Friday, August 26, 2005

Komunikasi Visual Propaganda

Kaku, figur yang berotot dan tegar, tegas, wajah keras, dentuman mesin industri dan pekerja tambang yang luar biasa, selalu dicitrakan sebagai heroisme yang sangat sentral, namun selalu terlihat figur yang dipaparkan dalam posisi tiga perempat pandangan wajah, tak pernah menatap langsung kedepan. Itulah kesan yang saya dapatkan setelah menilik visual dan perkembangan poster- poster dimasa sosialis Uni Soviet dahulu. Warna merah yang dominan, minimalis kaku dengan ekspresi tunggal, ternyata memang diciptakan untuk menimbulkan semacam sensasi, perasaan kecil dan takjub yang terbius oleh propaganda pemerintah atau rezim tepatnya.

Image hosted by Photobucket.com

Belum lagi propaganda perang, tema-tema perlawanan terhadap neo-imperialisme-kolonialisme.

Itu juga yang terdapat dalam wujud visual propaganda realisme sosial di masa itu, dan Soviet (sekarang Rusia) sebagai figur sentral daripada hal ini. Setelah melihat poster, banner, dan visual yang merupakan replika historis dari sebuah masa, masa dimana dua kubu saling bertikai, barat dan timur. Kepentingan dua ideologis yang berbeda telah mengambil cara apapun untuk menciptakan imaji dan menumbuhkan suatu semangat dalam rangkaian propaganda. Tak ada hitam, tak ada putih, tak ada pula kesendirian dan kebersamaan, hilangnya rasa manusiawi ditunjukkan guna menciptakan heroisme sesaat yang mendukung peran suatu rezim. Baik Barat atau Timur.

Image hosted by Photobucket.comJika Hitler men-setting setiap pidato banner-banner raksasa bergambar swastika, untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan Bangsa besar a la NAZI, dan tema kerakyatan atau Narodsnot kata Joseph Stallin, maka memang terlihat upaya menciptakan citra megah itu selalu ada. Masih sebelas duabelas dengan Mao Tse Tung tentang tema-tema kerakyatan yang kemudian dikutip dan diinternalisasi sebagai sikap revolusioner. Dengan kata lain, pemposisian visual dalam poster, alat propaganda yang membutuhkan komunikasi secara gambar, harus menegaskan bahwa etika yang muncul adalah bersifat mudah dipahami dan sederhana dengan simbolisasi yang mudah dicerna.

Bagaimana di Indonesia sendiri?. Untuk melupakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), di Indonesia, yang pernah mengharu biru masa perkembangan seni rupa di Indonesia, rasanya amat janggal. Mereka yang pernah mencampur adukkan ideologi politis partai komunis dalam seni rupa dan apapun yang bersifat estetika dan kemudian memfragmentasinya sebagai jargon ideologis para seniman. Buah percaturan dan penyebaran ideologi dalam sebuah perang besar, perang ideologi. Alhasil, beberapa eksponen pembela Lekra seperti Joko Pekik, Amrus Natalsja maju paling depan dan menggembar-gemborkan seni kerakyatan untuk melawan apa yang disebut kolonialisme dan imperialisme.

Namun dengan berlebihannya propaganda dan muatan yang diinginkannya, alhasil kesan politik pun lebih mengemuka dari kemanusiaannya. Dalam hal ini, prinsip komunikasi menjadi ajang propaganda heroik yang ditujukan menebarkan loyalitas terhadap rezim tertentu. Dalam hal ini makin terlihat jelas upaya rezim untuk menguasai dan menandai muatan sistem komunikasi visual untuk lebih efektif dan image di benak yang kuat.

Satu hal; muatan yang dipampangkan adalah perkara soal eksistensi tubuh manusia. Dengan menyulap citra yang kukuh dan tegar dalam karya seni untuk kebutuhan 'kerakyatan', bahwa manusia dalam komunitas yang tak mengindahkan prinsip liberal, menjadi satu dan kuat.

Ada awal, ada akhir.

Dan kemudian Soviet, sebagai sentra sosialis di daratan Timur, runtuh, berganti nama menjadi Rusia. Dan Cina kehilangan pelindung terhadap dominasi sosialis dan masih secara formal sebagai negara komunis, namun bergerak dalam cara imperialis ekonomi. Alhasil jejak propaganda visual dalam kurun waktu itu berubah, dan arus dominasi gerakan liberal dari luar dalam culture semakin kuat. Semenjak runtuhnya rezim sosialis blok timur, salah satu acuan gerakan kultural dan sosial dalam kepetingan politis dan propaganda tersebut juga mulai berakhir. Kelahiran (kemenangan) mazhab liberal dan (kapitalistik) di negara-negara berkembang dan gerakan pembaharuan dalam budaya, sosial dan ideologi yang mulai cair, otomatis tak tersentuh konfrontasi blok, melahirkan satu skema yang seragam dalam mengupas masalah realita dan self-existence. Maka didobraklah segala aturan estetika tentang itu dengan munculnya pemahaman bahwa seni rupa dan visual yang diolah mampu menyajikan realita dalam masyarakat.

Image hosted by Photobucket.comDan selanjutnya, realisme sosialis yang dulu dimanfaatkan sebagai propaganda masih hidup di Rusia,Cina dan bahkan negara-negara lain, mungkin masih ada sebagai sebuah artefak namun juga sudah "memfosil" dan hampir mati.

Kalaupun ada, itu sekedar upaya eklektik belaka, memvisualkan sesuatu sebagai lintas sejarah dan mengambil kenangan sebagai sesuatu yang baru, dikombinasikan dengan kultur pop. Propaganda imaji dan bentuk-bentuk kontemporer. Biar keren gituh ....

link: ***

No comments: