Friday, July 29, 2005

Katanya sih, Selamat Datang di Dunia Maya

Image hosted by Photobucket.com

Jikalau saya dianggap menebarkan isu sepihak tentang pertanyaan mendasar hubungan dunia nyata dan realita semu, itu bukan tambahan dari masukan buat tulisan pengantar pameran saya. Jujur saja saya sering terkaget kaget akan kurasi sebuah karya pada pameran-pameran seni rupa tertentu dan tulisan pengantarnya yang biasanya tidak akan terbayangkan oleh senimannya sendiri dan juga saya nantinya. Selanjutnya saya hanya bisa pasrah dan membeo. Toh, mereka adalah pembangun jembatan kepada ‘audiens’ awam, saya mempercayai mereka sama seperti halnya mereka mempercayai saya.

Dunia nyata dalam konsep dinamika hidup adalah mencari penghidupan yang layak dengan mengikuti sebuah sistem besar. Dunia nyata adalah ketika kita bersentuhan dengan sesuatu yang tak jelas dan larut dalam identitas tunggal yang diyakini lebih menarik dibandingkan aselinya. Bukan dunia tipu daya, toh walau banyak yang menggunakan dunia maya sebagai ajang kontes buaya, secara tak sadar realita dalam layer kaca ini memang lebih riil dan memukau dibandingkan kenyataanya.

Ruang yang telah dibangun, adalah ruang Cyber. Sebuah koneksi elektronis terhadap jaringan dunia dan lingkup informasi global yang amat sangat tidak membutuhkan jangka waktu.

Sebelumnya saya sudah menganggap hal ini sebagai realita ketidak-adaan yang gamang. Karena batasan yang penting dari sebuah dunia ditentukan oleh pijakan realita dan apa yang dilihatnya berdasarkan panca indra dalam tubuh itu sendiri Sayangnya, ini bukan takdir tapi ini pembentukan rasanya, kita sudah dihadapkan pada sebuah teknologi yang bernama penyaji ilusi dan realita dalam teknologi yang mampu melakukan proses pembekuan waktu. Selamat datang di dunia maya, ketika seseorang melakukan aktifitas mimpi, nyata dalam ketidakadaannya dalam wahana cyberspace.

Dunia Maya, bagi beberapa orang, skema ini adalah penegasan dari suatu kasus dimana realitas yang ‘nyata’ ini sebagai bagian dari jaringan interkoneksi global dari sebuah layar monitor kaca dan perangkat keras elektronik komputer, dengan mouse sebagai pengganti jari jemari untuk bersentuhan langsung kepada subjek, yang dilingkupi ketiadaan secara fisik. Dengan berarti dunia nyata versi ini adalah ketidakadaaan yang disiapkan untuk menjadi ada namun nyata dibenak kita. Sampai kemudian keseharian ini dibentuk dengan realita sebuan televisi sebagai jendela mata informasi bertadah racun menembus jiwa. Sialnya, kita saat ini dikondisikan lebih mempercayai status kenyataan di layar kaca dibandingkan apa yang kita rasakan dan baca. Opini adalah nomor kesekian untuk disandingkan dengan realita. Kenyataan adalah perbandingan dengan apa yang kita rasakan dan camkan sebagai individu yang menerima sensasi berita. Sensasi dalam urusan manusiawi, ketidak berdayaan dalam menggelontorkan materi. Pahit dan menelan air liur. Informasi saat ini menelurkan sikap perbandingan dan potensi waktu untuk bercermin terhadap kenyataan. Realita yang eklektis tentang tempat, suatu berita dan waktu, serta budaya. Tengok betapa luar biasanya nilai transfer seorang pemain Liga Seri A Italia ke dalam sebuah klub Liga Inggris yang mungkin sanggup membiayai jatah alokasi pendidikan nasional di negeri ini. Tengok perbandingan sebuah eksekusi pernikahan selebritis luar negeri dengan kasus peceraian selebriti lokal dan pembagian harta gono gini mereka di dalam berita-berita negeri sendiri. Dan aktifitas sexual dan masturbasi yang tercipta amat sangat menarik secara interaktif didalam ruang maya atau cyberspace ini jauh dibandingkan membeli majalah Playboy yang diam-diam ditawarkan di deretan Penjual buku bekas di Cikapundung, Bandung. Perbandingan adalah sesuatu yang wajar, namun itulah efek buruk realita yang menghasilkan bukti, bahwa manusia modern ikut andil dalam menciptakan erosi rasa dan empati terhadap sesama. Dengan menciptakan kelas- kelas tertentu. Dalam hal ini Karl Marx bisa jadi tersenyum getir atas apa yang dia ramalkan. Hiperealitas menciptakan ruang, dan cyberspace adalah ruang yang ikut melaksanakan pertanggung jawaban baru atas cipta rasa dan karsa luar biasa ponggah ini. Tapi kelas bisa jadi menghilang sebelum perbenturan dengan kenyataan menghasilkan pemahaman hidup baru.

Identitas dan diri sendiri terbentuk atas penyikapan terhadap suatu masa. Dan masa itu adalah masa runtutan informasi dari suatu keadaan dalam ketidaknyataan. Kamu adalah apa yang kamu baca, dengarkan, ikuti, makan, pakai dan tonton. Kamu juga apa yang kamu ketik dan klik. Kamu juga apa yang kamu lihat dan perkarakan untuk kemudian kamu rasakan ini sebagai masanya. Kamu ( kok kamu lagi sih) adalah apa yang kamu lakukan sekarang.

Cukup dengan kamu, dunia nyata dan dunia maya telah dihilangkan dalam batasan yang sangat tidak jelas. Hidup dengan rambu dan media, serta etika. Dunia punya etika dan regulasi , baik nyata atau tidak. Dunia nyata mungkin jelas. Dunia maya? Mungkin punya , tapi apa? Untuk itu dengan apa kita bisa mengontrolnya?

Dunia maya, internet, informasi global, isi layar kaca, bahkan hiperealitas di televisi adalah ‘senjata’ yang ramah dan juga sangat kejam.Gabungan antara kesemuanya menciptakan padanan masyarakat dengan pemahaman inetelektualitas tinggi dan juga menjerumuskan kearah degradasi moral.

5 tahun lagi semoga Internet masuk desa.

Thursday, July 28, 2005

Katanya sih, Selamat Datang di Dunia Nyata

Image hosted by Photobucket.com

Sebuah kalimat yang saya agak enggan menyebutkan ini sebagai stigma sebenarnya akan dunia nyata. Ini sesuatu yang kerap diucapkan ketika seseorang siap menempuh langkah selanjutnya, selepas menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi. Untuk kemudian langsung masuk kedalam lingkungan dunia kerja (untuk mencari nafkah), kehidupan yang sebenar-benarnya dari tatanan masyarakat ideal yang terdiri dari berbagai lapisan golongan dan untuk kemudian saling berinteraksi dalam menghasilkan dinamika kehidupan atas nama kecurangan, serangan media, kekejaman atas sesama, tipu daya, licik dan saling sikut dalam faham akan cara menjilat golongan atas dan memaknai kehidupan positif dalam lingkaran pekerjaan yang ramah dan dimanja dan tenang dalam aura dingin industri laksana budak tak berkesudahan. Hidup nyata yang amat sangat tak ramah sebenarnya. Tapi ini memang kehidupan nyata, sejauh mana sesorang berubah menjadi bajingan dan sampai sejauh mana sesorang tetap bertahan tanpa tergoda gemerlap duniawi. Dan kemudian ada pula yang tak tahan atas kejamnya dunia, dan memilih mengucapkan selamat tinggal kehidupan dengan cara yang aman, murah dan hemat.

Dunia nyata adalah bayangan dari wujud realita, bersentuhan, saling memaknai dan berkomunikasi dan hidup selaku manusia sosial. Sesuatu yang baik dan teratur. Namun selalu menjadi pertanyaan: Kenapa kemudian kita mengiyakan hal ini dengan kemauan hidup penuh cobaan, keharusan untuk bekerja dan situasi yang keras dan penuh persaingan?. Hal ini malah lebih nyata dan terbukti dibandingkan realita yang ada akan prinsip utopia hidup nyaman dan sejahtera. Realita saling berbagi yang diwadahi sebuah tempat, sesuatu yang hilang hingga kini. Kebersamaan yang hilang dan digantikan dalam kebersamaan saling menguntungkan dalam satu kelompok antara diri sendiri dan kelompok lainnya. Keterkaitan itu pula yang menyediakan wahana saling bertikai antara sesama. Suatu kondisi yang menceburkan diri kita sendiri dengan sukarela dan terpaksa sekalipun, sosok manusia modern yang diciptakan untuk menghasilkan sesuatu, keuntungan, pamrih dan sebagainya. Suatu alasan yang dibenarkan dalam penciptaan manusia modern. Jika ini bisa disebut sebagai suatu ‘keharusan’. Ini bukan anugrah, ini bukan suatu cara, tapi memang inilah tempaan hidup yang harus membuat sesorang sedemikian kuat, seseorang pernah bilang manakala koleganya mengalami cobaan berat, yakni berkata ;“…mungkin yang di Atas punya rencana lain terhadap hidup ini…”. Suatu penghiburan yang membesarkan hati, dan juga menjadi bahan pertanyaan atas rencana apa yang hendak diungkap nantinya. Jika kuat menjalaninya , membuat kehidupan menjadi menarik untuk diperbandingkan dengan sebuah kotak ajaib yang isinya bisa apa saja dengan tujuan akhir sebuah kesejahteraan.

Perlawanan terhadap bentuk hidup dan apapun kemudian menghasilkan spora yang kerap sama dengan apa yang dilawannya, keseimbangan yang kemudian menjadi penting. Untuk kemudian yang mapan tergusur dengan yang lebih muda dan lebih berpotensi. Regenerasi selalu ada dan terus berjalan Dengan alasan apapun, saya rasa, kita mampu menghasilkan sesuatu dalam proses keseimbangannya itu. Sesuatu yang memaknai perlawanan berikutnya atas hal itu.

Untuk kemudian kita menjadi sosok siap pakai.

Siap dipakai ? Apa yang kita bawa sebagai sosok siap pakai? Dipakai oleh siapa? Dipakai oleh system (Industri) sampai hidup ini sudah tak berarti?. Menyerah pada sistem berarti mendekatkan diri kepada kontinyuitas akan lingkaran setan, hidup dipaksa sampai limit terakhir dimana kita mampu menyelesaikan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri dan orang lain.

Kita hidup harus bekerja, sampai mati, rasanya. Setidaknya disela-sela hal itu, kita bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berarti bagi hidup, bisa saja memuntahkan amarah dan saling berbagi empati akan rasa dan nasib ditengah arus, suatu ‘keharusan’ zaman ini. Hidup dengan tujuan (menye menye gini :P).

Monday, July 25, 2005

Warning Idea (4 - 15 Agustus 2005)

Image hosted by Photobucket.com

Fiuh ..., akhirnya karya-karya saya dipamerkan dalam momen resmi, dengan tajuk:

Warning Idea
4 Agustus - 15 Agustus 2005
berlokasi di :
btw
Jl. Sunda No.39A Bandung
Artist Talk/Pembukaan: 4 Agustus 2005 - pk. 18.30 WIB

Untuk katalog, poster dan undangan dikerjakan secara terbatas, jika datang pada pembukaan akan mendapatkan katalog karya pameran secara gratis. Pameran ini dikuratori oleh Jajang Supriyadi, penulis dan seorang perupa. Pengantar katalog ditulis oleh sang Project Manager, Beni Sasmito.

Berikut cuplikan pengantar pameran:

“Membawa Visual, Mempertanyakan Jejaknya‘

Apakah rutinitas kehadiran manusia dalam dunia maya meninggalkan jejaknya pada kehidupan dunia nyata ? Apakah dunia maya yang terus – menerus dimasuki dalam pergumulan yang teramat intim menjadikannya candu yang mengendap pada realitas nyata. Adakah kerinduan untuk terus mengembara dalam kisah tak berakhir yang maya itu hadir disaat bangun dari tidur ? Bisakah berhenti untuk tidak melangkah lebih jauh didalamnya ? Adakah cara untuk kembali berkata bahwa kita tak memerlukan semua itu ? Itukah makanya dunia itu disebut dunia maya dimana kehadirannya juga diiringi dengan ketiadaannya ?

Kali ini btw, di gedung zone # 39, menyisakan cerita yang terpenggal dan tertinggal melalui rekaman material yang diperbincangkan sebagai seni. Beberapa karya Yudi, seniman yang berpameran kali ini dihadirkan dalam bentuk neon box, layar video dalam box dan print out, di display dalam beberapa ruangan gedung zone # 39. Semua karya membawa sejumlah pertanyaan yang tertuliskan pada kalimat – kalimat diatas.

Pameran Yudi kali ini menawarkan berbagai kemungkinan yang dapat dipahami sebagai “akibat adanya hubungan lebih lanjut antara realitas yang nyata dan yang maya”. Penggalan realitas dalam seni ini menjadi mungkin disusun dengan kesadaran seorang penutur yang mencoba mengatasi masalah kegagapannya dalam ‘mencerna’ dunia maya.

Untuk menguraikan beberapa hal yang membuat tuturan tersebut menjadi lebih mungkin untuk dipahami, pada pameran ini dihadirkan tulisan Jajang Supriayadi yang mengantarkan pemahaman kita pada fase terawal dari fase panjang yang tak terwadahi

Selamat mengembara semoga tidak tersesat sampai ditujuan !

Beni Sasmito
pm btw 22/07/05

--------------------------------------------------------------
Cukup copy paste saja untuk memberitahukan yang lain :)

Friday, July 22, 2005

Menjadi Fans Kultural yang Baik

Menjadi seorang yang saya sebut sebagai Fans kultur, bukan dosa tapi takdir yang sudah dikutuk. Kesadaran sosial penting, tapi bukan jadi nasionalis, cuma kita sadar dimana kita berpijak. Itulah mengapa kita lebih hafal nama brand barang dibandingkan nama pahlawan nasional negara kita sendiri, bahkan upaya hidup hedon lebih menarik perhatian kita tanpa sadar dibandingkan melongok anak-anak miskin putus sekolah. Dan sekali lagi atas nama fatwa, kekerasan bisa dilegalkan. Sekali lagi, itu bukan dosa tapi kutukan takdir.

Darah manusia tercampur oleh hasrat materi. Mitos dan Logos, bahwa keyakinan adalah citra sejati dari wilayah berpikir manusia hingga kini.

Apakah ini yang disebut upaya jaman ?, bukan ikut menelisik pemikiran sepaham, ternyata kegelisahan pun larut dalam upaya mendedahkan sesuatu keadaan yang lebih baik. Itulah dimensi masa kini, bukan sekedar upaya melongok pembaharuan masa lalu sebagai warisan ideologis yang teramat penting untuk dipelajari. Runutan sejarah sebagai ikon yang sekedar di ingat. Hal sekarang adalah membicarakan periode dari yang disebut era pembaharu. Sesuatu yang menapaki jejak dalam perkembangan jaman, bisa jadi sebuah wacana yang kerap disebut sebagi wacana menembus batas, eskalasi penting dari Ambient Media (gaya hidup, media dan budaya), penikmat segala pengaruh untuk lebih faham apa yang akan dihasilkan. Toh, saya rasa kita bertarung dalam wujud ambigu, sesuatu yang meliputi apapun, untuk membentuk diri kita sendiri. Diri sendiri yang sudah tak jelas asal usulnya.

Dengan ini saya bersimpuh dan memohon untuk bukan menjadi plagiat sejati. Menjadi sesuatu yang gamang dan erat dengan perkembangan dan siklus penting dari realita dalam perjejalan dan pemiuhan makna industri. Bukan menjadi tukang poles sejati dengan cermin. Cermin merupakan bayangan nyata sebuah refleksi realita, kecuali drakula, drakula yang bercermin.

Drakula yang dungu tepatnya.

Thursday, July 21, 2005

Ziggy Stardust and the Spiders from Mars

...This is Ground Control to Major Tom
You've really made the grade...


Sepenggal lirik dari sebuah lagu lawas, Space Oddity 1972), yang berkisah tentang perjalanan seorang astronot bernama Major Tom, yang tersesat diluar angkasa, yang dikarang oleh seorang musisi rock ternama, flamboyan dan eksentrik.

Dia bernama David Bowie.

Lagu ini bisa jadi sebuah cikal bakal atau proto secara musikal dan sound dari sebuah genre minor; Space Rock(!), selain Pink Floyd, yang kemudian akan mengilhami sejumlah musisi dekade '80 dan '90, seperti The Buggles, Devo, sampai kemudian Babyloon Zoo, Monster Magnet, Sun Dial hingga Radiohead di era sekarang. Itupun masih terlihat dengan banyaknya rocker yang mengidolakan sisi dandanan androgini seperti Placebo, Suede dan lainnya. Termasuk pula kelahiran scene Glam Rock dengan dandanan yang memang glamour, lirik kelam dan absurd serta kultus drugs yang mengorientasikan kehidupan seks liar, setipe dengan band-band seperti T-Rex, New York Dolls dan bahkan sampai saat ini, kepada The Darkness.

Dengan masa lalu yang cukup fenomenal, dandanan yang diibaratkan sebagai mahkluk asing dengan dandanan dari luar angkasa, kombinasi musik rock mengambang dan jenis kelamin ganda prediksi gaya banci plus tingkah laku kemayu sampai masalah biseksualitas dan penggunaan drugs. Untungnya dia masih bertahan hingga kini dan mengeluarkan lagu yang cukup melegenda hingga kini. Sebenarnya masih banyak hits yang telah dihasilkan oleh bapak yang satu ini, mulai dari Space Oddity, The Man Who Sold the World, Heroes, China Girl, Starman, Young Americans, All the Young Dudes dan masih berjibun pula album-albumnya seperti Hunky Dorry, The Buddha of Suburbia, Super Creep dan masih banyak lagi.

Image hosted by Photobucket.com

Mungkin dulu saya tak begitu menyimak perjalanan musikal seorang pelopor kostum androgini yang banyak menginspirasikan suatu perkembangan fashion hingga kini. Setelah saya cukup telat untuk menonton “Velvet Goldmine (1998)”, sebuah film lawas yang terinspirasi dan menginteprestasikan sosok lain dari David Bowie dan Iggy Pop dalam karakter yang fiktif, maka saya berkesimpulan; hingga kini orang ini masih berkarya tanpa mau peduli disebut sebagai artefak hidup Glam Rock (?). Dari era Glam Rock di Inggris awal 70-an hingga, perputaran beat New Wave yang mewabah di dekade 80-an (periode yang mana agak malas untuk dibahas dari segi fashion dan gaya rambut) dan terus melaju era 90-an disaat deru musik kombinasi Jazz, Hip hop, pop, rock dan elektrik dan kembali muncul pada dekade retrospektif dan kontemporer di tahun 2000-an.

Mungkin yang paling menarik adalah ketika dirinya adalah seorang aktor yang telah membintangi banyak film. Salah satunya yang cukup menarik adalah ketika berperan sebagai Andy Warhol, dalam film Basquiat (1996), garapan Julian Schnabel, dimana berkisah tentang karier tragis Jean Michael Basquiat, seorang seniman pop keturunan Afro-America.

Mukanya itu loh, tak pernah terlihat seperti usianya yang hampir kepala enam.

Friday, July 15, 2005

Yue Minjun

Saya sampai kini selalu meyakini bahwa kondisi sosial yang berjalan dalam tekanan dan pengekangan terkadang menghasilkan suatu letupan pemberontakan dalam ranah wilayah kreativitas yang amat menarik. Berbeda halnya dengan situasi dan kondisi yang mengalami keteraturan dan tingkat kelayakan yang tinggi, hal tersebut malah mengekang pola kreatif untuk terus bergulir dalam kandang, alias stagnan. Demikian, sejawat kita yang ada di negara-negara yang tertutup, susahnya akses komunikasi dan orientasi politik yang keras, alhasil mereka malah mencuatkan beberapa nama dan menghasilkan seniman-seniman (negara timur jauh) jempolan yang kerap mengedepankan hal-hal tematis dan realistik. Tengok saja bagaimana kebangkitan kancah seni rupa Vietnam, Filipina, Cina dan negara-negara lainnya.

Image hosted by Photobucket.com
Forbidden City, Oil On Canvas, 220x280 cm, 1998

Hal itu yang saya lihat pada karya karya seniman Cina yang cukup terkenal saat ini, Yue Minjun (b.1962). Keterbukaan atas konsep dan pemahaman diri sebagai generasi yang muncul setelah kebebasan ekspresi yang diperjuangkan di tahun 1989, di Cina, yang terkenal dengan tragedi Lapangan Merah tersebut, malah menghasilkan keterhubungan gerakan avant-garde dalam seni lukis. Untuk kemudian muncul pertama kalinya pameran seni kontemporer dan korelasinya dengan realisme sosial saat itu yang menghubungkan konteks politis atas kesadaran akan hilangnya idealisme generasi muda ditunjang situasi gonjang-ganjing di negerinya saat itu. Hingga kini, kondisi Cina sendiri malah menunjukkan kemajuan luar biasa, dalam segala sektor yang selalu menunjukkan sisi ironis, bahwa di dalam kemajuan pesat dibidang ekonominya tersebut, terdapat pula kondisi bobrok dalam lingkup ekonomi masyarakat kebanyakan. Terciptalah jurang sosial yang sedemikian besar, mencakup keprihatinan akan serbuan budaya, pengaruh barat, timpangnya pemahaman akan rasa nyaman secara ekonomi yang melandasi kehilangan pegangan diri sebagai seorang warga cina dan lainnya. Pendek kata, sesuatu yang menjadi representasi dari keadaan lingkungannya (sosial dan negaranya) merupakan pola ideal bagi Yue Minjun untuk menuangkan karyanya.

Image hosted by Photobucket.com
The Last 5000 Years, Resin, keramik-Instalasi, 2000

Dia sendiri menyebut aliran dan gaya yang dipajang dalam lukisannya, sebagai Cynical Realism. Mentertawakan diri sendiri dan memposisikan sebagai objek penderita. Objek satir dengan wujud yang digambarkan secara over, malah memunculkan pemahaman atas objek penderita. Dalam hal ini, kritik yang mencuat adalah pola pemahaman objek sebagai simbol apapun. Figur apapun, dilabrak dalam tema ini dan sejujurnya tema ini bukan hal yang menarik (karena telah banyak diadaptasi dari dahulu semenjak perkembangan sosial realisme di Barat) jika Minjun bukan berasal dari Cina, atau negara-negara Asia lainnya. Hal ini yang menjadi daya tarik akan permasalahan tema dan penyentuhan masalah dalam menunjang Cina diperhitungkan dalam peta wilayah seni rupa modern.

Image hosted by Photobucket.com
Red No.3, Oil On Canvas, 2000

Melihat karyanya, baik 3 dimensional dan lukisan, pada awalnya bertabiat untuk mengedepankan kelucuan (yang tak lucu), karena mungkin dia terinspirasi oleh cover buku-buku (maunya lucu) “Mati Ketawa ala (blablabla)”, yang versi Cina. Tertawa terbahak-bahak sampai memerah. Mungkin lama kelamaan jadi objek yang muncul terkesan sinis, getir dan takut. Dengan dimensi karya raksasa, sejauh ini parodi yang sinis ini berhasil menembus pemahaman baru akan wilayah tematik yang lebih dalam, dibanding selaput klasifikasi kontemporer belaka.

Tuesday, July 12, 2005

X & Y (2005)

Image hosted by Photobucket.com

Ada dua lagu bagus dalam album ketiga mereka ini, yakni, Speed of Sound dan Fix You. Sedangkan lagu lainnya? Ya .. keren !. Untuk rating di amazon.com yang bilang mereka telah gagal mencapai pembuktian ulang, rasanya agak mentah.

Band ini bagus, walau title lagu sejuta umat, yakni “In My Places" terkadang mengganggu saya, tetap saja konsistensi mereka terhadap persoalan selalu menimbulkan kekaguman. Saya selalu teringat lirik pada lagu-lagunya yang bagi saya lebih dari sekedar lagu untuk berdendang. Perenungan tentang self-existence. Selalu dibalut dengan metafora simbolik yang cerdas. Semenjak melihat video klip “Yellow” di album “Parachutes”, sebagai awal yang sangat unik sampai lagu-lagu mereka dalam album keduanya,”A Rush of Blood to the Head”, kecenderungan mellow dengan attitude dalam lirik yang ternyata sangat rock n roll, rasanya. Inilah yang membedakan mereka, optimasi rock yang membedakan dalam semangat perenungan dan kemandirian dalam ide musikal jauh dibanding sekedar nuansa klise faktor drugs dan rock n roll.

Image hosted by Photobucket.com

Nuansa lirikal muram dan perhatian akan kesedihan dalam balutan sound yang catchy, bahkan megah dan optimis. Ini mungkin bukan konsep baru sebenarnya, Catatonia, Bjork, Portishead, Talking Head dan lainnya telah lebih dulu memaknai hal ini, sebagai konsep akan dualitas tema. Walau pengaruh sana-sini sudah terdengar, mulai dari kwartet jaman dahulu geng robot wanna-be, Kraftwerk sampai sound ala Radiohead dan Blondie pun dan ternyata misi bernyanyi sambil bermain gitar akustik masih saja diemban.

Mungkin jarang sekali sebuah band yang komersil dengan penjualan album di dua album sebelumnya mencapai angka jutaan keping, untuk tetap menarik perhatian publik dengan bobot talenta konsep yang cukup dalam. Disaat band lain yang mengusung haluan keras secara politis, berteriak dengan lantang dan tegas tentang hak asasi, maka Coldplay secara sadar dengan mengutamakan konsep metafora objek lebih menyuarakan keprihatinan terhadap bentuk ketimpangan ekonomi negara maju terhadap negara-negara dunia ketiga dalam perdagangan bebas di dunia saat ini.

Untuk saat ini, rasanya album mereka dengan tajuk “X and Y”(2005), cukup menguras perhatian saya. Komposisi lagu dengan ciri khas nuansa sedih mengambang dan sound yang ternyata bisa megah, malah kemudian punya nilai lebih bagi koleksi rekaman saya.

klik ini: +++

Friday, July 08, 2005

Thich Quang Duc

Image hosted by Photobucket.com

Komitmen sampai mati.

Gambar yang dipampangkan di halaman ini adalah sebuah gambar yang sempat menarik perhatian saya ketika tahun 1992, membeli sebuah rekaman kaset dari band yang saat itu belum saya kenal dengan baik. Rage Against the Machine, beberapa saat kemudian saya akhirnya mengenal mereka lewat lirik dan ideologi musik sebagai sebuah band yang berhaluan politik keras, dengan selalu mengumandangkan isu-isu politis membela kaum minoritas latin, kulit hitam dan kulit berwarna lainnya dan memperjuangkan pembebasan tokoh-tokoh perlawanan seperti Leonard Peltier, Mumia Abu-Jamal dan lainnya.

Gambar yang terkenal ini, merupakan sebuah foto yang menampilkan seorang biksu Budha yang melakukan self-immolation, yang bernama Thich Quang Duc. Thich Quang Duc (1897-1963), melakukan aksi pembakaran diri sebagai protes terhadap terhadap kebijakan keras perdana menteri Vietnam saat itu di tahun 1963, Ngô Đình Diệm, yang melakukan kegiatan penekanan atau pembatasan yang sangat keras terhadap aktifitas keagamaan. Sebagai salah satu corong awal kebijakan sosialis di Vietnam, yang disokong oleh Komunis Cina Daratan.

Image hosted by Photobucket.com

Percaya atau tidak, menurut seorang saksi mata, Thich Quang Duc, dalam melakukan aksi bakar diri ini tidak melakukan pergerakan tubuh sedikitpun, bersuarapun tidak. Dirinya hanya memejamkan mata untuk kemudian diam dan dengan tenang api menjalar, menghanguskan kepala, merontokkan kulit, aroma daging terbakar dan menghanguskan tubuhnya perlahan-lahan hingga hanya kerangka dan abu hasil bekas pembakaran tubuhnya.

Komitmen sampai mati, itulah seperti yang kita saksikan beberapa dekade kemudian dalam beberapa kejadian yang tragis. Apakah kemudian hal ini menginspirasi beberapa kejadian yang mirip ?, Norman Morrison, Roger Allen LaPorte, George Winne Jr. melakukan aksi self- immolation untuk memprotes kebijakan pemerintah Amerika dalam perang Vietnam di tahun 1966-an juga .Termasuk kejadian di lapangan Tiananmen yang cukup terkenal itu.

Ekstremisitas dalam keyakinan.

Sedia mati untuk menjalankan keteguhan hati dan prinsipnya. Manusia memang memiliki keyakinan luar biasa dengan pandangan yang cukup hebat. Hanya sangat sedikit sekali dari sekian milyar penduduk di muka bumi ini, yang berani untuk melakukannya. Pilihan gila yang cukup sulit, ini menjadi bukan contoh yang baik tapi sebuah renungan.

Thursday, July 07, 2005

SANATOGEN

Image hosted by Photobucket.com

Saya kurang faham , adakalanya referensi visual dengan peraga yang didapat biasanya promosi murahan obat kuat di pinggir jalan oleh tukang obat keliling. Sanatogen, mengena pada masalah hubungan keluarga. Iklan yang baik-baik, memang jelas dan mengena pada maksudnya tentang obat kuat. Bukan referensi yang didapat dari lambang kejantanan pria dengan badan tegap dan kumis melintang, seperti iklan murah dasawarsa 70-an. Sayang , secara visual iklan ini pastilah amat tak mengenakkan dalam menyinggung masalah pemposisian gender.

Menurutnya, perkawinan yang baik adalah perkawinan yang didukung oleh stamina yang sehat dalam menunaikan tugas suami istri. Sudah jelas, obat kuat memang untuk stamina, urusan dua paragraf kebawah rasanya sih sudah tambahan belaka, maklum jaman dulu. Seperti yang tercantum dalam gambar iklan obat kuat yang satu ini. Sebuah iklan yang entah dipublikasikan pada tahun berapa, saya juga tak tahu, tetapi ada yang menarik dalam iklan ini, segalanya diwilayahkan dalam kode simbolik yang halus dengan menohok langsung ke dalam terminologi tentang pernikahan, di mana masa itu dan (sampai sekarang pun) pernikahan merupakan urusan dalam level yang cukup tinggi tentang kebersamaan dua insan dalam lingkup adat, agama dan harkat individu masyarakat. Mungkin memang sekarang sudah berbeda pandangan seperti itu, upaya-upaya untuk merevitalisasikan konsep masyarakat modern udah tergeser jauh oleh budaya percampuran saat ini.

Omong-omong, Sanatogen masih ada gak ya ?

Tuesday, July 05, 2005

Alex Ross

Image hosted by Photobucket.com

Komikus, Illustrator Artist dan jagoan cat air yang satu ini memang lekat dengan karyanya tentang bagaimana menggambarkan sosok superman (dengan gagah dan dramatisir suasana) yang paling terkenal hingga saat ini. Kemudian untuk urusan ilustrasi dari sosok-sosok superhero dalam komik Marvel dan DC, rasanya nama yang satu ini sudah umum dikenal dan dikagumi oleh para maniak komik akan kualitas visual yang dihasilkannya. Ross, menginterprestasikan figur-figur superhero dalam komik yang di lukis olehnya mendadak jadi seperi orang biasa yang dikaruniai kekuatan maha dahsyat dan memang terbungkus dalam kostum superhero.

Image hosted by Photobucket.com

Ross, dalam melukis dan membuat sketsa tentang superhero yang akan digambarnya, selalu menggunakan model yang didandani seperti superhero yang akan dilukisnya. Pemilihan karakter yang bikin pusing, penumpukan karakter dalam satu gambar besar yang terdiri dari puluhan tokoh, dan yang ini lebih gila, sudut pandang yang diambil terkadang mencengangkan. Tak heran dengan proses yang njelimet seperti ini, karya karya Ross sangat bagus dan tidak begitu banyak, karya-karyanya biasanya jadi salah satu ilustrasi yang sentral untuk halaman tengah atau bagian bagian eksklusif yang dikarenakan produktifitasnya tidak segencar dan secepat dalam membuat komik.

Image hosted by Photobucket.com

Untuk urusan membuat visual yang manusiawi dari sosok-sosok superhero, Ross memang jagonya. Tapi kalau urusan cerita, Ross tidak termasuk dalam hitungan. Walau masih banyak komikus dan drawing artist yang memang intens dalam membuatnya dan dengan ciri khas masing-masing, tipikal dan ciri khas Ross yang skill dan efek-efek dramatis dengan cahaya sorot dari bawah atau samping membuat kita tidak mudah melupakan betapa 'berlebihan' sekali Ross dan karyanya.

Image hosted by Photobucket.com

Ross, membuat para superhero imajinasi tersebut 'hidup' dan terkesan 'Amerika' banget, rasanya tiada tempat untuk postur selain manusia atau superhero yang tegap, gagah, cantik, dan tampan hehehehe.

cek ini deh : ++++++

Friday, July 01, 2005

Ocean Sebelas

Saya mungkin tidak terlalu mendalami tentang pemahaman sebuah film yang dibikin ulang (remake) dan sampai sejauh mana kerja keras integrasi kesemua unsur dalam sebuah film dinilai.

Saya cuma sekedar menampilkan kedua buah poster berbeda usia yang masih berasal dari film yang sama, yakni 'Ocean 11'. Film daur ulang selalu menarik untuk disimak.

Image hosted by Photobucket.com
OCEAN ELEVEN (1960)

Untuk menyukai film ini, tapi bukan berarti saya harus mengerti referensi dan asal usul film pertama ini dibuat. Sama saja seperti yang lainnya, saya sekedar penikmat film biasa yang tak sedih untuk menikmati ketika awal dan akhir dari Star Wars III; Revenge Of The Sith terkuak, atau juga betapa mumetnya memahami film-film Kubrick atau Antonioni. Saya sekedar senang mengumpulkan sesuatu yang merupakan komplementer sebuah karya motion picture ini. Kembali pada masalah poster, untuk film pertama, Ocean Eleven (1960) yang dibintangi oleh bintang-bintang beken Hollywood di masa itu, Frank Sinatra , Sammy Davis Jr., Dean Martin dan lainnya, bagi saya justru ini merupakan sebuah nilai lebih dalam dari sebuah film lawas yang akhirnya menjadi referensi. Ketika dibuat ulang pun, rasanya memang tak perlu butuh perwujudan yang baru, kecuali gaya.

Image hosted by Photobucket.com
OCEAN ELEVEN (2001)

Sedang untuk poster film keduanya, Ocean 11 (2001), yang dibintangi oleh bintang masa kini, George Clooney, Brad Pitt dan Julia Roberts. Bagi saya, kerangka cerita dari film versi lamanya yang kuat telah mengurung ide dan konsep visual untuk penyajian visual poster film yang versi sekarangnya. Toh memang tujuannya itu, tapi selalu bagi saya ada (subjektif banget)kesempatan untuk mendaur ulang sebuah konsep dengan visual yang berbeda, seharusnya.

Namun jujur saja, ini film bagus, tapi entah kenapa saya malah enggan untuk memasukkan film sekuelnya ‘Ocean 12 (2004)’. Rada maksa kayaknya :P. Walau lumayan juga.

Klik di sini dan di sini deh.