Monday, February 20, 2006

Antara Seni melawan Keras Kepala

Salah satu dari aksi yang ramai belakangan ini di beberapa kota besar di Indonesia selain kontroversi karikatur bodoh itu adalah:

Aksi melawan pornografi dan porno-aksi yang katanya merupakan teror kedua dalam urusan kebersamaan dan ketentraman masyarakat beragama yang (katanya lagi) beradab dan berbudaya ketimuran.

Arus informasi dalam perjalanannya akan tetap terus berkembang, sampai mulut kita berbusa-busa pun, kita tetap butuh asupan informasi yang jelas dan maksimal. Arus informasi, merupakan aspek lain yang terdekat dan hidup dalam relung nafas masyarakat perkotaan. Bukan sekedar mendefinisikan konteks informasi perkotaan dalam artian sentralisme urban, masyarakat dalam perkembangan kadar intelektual, memang mau tak mau harus mau dibesarkan oleh informasi. Itulah, mengapa arus informasi yang begitu deras mmampu mengakibatkan lapisan bias yang nyata apakah kekerasan, hiburan, gosip dan politik sampai libido, dan kemudian salah satu acuan yang hendak di berantas: pornografi, kemudian menjadi sajian, hiburan dan ekstase bagi bunga-bunga perjalanan menuju (yang baru mau) nuansa modern di negara ini.

Dan sangatlah biasa arus perubahan tema pengalih beritaan untuk menunjang aksi sosial informasi di negara ini. Setelah isu maraknya demo anti pornografi mungkin anti pembangunan PLT Nuklir, setelah anti PLT nuklir mungkin wabah ulang flu burung yang bermutasi, setelah itu mungkin saja demo anti harga TDL yang semakin aduhai. Saya yakin, beberapa dari kita semua memang sangat terkena dampak akan hal ini, selebihnya kita berpikir lepas dan cenderung cuek bebek dan sibuk melakukan pergerakan lainnya demi menunjang kelangsungan karir dan perut. Sedangkan bagi sebagian lagi merasa berhak menghantam Porno-tittude ini dengan keras, sebagian malah kebalikannya, dengan mengkhawatirkan susahnya nanti distribusi DVD porno terbaru di lingkungan sejawat dan sebagian lagi acuh tak acuh karena itu memang konsekuensi sebuah perjalanan kebebasan kenegaraan dalam konteks yang lebih global.

Rencana mengesahkan cakupan anti pornografi di negara ini adalah kebijakan yang disahkan dalam rencana undang-undang. Kekhawatiran bagi sejumlah kelompok memang dilihat dari adanya upaya mengkebiri habis-habisan kebebasan arus media, campur tangan negara yang terlalu dalam, aparat yang membabi buta menangkap para pengecer koran Kuning, Koran Rakyat sampai tabloid ecek-ecek tersebut, ormas-ormas keagamaan yang merasa berhak menjadi polisi Moral, sampai ( fiuh ..lagi lagi) salah kaprah dalam mengkategorikan nudity sebagai pornografi Apalagi dengan kemasan yang lebih halus dan memang segmentif, Seni, Part of Art. Boro-boro untuk mencoba mendefinisikan pornografi, mereka sendiri malah mematahkan perkembangan untuk mencoba melihat permasalahan tentang batasan, definisi dan lingkup cakupan Pornografi dengan jernih. Semua di babat, apapun ujudnya yang mencoba memamerkan organ vital adalah Pornografi, entah pria, wanita maupun kaum tengah-tengah. Pornoaksi, saya merasa istilah ini tidak tepat, apa yang menjadi batasan dan statemen jika ada sifat yang dilakukan mengarah kepada pornografi? Apakah aksi hubungan seksual suami istri dianggap pornografi pula?. Inilah wajah RUU Pornografi – Porno-aksi dinegara kita yang menganggap kisi-kisi Pornografi sebagai materi mati yang saklek dan tak bernyawa, bukan sesuatu yang terkait dengan kepentingan lain, sudut pandang lain, batin, rasa, selera dan wilayah moril.

Oh ya, saya hampir lupa, Seni (rupa) sebagai gagasan dalam tulisan ini, memang kemudian terlihat menjadi semakin terkekang. Keterbukaan?, saya tidak yakin, jika tematik tentang tubuh manusia yang saat ini semakin terbuka dan menyajikan realita dalam wacana seni makin bebas diumbar dalam proses kekaryaan. Tema seni kembali mundur berpuluh tahun kebelakang, ketika nudity, anthroposentris, anatomi dan segmen realita menjadi sangat tabu untuk diungkap. Pretensi dangkal lain yang hinggaplah yang menjadi acuan polisi-polisi moral dan riil itu sendiri, dalam menentang tematik pornologi ini. Ternyata kekeraskepalaan dalam upaya menegakkan konsep dan haluan memang susah. Seniman memang dituntut keras kepala, bagaimanapun juga itikad konsep dan wujud kekaryaan tidak pernah dibatasi dalam benak sampai kemudian lahir dimensi nyata yang bersentuhan dengan sosial, etika dan norma tradisi ataupun modern yang dihadapinya. Dan untuk kembali bertentangan dengan lingkup sosial yang keras kepala juga. Tentunya kita seharusnya bisa membedakan mana yang lebih berkualitas, kualitas artistik foto tabloid Exotica atau karya Darwis Triadi.

