Thursday, September 29, 2005

Seni, Moralitas dan Hal yang Memang Tidak Bermoral

Kalau seni mencari sensasi, itu mungkin bukan seni pada umumnya, tapi muatan makna yang diprovokasi sedemikian rupa untuk menciptakan permasalahan dan perbincangan baru diwilayah yang sangat rentan akan perbenturan.

Pemahaman tentang seni memang terkait dengan kebebasan mengapresiasikan dan menafsirkan dalam lingkup masyarakat. Yang pada akhirnya sebagai reseptor pesan dan makna pada level yang paling akhir dan lebih luas. Seni adalah upaya yang sangat penting dalam menafsirkan dan mengapresiasi realita yang ada dalam kehidupan.

Image hosted by Photobucket.comMenafikan nilai agama, seni dan moral, merupakan satu pekerjaan besar yang sudah lama sering bertentangan terhadap nilai dan hasil titik temunya. Tubuh sebagai obyek estetika telah dieksplorasi ribuan tahun lamanya, sebelum nilai-nilai religiusitas muncul sebagai pedoman atas keyakinan hidup dan interaksi terhadap apa yang ada di atas. Tubuh telanjang manusia sejak ribuan tahun menjadi objek seni dan demikian juga harus diakui hak, bahkan nilainya. Nilai estetis tubuh manusia adalah nilai yang positip, prinsipil dan sangat politis pada akhirnya (saat ini).

Seni (saat ini) pada akhirnya memang memegang peranan pada polarisasi nilai, apakah itu moral, obyektifitas dan nilai-nilai etis. Seni, bagaimanapun membutuhkan sarana untuk aktualisasi diri. Penyelenggaraan dan parade nilai makna lewat karya seni, tetap pada akhirnya mengacu pada ruang, waktu dan tempat.

Mungkin saya rada terlambat untuk memberikan opini tentang hal ini. Terkait dengan kisah Pameran CP Bienalle yang bertemakan "Urban Culture" (lihat ceritanya oleh rekan saya ini) yang sempat meraih popularitas lewat tayangan di infotainment (duh!), lewat karya yang menampilkan model Anjasmara dan Isabelle Yahya. Karya digital imaging yang bertemakan sejalan dengan konsep pameran saat ini, Urban Culture, yang diproduksi oleh Davy Linggar dan Agus Suwage, telah menuai banyak kontroversi dan hal-hal lain yang sangat berkesan murahan dan sensasional belaka. Amat melenceng dengan tema awal pameran saat ini. Alhasil, akibat opini pro dan kontra di dalam masyarakat, rasa keprihatinan itu muncul, dan saya memiliki beberapa kesimpulan tentang hal itu, yakni;

1. Eksepsi Media Elektronik yang berlebihan dan cenderung serampangan dalam mencari sensasi sebagai nilai jual. Terutama dalam acara-acara tayangan yang lebih sering menyebutkan ’foto syur ’ dibandingkan karya foto(grafi). Apalagi karya seni rupa.
2. Segolongan Organisasi masyarakat yang memiliki kadar pencerapan atas pesan dan makna sebuah karya artistik dibawah rata-rata.
3. Sensitifitas publik yang dipolitisir dalam nilai moral, agama dan kesantunan oleh sekelompok oknum, untuk menciptakan keriuh-rendahan publik belaka.
4. Penyelenggara acara yang tidak siap menerima perbenturan antara media, sang perupa dan masyarakat itu sendiri.
5. Salah kaprah, toh tayangan di TV dan tabloid ’esek-esek’ jauh lebih parah.
6. Sensasi bodoh belaka.
7. Perupa cerdas yang memanfaatkan sensasi populis lewat riuh rendahnya media massa saat ini
8. Hal yang tidak penting untuk diributkan.
9. Memang belum adanya wibawa dari aparat pemerintah untuk menengahi dan melindungi aktifitas publik warganya.
10. Ternyata masih banyak orang yang sok jago di bumi ini.

Kesimpulan?

Semua mungkin masuk. Namun semua muncul karena dugaan, kesimpulan yang lebih bersifat prediksi. Bisa jadi semuanya disimpulkan kedalam satu anggapan bahwa: ada kesalahan selama ini selama proses menuju demokrasi (jijay) dan ketidak siapan orang-orang untuk menerima perbedaan, baik makna dan cara ungkap.

Dapat dibayangkan, galeri atau museum memang memiliki kapasitas moral dalam menayangkan karya seni untuk umum yang terseleksi. Umum disini adalah audiens pengamat seni dan penikmat seni dimana mereka memiliki toleransi atas sebuah pesan dari karya seni yang beragam.

Image hosted by Photobucket.comBahwa kadangkala seni memang memiliki keterbatasan dan tidak sanggup merepresentasikan batasan yang jelas antara nilai agama, etika, pornografi dan estetika yang sangat sensitif dalam hal ini, karena memang tugas seni adalah merepresentasikan imaji, bentuk dan pesan yang akan diungkap dalam bentuk yang diolah dan memiliki batasan estetis, batasan cair yang relatif. Masyarakat, memang benar, merupakan lingkup penilai dan pemberi wahana dan dampak dari publikasi sebuah karya seni. Namun apa jadinya mengharapkan nilai pemahaman dan penyampaian makna di dalam masyarakat pragmatis? Nilai perut dan eknomis belaka? Dan sedang bingung memikirkan BBM dan harga-harga yang akan naik menjelang bulan puasa seperti ini? Serta mudah diterkam isu gombal seperti ini?

Agak susah untuk mengatakan bahwa kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi dan dianggap biasa-biasa saja. Karya seni yang dibakar oleh aparat, karena ketidaktahuannya, karya seni yang diturunkan karena dinilai menghina salah satu simbol keagamaan. Semua itu bisa jadi terjadi karena memang tidak adanya atau kurangnya kemampuan untuk memahaminya, dan dengan besar hati tentunya.

Ini bisa jadi sebuah preseden yang buruk atas kebebasan ekspresi karya seni dalam sebuah masyarakat negara dunia ketiga yang diombang-ambingkan oleh gejolak tinggi jurang antara kaya dan miskin, munculnya resesi ekonomi, politis, pemerintah yang membangun sektor fisik tanpa berpihak pada sektor non-riil, sensitifitas keragaman, pemahaman kaku dan sempit soal nilai moral dan etika didalam media, pemahaman yang sempit soal agama, tidak adanya pendidikan yang penting soal demokrasi, karena sedari kecil manusia diarahkan kearah pendidikan teknis, bukan visi dan rohani, dan sekali lagi perut lapar yang gampang dikendalikan oleh tangan-tangan kuasa, dan ketidak adanya bukti nyata jaminan kebebasan dalam legal yang tertulis oleh pemerintah bahkan dalam skup yang lebih prinsipil dan terbatas. Dalam hal ini adalah seni.

Dalam hal ini posisi dilematis amat sangat terbuka. Budaya masyarakat Indonesia memang tidak bisa dilawan saat ini, apalagi yang menyangkut yang namanya ketimuran, agama dan moralitas. Kalaupun berani dilawan, hal yang berasal dari wacana akan menjadi bencana moril dan fisik bagi sang penentangnya.

Mungkin masih ada dan banyak pilihan media (seni rupa) yang lebih aman dan lebih baik untuk dijadikan wahan tersebut. Saya sangat merasa kecewa dengan keputusan panitia penyelenggara atas hal ini. Saya faham, publikasi sebuah pagelaran seni rupa yang biasanya sepi dan jarang mendapat perhatian publik, dan hanya didatangi oleh pemerhati seni dan budaya, malah mendapat perhatian luar biasa dari media dengan tema yang melenceng jauh dari tujuan yang diusung awalnya. Alhasil nilai dan pesan yang ditawarkan malah jadi ajang sensasi belaka. Membuat sebuah upaya dari seni, sektor yang memang tak didukung infrastruktur yang mapan menjadi makin tenggelam dan mendapat nama buruk.

Ah peduli amat, maju terus, pantang mundur!

Monday, September 26, 2005

Kreator - Trashing Indonesia 2005

People called them as a one of God of Trash Metal.

20 tahun lebih mereka masih eksis memainkan musik TRASH METAL, dan kemarin, 24 September 2005, mereka sukses menggelar konser di Ancol, Jakarta. Terima kasih akhirnya, kepada dua rekan sejawat ( Nikk dan Moni Babi Kecap) yang biar suka kumat dan ogah-ogahan, masih sempat menyemangati dan mengajak saya untuk melupakan kesibukan biadab di kantor dan kembali bernostalgia, menyelami impian masa kecil, sibuk ketika baru mulai mengenakan celana sekolah pendek biru sambil mengumpulkan poster, mengguntingi gambar-gambar dari majalah HAI (edisi Rock), sibuk menerima pesanan menggambar logo grup musik dan berburu kaset-kaset metal yang masih seharga 4500 rupiah sampai 5000, dan dilabeli stiker bulat, "Rock-Trash Metal" tersebut dan seringkali ditaruh di areal pojokkan etalase kaca toko kaset dan cd, sampai berdebu.

Teng! pukul 7.45 malam, konser inti belum dimulai.

Image hosted by Photobucket.com Kami bertiga masih tertahan di pintu masuk. Aparat dan panitia cenderung over-acting, bertampang sangar –sangar, dan tegas untuk tidak membolehkan kamera digital dan minuman mineral dibawa masuk, walau saya tahu untuk konser musik metal seperti ini, toh sebagian panitia dan partisan penggembira rekanan panitia pasti bermabuk-mabukan di dekat stage. Kami sabar menunggu, kondisi panggung gelap dan penonton sudah menyemut. Namun band pembuka terakhir sudah selesai bermain, Siksa Kubur. Padahal saya ingin menyaksikan kembali band ini bermain, karena mereka sangat rapih dan teknis. Saya sempat membeli kaos tour: Kreator - Trashing Indonesia, dan kecewa ketika dibagian belakang ada gambar peta Indonesia terbakar, dasar gudang bawah tanah(sang pembuat kaos) Tapi ya sudahlah, anggap saja kenang-kenangan.

Jam 8 malam. Teng! (tumben tepat waktu)

Tiba-tiba saja, suara distorsi raungan khas metal terdengar kencang dan lampu strobo menyala. Mereka tanpa basa-basi langsung menggebrak. Singel pertama di bawakan, crowd jakarta langsung berlarian brutal, slam dancing, body surfing, moshing dan head-banging, di sepanjang lagu. Dari kegelapan dan temaram lampu panggung, terlihat siluet mereka, gondrong-gondrong dan mengibas-ngibaskan rambutnya, Enemy Of God (2005) sukses digelontorkan di awal. Dan langsung menggeber dengan beberapa lagu andalan klasik, diambil dari 11 album penuh mereka, Endless Pain (1983) sampai Violent Revolution (2001) dan sampai album terakhir, Enemy of God (2005) ini.

Sesudah lagu kedua, lampu agak terang, terlihat 2 personil asli Kreator dan yang paling lama bertahan, Mille Petrozza (vokalis, gitar) sang pendiri group yang terlihat sudah tua, dan coba-coba berbasa-basi, say 'hi jakarta', dengan face bapak-bapak, rambut panjang, kerutan di wajahnya dan sang drummer, Jürgen "Ventor" Reil , masih terlihat bermain sangat gila, dan sama saja sudah tak bisa menghindari kebotakan, walau gondrong. Soal permainan individu, sekali lagi mereka masih terdepan. Saat rekan seangkatannya, Metallica sempat terlena dengan permainan metal soft ala amerika dan Megadeth yang sempat bermain metal balada, mereka tetap konsisten dengan warna musik yang membesarkan mereka, dan telah sukses mentahbiskan diri mereka sebagai jawaban Jerman atau Eropa atas serbuan musik Trash dan Heavy Metal Amerika, di periode 80–90 an awal.

Image hosted by Photobucket.com Didukung oleh gitaris kedua dan pemain bas yang dari awal konser memperagakan head-banging (gerakan memutar-mutarkan kepala, mengikuti beat musik metal, lebih efektif jika sang musisi berambut panjang) klasik, Christian "SPEESY" Giesler dan Sami Yli-Sirniö. Mereka secara nonstop membawakan lagu andalannya dan beberapa saat, screen raksasa di belakang mereka memperlihatkan gambar cover album-album klasik mereka, Endless Pain (1983), Extreme Agression (1985), Terrible Certainty (1987), Coma of Souls (1990), sampai Violent Revolution (2001). Cuma beberapa saat, ternyata banyak visual yang rasanya berasal dari visual di winamp ( hehehehe). Beberapa album klasiknya yang kurang begitu terkenal disini, tidak dibawakan seperti Renewal (1993), Endorama (1999). Termasuk ketika lagu ”Terror Zone”, "Impossible Brutallity", "Love Us or Hate Us" dikumandangkan. Kejayaan trash metal dengan intensitas gitar yang rapat, melodi saling bersahut-sahutan kembali terpatri dibenak saya. Woah... mereka rupanya masih konsisten sampai saat ini, rasanya perpaduan musik ini bakal bangkit. Soal waktu saja, saat ini warna permainan metal sudah kembali mengungkit dengan gaya seperti ini.

Crowd Jakarta (eh, banyak anak-anak bandung juga sih) makin menggila ketika "People of The Lie" dibawakan. Body surf, penonton sudah menggila. Disusul oleh Hits terkenalnya: "Extreme Agression". Termasuk "Pleasure To Kill". Semakin besarnya putaran arus penonton dan penonton yang semakin berjubel ditengah. Sementara di saat yang sama, kanan kiri panggung terlihat sejumlah penonton yang tadinya juga liar mulai adem ayem, dan sekedar mengacungkan tangan di tiap lagunya. Terlihat mengantuk. Metal yang konstan memang bikin ngantuk, kecuali dia sang penggemar sejatinya. Sempat disindir Petrozza, akhirnya crowd mulai menggeliat lagi. Dan beberapa penonton tercium bau alkohol, bah ! ini mah pletok (vodka campur krating daeng + Nutrisari) hahaha, standar tongkrongan anak metal + kuliahan. Toh selama itu tidak mengganggu sejauh ini, ya dibiarkan saja.

Mereka tidak capek, staminanya melebihi band-band usia muda saat ini.

Saya melongok jam dan ternyata sudah jam 9 lebih.


Image hosted by Photobucket.com

Sedari tadi saya terpisah dengan beberapa rekan dan teman-teman lama yang bertemu di konser ini. Dan asik bermoshing di bagian agak belakang. Saya lihat beberapa orang yang mengenakan kostum non-metal malah lebih hafal bait demi bait yang diteriakan Petrozza, dibandingkan penonton yang lebih muda dan mengenakan kostum kaos metal hitam hitam bertuliskan Napalm Death, Venom, Pestilence, Black Flag, Incantation, Nasum, Entombed, sampai Cannibal Corpse dan Annihilator. Mungkin lebih mirip obral logo dan pameran typografi dari neraka.

Penghujung acara, Kemudian lampu gelap, taktik kuno. Penonton berteriak, karena tahu, mereka belum membawakan lagu lain yang cukup terkenal sampai saat ini di kalangan pecinta metal ; Flag of Hate, Betrayer, Tormentor dan Coma of Souls.

Sekitar jam 10, mereka kembali dan membawakan lagu-lagu pamungkas tersebut. Sampai ditutup benar-benar puncaknya dengan musik yang luar biasa gemuruh dan menyisakan beberapa orang yang terharu dan puas. " Coma of Souls " tak dibawakan. Mungkin mereka sudah lupa, ha !.

Pukul 11 kurang 20 menitan, (kalau tidak salah), konser selesai. lampu menyala, penonton mulai membubarkan diri, dan beberapa wajah akrab yang selama ini nangkring di gerai-gerai komersil musik keras dan punggawa komunitas musik underground tampak. Rasanya lingkaran musik yang segmentatif ini tidak jauh berkembang banyak. Tapi memang itulah keadaannya. Dengan jumlah penonton yang tidak bisa dibilang banyak, mungkin ada ribuan, tidak sebanyak waktu Napalm Death tampil di tempat yang sama, mereka telah menemukan sejumlah penggemar setianya, yang mungkin sudah terhadi kesenjangan generasi. Dimana MTV dan musik rock seperti garage rock dan retro 80 an, kembali mewabah, ternyata masih ada audiens yang konsisten terhadap jenis musik lama ini.

Kami beringsut pulang, setelah selesai berhaha hihi dengan rekanan kampus dulu.

Terasa capek tapi puas, dan terasa badan sakit-sakit, bekas hantaman sesama penonton.Kuping masih terasa berdenging. Tadi pagi terasa, setelah malam sampai Bandung. Gile bener.

cek disini: http://www.kreator-terrorzone.de/

Wednesday, September 21, 2005

(finalis) Cover Boy dan Cover Girl 89

Image hosted by Photobucket.com

Zaman segitu mungkin saya masih belum terlalu bisa membayangkan, apa itu cover girl dan boy, masih ada sisa sisa video beta :p. Dokumen klasik, yang sangat menarik ini, didapat dari teman yang kebetulan waktu itu bekerja di sebuah majalah remaja. Sudah lama sih, tapi tak ada salahnya dipasang disini.

Satu hal yang pasti, ternyata memang setiap masa memang ada waktunya.

Image hosted by Photobucket.com

Ntah bagaimana dengan nasib para finalis cover boy dan girl yang terpampang di gambar ini, ataukah masih menjadi artis atau memang udah lewat masanya, atau malah terkena narkoba ?? he he he

Bekerja keraslah wahai kalian para pencipta trend :P hahaha

Friday, September 16, 2005

Baraka (1992)

Image hosted by Photobucket.com“Baraka”, (1992)
The World beyond Words
The Story of Our Planet, Human Interaction with it seen trogh images sound and music.

Sutradara: Ron Fricke, Musik: Michael Stearns, Mark Magidson Production.

Saya akan mengulas sebuah film lama, yang tanpa sengaja saya lihat kembali.

Rasanya, film ini sangat unik, sang sutradara sangat mempercayai bahwa visual merupakan dialog hidup yang tidak akan pernah berhenti bahkan sampai film itu tamat sekalipun.

Baraka, sebuah film yang dilakukan pengambilan gambarnya di 24 negara. Tanpa aktor, plot cerita ataupun sepatah kata atau bahkan sedikitpun dialog tertentu didalamnya. Semua yang tersaji begitu dahsyat. Rangkaian cerita lewat gambar bergerak dengan nuansa megah dan makna besar yang terkandung di dalamnya.

Image hosted by Photobucket.com

Sejak dikembangkannya teknologi dalam film, film pada akhirnya merupakan suatu perwujudan realitas dalam sebuah media, yang merupakan hasil karya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil peradaban dan kemajuan imajinasi manusia terhadap apa yang telah terjadi, sampai saat ini. Film, merupakan sebuah mimesis. Dan melihat film Baraka ini, dalam hal ini telah menjadi suatu pemaparan tentang peristiwa apa yang telah terjadi dalam sebuah dunia nyata manusia dan bumi. Tanpa kita sadari, muatan realita dan masalah yang muncul malah menimbulkan sensasi yang menuturkan sebuah proses dialogis, tanpa wujud manusia, peradaban dan tempat di mana telah ber-miliar miliar tahun menjadi satu pijakan akan kehidupan, yakni bumi ini sendiri.

Manusia adalah apa adanya, kehidupan dipuncak tertinggi di dunia (Himalaya) sampai aroma tropis alam Bali dan wajah penduduk Indian Amazon, menafsirkan ulang suatu definisi atas rantai panjang asal usul identitas manusia bumi ini, yang niscaya sangat beragam.

Hakikat manusia dan peradabannya, serta dialog panjang antara penghuni bumi ini dengan apa yang di sekitarnya telah membuka mata kita. Tanpa harus membuka statement apapun. Kita akan menyaksikan suatu proses panjang eksistensi manusia dan bumi sebagai suatu wujud akselerasi kehidupan, yang di simbolkan lewat kehidupan agama, modern, kaum urban, modernitas, ilmu pengetahuan, kemiskinan, keindahan alam, kemarahan dan segala wujud ekspresi tunggal terhadap pernyataan yang berkaitan dengan empati akan sekitar.

Image hosted by Photobucket.com

Seakan membuka mata, bagaimana sebuah kehidupan bermula. Sebuah pernyataan manusia yang terus menerus mengeksploitasi sekitar kenyataan dalam keseharian kehidupannya. Menafsirkan suatu wujud tunggal, manusia sebagai penguasa. Dan mempertanyakan bagaimana semua itu dapat terjadi? Apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang telah di rencanakan sebelumnya? bagaimana hal tersebut bisa berawal dengan sempurna? bagaimana sesuatu tersebut dapat memiliki kemiripan dengan alur kehidupan manusia? dan apa yang mendasari hal tersebut sehingga semua ini bisa terjadi?

Semua visual yang nampak terlihat berkaitan dengan sisi pencapaian peradaban manusia, baik aspek fisik wujud kemajuan dan problematika saat ini. Mulai dari visual tentang kemiskinan dan problematika sosial di negara dunia ke tiga seperti Asia dan Amerika Selatan, aktivitas manusia dalam nafas religius atau menjalankan keyakinannya di belahan dunia, bahkan sampai ke dalam geliat kehidupan kaum urban kota megapolitan seperti Tokyo dan New York. Bahkan ketika adegan dibuka dengan visual kera gunung Fuji yang sedang berendam air panas, sound yang berkesan megah, nuansa dialog visual yang kuat sudah sangat terasa. Sampai beberapa adegan menarik ketika secara tidak sadar muncul perbandingan dalam adegan menarik, tentang produksi raksasa pembiakan anak ayam dengan padatnya kerumunan orang menuju subway di Tokyo.

Dimulai dari alam dan berakhir kembali ke alam. Mitologi mitis, dari masa ke masa dan mengubah wujud sejarah manusia.

Melihat film ini, kehidupan manusia adalah dialog, dan manusia itu sendiri menjadi sebuah sistem mekanis yang tercipta oleh alam. Film ini sangat menarik, sungguh filosofis. Sayang, lebih cocok diputar di bioskop atau layar besar rupanya, nonton di TV kecil, ya mana enak ...

Tuesday, September 13, 2005

Busana, kostum, pakaian, baju , kaos, celana bla bla bla

Saya mungkin setuju dengan ungkapan ini; saat ini, ‘pakaian adalah segalanya’, pakaian adalah penampilan dan segala aksesorisnya merupakan pelengkap dari bungkus dari tubuh telanjang. Pakaian memang penting, yang menciptakan pemahaman bahwa yang terpenting adalah penampilan, isi otak nanti dulu. Tapi memang sebaiknya kompromi memang ada, pakaian hancur, otak ada, tapi rasanya gak mungkin juga.

Maaf, jika ada yang kurang berkenan, bagi saya saat ini pakaian memang adalah sebuah sistem tersendiri yang amat sangat terkenal di muka bumi sampai saat ini.

Alhasil, hal ini telah menciptakan upaya untuk sesuai dengan pemahaman tentang pakaian itu sendiri saat ini, dengan berlomba-lomba berkomunikasi satu sama lain dengan berbusana, etika berbusana dalam setiap kelompok yang menciptakan kelas dan makna tertentu. Baik antara pria dan wanita, anak kecil dan anak muda, dewasa dan tua, bahkan ketika meninggal pun, kostum untuk berjalan jalan di alam baka pun masih dipikirkan.

Pakaian memang menyisakan kompromi dalam kehidupannya, kemudian orang mengambil jalan tengah, bolehlah penampilan ala kadarnya, asal bersih dan rapih. Tapi kemudian orang berpikir, karena perut lebih penting, maka berpakaian toh seadanya saja, kami tak butuh pakaian untuk mengenyangkan status harga diri kami. Kemudian ada segolongan orang yang tak mementingkan pakaian, masyarakat dan perut, mungkin mereka orang yang gila, ataupun memang tak mengharapkan kegembiraan material dan duniawi di kalangan pengabdi agama konvensional. Dan akhirnya ada juga orang yang tak menggunakan pakaian selama berlibur di pulau tertentu, mereka adalah kaum Nudist. Atau memang ada yang tidak membutuhkan pakaian ? saya tidak tahu, mungkin memang saat ini masih ada.

Pakaian memang menjadi dewa dalam sebuah sistem sampai saat ini.Pakaian sebagai tanda, dan tubuh didalamnya adalah tanda yang dibungkus oleh tanda.

Manusia sudah lama mengenal konsep pakaian sebagai antisipasi terhadap perubahan cuaca dan ganasnya alam. Dimana semenjak intelektualitas mengalami evolusi, manusia dalam sejarahnya mulai mempercayakan insting bertahan dalam melihat tubuhnya, untuk mencapai aspek ketahanan dalam hidup. Pakaian kemudian memang sebagai representasi fisik, dari perlindungan terhadap cuaca dalam melindungi organ-organ tubuh dan tubuh biologis manusia itu sendiri. Manusia butuh perlindungan dan pertahanan dalam diri sendiri, sebuah cikal bakal antroposentris, dimana manusia memandang diri lebih unggul dari alamnya, dan berlaku seolah-olah penguasa jagat raya. Manusia telah menciptakan evolusi dan pemahaman tentang pakaian sesuai dengan pentas sejarah dimasanya. Setiap Abad dan masa, serta menciptakan definisi tersendiri tentang apa itu pakaian bagi setiap bangsa-bangsa di dunia ini. Bisa jadi, pakaian memang makhluk 'hidup' tersendiri.

Pakaian adalah sejarah jutaan tahun, pakaian adalah perlepasan dari materi, dan umur pakaian mungkin memang telah sejalan dengan usia manusia dimuka bumi ini. Apakah mungkin pakaian nantinya akan berubah fungsi?, sebagai sebuah alat, sebagai sebuah jarak diluar pemaknaan hakikat terdalam dari seorang manusia?. Apakah manusia membutuhkan pakaian sebagai komunikasi dalam ragam pentas sosial? Dengan adanya modernitas, pentas sosial yang digantikan oleh televisi, mall dan beragam informasi, pakaian menjadi ilmu tersendiri yang dikaji oleh manusia dan menjadi tanda yang memperluas tentang struktur yang terkait dengan hegemoni mode, trend, politik, industri, golongan bahkan sampai keyakinan atau agama. Pakaian memang mencitrakan tanda yang tak lagi sederhana seperti dahulu kala. Semenjak diketemukannya metode penggunaan baju dari kulit (berbulu) binatang untuk menghangatkan tubuh kaum Homo Neanderthal, untuk menghadapi ganasnya musim dingin, sampai jutaan tahun kemudian di masa kini, penggunaan bulu binatang sebagai sebuah alat komunikasi tentang gengsi, tanda dan martabat, dan kemudian di masa lalu berperang dengan tombak yang terbuat dari bebatuan sampai jutaan tahun kemudian dimasa kini, masing-masing pelaku peperangan menggunakan rompi dari serat Kevlar untuk melindungi tubuh dari terjangan timah panas. Pakaian saat ini menjadi status simbol, status gengsi, sebuah ideologi yang hidup dimasa modern, bahkan sampai menyeruak kedalam relung wilayah kemanusiaan, bagaimana Martunis, bocah ajaib yang selamat dari bencana Tsunami di Aceh, dihujani hadiah oleh pihak Badan Sepakbola Portugal, karena menggunakan kostum kesebelasan nasional Portugal, bernomor 10, bertuliskan nama pemain legendaris Portugal; Luis Figo. Pakaian memang menjadi sebuah alat komunikasi yang kemudian mampir kedalam pemahaman tentang diri dan orang lain. Bisa juga memang sah jika pakaian adalah harkat dan kesetiaan tubuh yang tunduk pada insting untuk mengeluarkan pemaknaan tentang identitas diri manusia.

Untuk perkembangan selanjutnya, pakaian adalah konsep dari penanda dan makna atas identitas sebuah diri, yang saya sebutkan disini adalah harkat, martabat, status dalam lingkup sosial dan pergaulan. Dan kemudian, pakaian menjadi alat komunikasi, manusia berkomunikasi secara tidak langsung tanpa membutuhkan upaya untuk melakukan pendekatan secara personal. Dengan kata lain, pakaian mencitrakan sesuatu dan nilai dibaliknya, dan ketika melepas baju hingga telanjang bulat pun, manusia menciptakan pembenaran sendiri yang masih mengkaitkan antara seksualitas, pornografi dan kesepakatan bersama sebagai kaum Nudist. Tetap, apapun wujudnya, pakaian telah meninggalkan nilai dan pemaknaan yang hakiki tentang budaya, manusia adalah budaya itu sendiri.

Era yang menyebutkan kebebasan dan modernitas sebagai wahana pikir manusia, menyebutkan dan menciptakan pemahaman pakaian adalah konsep baku antara biologis dan kebutuhan untuk bertahan hidup dengan entitas diri dalam lingkup sosial dan kemasyarakatan. Manusia memang hidup di alam yang berbeda, saat ini dahulu alam adalah sumber utama yang menyakiti tubuh manusia, dan tidak selalu selaras dengan upaya bertahan hidup manusia, sekarang manusia dengan tubuh yang dibungkus beragam tanda dan komunikasinya malah menciptakan perang terhadap alam dan sektor apapun dalam keberlangsungan hidup suatu umat, apakah itu bahan baku tekstil, penebangan hutan, serat organik dan kulit hewan , hasil kerajinan biologis hewan sebagai bahan baku pembungkus tubuh manusia.

Manusia memang hidup di alam yang serba kompleks, sangat padat dan tak terkira dalamnya. Wahana dunia yang penuh dengan gejolak pemikiran tentang modernitas dan posmodernitas yang mencanangkan nilai-nilai ambivalen, tak jelas dan terkadang abjektif. Era pasca-modernisme telah menyebabkan manusia menghadapi dilema dalam menyikapi masalah sebagai teks, sebagai pemaknaan dalam unsur kehidupan. Begitu banyak teks hadir dengan berbagai pembelaan ilmiah, di tengah krisis kemanusiaan yang beragam kerumitannya. Dan memang pakaian telah berubah fungsi dan imajinasinya. Toh pada akhirnya, kehidupan di dunia ini, lebih dari sekedar pakaian pun (saya kutip dari ungkapan seseorang) terkait dengan denyut jantung dunia modern saat ini, degup jantung dunia sendiri kemudian adalah naik turunnya fluktuasi ekonomi dan nilai tukar mata uang, dan posmodern untuk menganalisa fenomena perkembangan makna pakaian sebagai wacana kritis, adalah buku-buku dan diskusi semata.

