuatu yang wah, super dan ter. Cerminan asas sentralistik mengangkat prestise bangsa ini yang terkadang kebablasan dan mengundang senyum dikulum.

cek : ++

Wednesday, August 17, 2005

pas 17-an

"Merdeka" adalah sebuah kata yang amat bermakna, dan amat mahal pada saat kita merasa tidak bebas, dan tidak merdeka. Setelah kita merdeka, kita akan merasakan kemerdekaan itu sebagai bagian dari kehidupan yang layak, sesuatu yang sangat wajar . Kita merdeka, seperti kita bernafas, bahkan saat kita buang hajat. Merdeka dan kemerdekaan adalah sesuatu yang dengan sendirinya harus dan telah kita miliki. Akhirnya, kita lupa betapa bermakna dan betapa mahal kita rasakan nilai kemerdekaan itu sebelum kita menikmati selera bebas dan merdeka. Sama biasanya dengan untuk menganggap kemerdekaan itu seperti apa. Dan memperlakukan upaya memperingati kemerdekaan, adalah euforia hiburan, bukan sesuatu yang sakral dan ideal. Untuk usia 60 tahun, seperti halnya merayakan kemerdekaan di tengah lomba panjat pinang dan arena goyang dangdut. Cermin realita gebyar kemerdekaan yang selalu sama setiap tahun.

Itulah untuk hari ini, bangsa ini merayakan hari jadi yang ke 60, sebuah upaya memaknai muatan sakral setiap tahunnya untuk memperingati kejadian detil yang makin terdistorsi dan bias makna. Sehingga sudah umum sangat terlupakan bagaimana untuk kejadian yang berkisar puluhan tahun silam itu dapat teringat kembali. Sejarah yang tak terdeteksi kecuali ingatan masa revolusi lewat propaganda rezim kedua di negara ini yang perlahan membudayakan sistem paternalistik dan budaya ‘inggih doro’.

Kita tak akan tahu sejarah sebenarnya terjadi seperti apa, kecuali narasi besar yang telah ditentukan, yang dalam hal ini adalah kuasa hegemoni. Tanpa menjelaskan siapa hegemoni itu, rasanya kita sudah tahu. Sejarah memang sudah disiapkan sedemikian untuk direkayasa dan bagian tertentu yang dihilangkan.

Met 17-an deh.