Toh yang penting adalah gaya, hehehehehe.

Tuesday, September 06, 2005

Tomer Hanuka

Karya ilustrasinya, yang selalu diliputi pemahaman mendalam akan posisi diri sebagai bagian dari kultur urban sebuah salah satu kota niaga terbesar di Dunia, New York, sebagai penggambaran sebuah percampuran dan titik temu berbagai bangsa, dan kehidupan yang luar biasa variatif dari industri musik, film dan realita tentang gaya hidup bebas. Karyanya saya lihat pertama kali di sebuah majalah musik (masih impor biar bekas juga), Rolling Stone,di awal tahun 2000-an kalau tidak salah.

Ternyata orang ini sangat terkenal, selain memang posisi kemampuannya yang ilustratif dan memang cukup detil menggambarkan tema-tema komikal dan visual kultur generasi muda. Karyanya, selalu berciri khas, garis yang detil dan tebal menjadi ciri khas tegas, disambung dengan kemampuannya mengkomunikasikan realitas kehidupan urban New York yang lekat dengan ekspresi individu, baik itu keunikan dalam style, fashion maupun absurditas dalam emosionalitas.

Image hosted by Photobucket.com

Komikal, tapi cenderung garang. Lihat saja situsnya:http://www.thanuka.com/, banyak menggambarkan figur manusia dan tokoh yang terlihat tidak cerah, suram, namun hidup sebagai identitas masyarakat kota New York.

Image hosted by Photobucket.com

Tomer Hanuka, seniman kelahiran Israel, 31 tahun silam ini, memang seniman ilustrasi yang terlihat bergaya 'New York banget'. Bekerja secara detil dengan warna-warna gradasi yang cenderung suram, memadukan ilustrasi dengan kepentingan majalah dan media, juga memadukan visual mimpi dan gejolak kultur industri-media, majalah, media, ikon rock-star. Ditambah lagi kedekatannya dengan kehidupan malam dan ya itu tadi, pekerja seni imigran asal Israel, yang ternyata karyanya berkarakter lebih 'Amerika'.

Image hosted by Photobucket.comLahir di Tel Aviv, Israel, dengan saudara kembarnya; Asaf Hanuka. Besar dengan komik- komik Amerika yang tidak bisa dibacanya, dan sampai kemudian meninggalkan tokoh komik lokal di negaranya, Yosef Trumpeldor, ke dalam wujud imajinatif penggambaran tokoh komik luar, Superman. Dan belasan tahun kemudian hijrah ke Sekolah Seni Visual di New York dan berkarya, setelah meninggalkan Israel dan menamatkan tugas bela negara di Kemiliteran.

Urusan skill, teknis pewarnaan dan detil outline , orang ini nomor satu deh.

Thursday, September 01, 2005

Menyikapi Rasisme

Image hosted by Photobucket.comSaya sering mendengar ungkapan seperti ini; " Dasar Jawa lo!", atau malah " Dasar Cina!" (mohon maaf buat teman-teman yang dirinya memang orang Jawa dan Cina, jika tersinggung, ini saya ambil hanya sekedar contoh belaka). Mungkin akan terdengar lucu saat itu diungkapkan sambil tertawa dan ditujukan untuk memuji atau memberi hormat, karena keakraban sering menembus batas etika dan kesopanan kadang kala. Namun apa jadinya ketika, kalimat diatas diucapkan dengan penuh amarah dan keluar dari umpatan mulut sekelompok orang bermata merah dan berpenampilan berangasan? Saya akan malas untuk meladeninya, dan memilih kabur, kalau saya meladeninya, mungkin bisa jadi saya mati dengan kepala pecah, akibat dikepruk. Rasisme kemudian menjadi alasan untuk melakukan tindak represif.

Tersirat perkara penting dalam hal tersebut, yakni Rasisme memang kemudian menjadi alasan untuk menjalankan tindak kekerasan.

Rasisme dalam sejarahnya selalu menjadi hantu ideologi sosial yang menyebalkan dan menjijikkan, sampai sekarangpun, rasisme rasanya masih berupa ketegangan upaya dalam mengucap eksistensialitas diri dan kelompok lebih baik daripada yang lain. Dengan kata lain ini menyangkut persoalan identitas, biologis dan optimasi fisik yang dipandang lewat kacamata perspektif diri sendiri. Dan parahnya itu menjadi faham, diteriakkan tanpa mempunyai rasa malu dengan membayangkan ideologi yang ada dibelakang mereka sebagai satu kekuatan superpower yang mampu meluluhlantakkan apapun yang menghalangi jalannya.

Image hosted by Photobucket.comRasisme, rasanya masih ada sampai sekarang. Semenjak era propaganda NAZI di awal tahun 1920-an sampai kini adanya kelompok haluan keras, dari suporter klub sepak bola Italia, LAZIO yang rasis dan fasis (perlanjutan dari ideologi Musollini?). Namun masih teringat ideologi politik pembedaan warna kulit yang sebenarnya amat sangat menjijikkan untuk diperhatikan. Apakah itu merupakan ucapan umum yang diklaim sebagai wakil sekelompok massa, rasa bangga terhadap wujud fisik dengan memandang orang lain lebih rendah dari dirinya dan upaya menindas bangsa lain, bahkan sampai ucapan keseharian yang jamak dilakukan dalam konteks sosial. Lihat saja, masih ada anggapan bangsa lain yang merasa dirinya lebih besar dan berhak menirukan suara kera ketika seorang pemain sepak bola berkulit hitam bertanding melawan sebuah klub sepak bola internasional, atau yang merasa berbeda dan berhak mendapat perlakuan berbeda dengan masyarakat lain hanya karena dirinya mempunyai golongan darah biru. Termasuk Ethnic Cleanse, di Afrika, Boznia dan lainnya. Bahkan adanya kepentingan yang lebih besar dengan menyelamatkan segolongan kaum kulit berwarna dibandingkan lainnya di daerah yang terkena bencana besar. Sampai bahkan ada yang mengatas namakan golongan beragama (dan notabene orang dewasa) dan merasa berhak menghancurkan sebuah sekolah dasar yang berbeda agamanya dengan mereka? Ataukah rasisme muncul dalam peraturan yang sedianya disediakan untuk kehidupan bernegara ? rasanya kengerian yang lahir dari masalah ini sudah terlalu menakutkan dan menyedihkan untuk didiamkan.

Rasisme memang menjadi cikal bakal untuk melakukan kekerasan. Selalu.

Berubahnya wujud keyakinan menjadi materi, bentuk rasisme, atau aturan ideologi, akan merusak konsep negara demi kepentingan golongan, atau organisasi yang akan menggantikan konsep kehidupan. Keyakinan dan keteguhan iman adalah poses batiniah yang sangat dekat dengan kepribadian universal, yang amat sangat menakutkan jika dimaterialisasikan kedalam ideologi, negara bahkan kelompok terkecil pun, karena kemudian mereka menjadi satu aturan yang ingin diterapkan kesemua hal tanpa memandang perbedaan dan keinginan untuk saling melengkapi atas perbedaan itu.

Image hosted by Photobucket.comApakah rasisme memang lahir karena rasa superioritas yang muncul dai beberapa bangsa maju? ataukah memang karena ketakutan dan sensitifitas tinggi terhadap keberagaman? atau memang rasisme telah diciptakan secara sengaja dan turun temurun guna mendukung pemuasan hasrat sifat terkeji dari manusia?. Keponggahan yang akhirnya mungkin hancur dalam kekuasaan Sang Maha Kuasa, atau malah menelan sang pelaku rasisme itu sendiri. Karma berbicara.

Dalam wujud skala yang lebih global, contoh terpenting, misalnya adalah anggapan dimana Barat harus terus berkuasa sebagai yang dipertuan agung dalam konteks politik, sosial dan ekonomi, sedangkan wilayah Asia (Timur), Amerika Latin dan Afrika wajib tunduk sebagai subordinatnya. Dan polah arogan Amerika yang merasa harus terus unggul dan menguasai seluruh pojok bumi dengan kekuatan militer dan pengaruh dolarnya yang disiapkan setiap saat untuk menopang hegemoni imperialistiknya itu.

Secara sadar, rasisme memang lahir dalam wilayah yang dikategorikan heterogen sebenarnya, memang terkait dan saling berbenturan antara kepentingan yang muncul bahwa konflik masih terjadi dalam menuangkan kepentingan ideologi, dimana memang kita masih mengalami tekanan ideologi dari muatan media yang dicitrakan untuk membentuk superioritas kaum penguasa golongan kapital, yang kebetulan dalam hal ini adalah barat.

Rasanya masih sanggupkah kita menghitung untuk berapa lama lagi bumi ini harus diracuni dengan cara-cara sangat brutal ini?

Image hosted by Photobucket.com Manusia diciptakan dalam perbedaan yang seharusnya bisa saling melengkapi. Bahkan hidup manusia secara fisik sudah dilengkapi oleh rasa dan moralitas. Apalagi cita rasa. Cita Rasa kemudian menjadi suatu logika pembeda yang terpenting antara binatang dan manusia. Bagaimana perilaku masinal dan instingtif dibedakan dalam menjalani kebutuhan untuk hidup yang akhirnya berakhir dalam kepentingan batiniah. Sayangnya selalu ada kebutuhan untuk menguasai wujud lain dan kepentingan kelompok yang telah berubah menjadi upaya menegakkan hegemoni kemanusiaan, peradaban lewat perang dan jalan menghancurkan sesuatu yang menjadi ancaman.

Prasangka buruk atas suatu identitas kebangsaan (rasis) memang belum sepenuhnya lenyap. Prasangka itu masih ada terutama saat ini. Rasanya hanya keteguhan hati dan solidaritas sesama yang akan menghilangkan perilaku prasangka buruk ini,dengan integrasi dan kesadaran akan perdamaian rasanya bukan mustahil, perilaku biadab ini bisa perlahan dihilangkan. Manusia sebenarnya tidak ada yang berbeda, perilaku genetik mereka semua identik dalam DNA. Rasanya kita masih ada harapan untuk melakukannya, bukannya malah menambah-nambah pentas sejarah manusia yang memang sudah selalu diwarnai dengan darah dan pertikaian dalam menyokong peradaban di masanya.

link : klik disini