Apa yang salah rasanya dari hal ini? Jelasnya, ini yang terpenting, batasan yang jelas!, rembukan dan mengakomodir kepentingan aspek lain, bukan prinsip kacamata kuda, yang merupakan acuan yang penting dalam menyimak ruang lingkup sesuatu itu menafikan nilai moral, pornografi atau tidak. Negara maju di Luar Negeri (katanya pula) membiarkan acuan hakiki yang menilai porno atau tidaknya suatu produk masyarakat, media, budaya, estetika dan artistik dalam nilai kelayakan masyarakat, bukan undang-undang institusi negara yang membabi buta membabat semua aspek terkait yang nantinya malah akan melahirkan standar ganda. Saya tidak yakin, apakah analogi: membakar lumbung padi yang digerogoti hama tikus, cukup efektif untuk hal ini. Saya hanya mempercayai bahwa Pornografi sebenarnya memang ditujukan untuk segmen dan kalangan dewasa dengan afiliasi dan komoditas industri. Lalu apa gunanya batasan 17 tahun keatas? Hanya batasan yang mengaturnya, bukan institusi.

Keragaman muatan informasi yang dipilih oleh kita adalah hak, kita berhak untuk memilih, kita berhak meniadakan nilai morak, dan kita juga berhak memutuskan informasi mana yang layak. Bukan malah seperti seorang pembeli yang kebingungan dalam toko kelontongan yang hanya di isi oleh satu produk industri, standar pula. Apa layak itu disebut swalayan atau toko kelontongan?. Karagaman bukan keseragaman.

Maju memang membutuhkan keberanian. Negara ini baru saja lahir dalam proses demokrasi yang dibilang telat, dan euforia kebebasan mengakibatkan semua orang merasa berhak mengemukakan pendapat dan melanggar hukum. Lihat saja dalam keseharian, apa sih yang membuat masyarakat sampai saat ini semakin patuh rambu lalu lintas? Sedangkan Aparat sebagai institusi hanya sibuk memproduksi retorika semata. Apa sih yang mengakibatkan beberapa segmentasi generasi muda merasa berhak memberontak dari sistem distribusi fashion, gaya hidup dan intelektualita, pada akhirnya mereka malah sibuk menggali uang dari sistem yang mereka ciptakan?. Mengapa eksploitasi yang nampak dalam rancangan undang-undang malah mengakomodir kepentingan definisi porno yang diciptakan kaum Pria, dengan menjadikan Wanita dan anak-anak sebagai objek penderita, cenderung tidak netral dan berpihak manapun?. Mengapa kita tidak melongok aspek televisi yang dengan bebasnya tanpa permisi seringkali menyajikan moralitas semu yang dibungkus dengan estetika dangkal tentang kekerasan dan mesum? Padahal pengaruh kebutuhan televisi lebih menggila dibanding media cetak di negara ini.

Sudah patutkah kita ikut berteriak di jalanan untuk menghantam segala aspek yang dianggap pornografi ( yang memang tidak jelas apa definisinya?), sembari (ikut-ikutan) mengalami ketakutan atas serbuan arus informasi tanpa polarisasi nilai baik dan buruk yang memang tak bisa dibendung mentah-mentah dan sembari tidak bisa berpikir bijak melihat hal ini?. Sementara sebagian dari kita dengan santai menganggap kebutuhan tentang wacana seks dimulai dari materi yang berharkat (seni) dan juga memang kitsch (murahan).

Selalu ada pro dan kontra. Selalu ada hitam dan putih dalam memandang persoalan, abu-abu masih bebas berkeliaran dengan ujud penjernihan. Selalu ada tafsir yang merasa benar, dan merasa bijak dengan melakukan kebijakan tanpa blue print persoalan yang jelas kecuali hantam kromo asal bablas ala mafia proyek. Merekalah sebagian dari kaum puritan yang takut atas perubahan informasi arus lintas benua, batasan dan muatan melanggar kedaulatan spiritual. Sebagian ikut-ikutan dan lainnya kebanyakan sok tahu. Sedikit yang jernih memandang persoalan. Karena kebutuhan tentang erotisme ternyata sangat wajar. Bukan liar beredar dalam kehidupan masyarakat tanpa batasan yang jelas.

Ternyata banyak sudut pandang yang berhak untuk ditelaah dan dijalankan, bukan sekedar mencak-mencak dan membakar sesuatu yang jelas-jelas masih terbuka untuk dibahas. Semestinya mereka semakin dewasa, bukan menjadi tambah pandir dan bebal. Sebagian bangsa kita terlalu takut untuk hidup dalam keragaman, namun memilih nyaman dengan keseragaman. Apalagi kemudian merasa berhak menjaga Moral.

--------------------

Agak telat mungkin. tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Tidak ikut ngomel maksudnya hehe.

4 comments:

/ n i k k / said...

Mas, Mas...
pinjem bokepnya dong...
mau saya kirim ke Gedung DPR.

wahyudi pratama said...

katanya lagi sibuk unduh bangbros?

nona cyan said...

hahaha.."kaum tengah2".

Anonymous said...

You have an outstanding good and well structured site. I enjoyed browsing through it Manga+digimon+sex hang ten perfume Kia hagerstown md White linen perfume canada free mcafee anti virus downloads What causes cellulites True wholesale authentic designer perfumes bottle fancy perfume Large sofa Airport certification procedures safety management Bodybuilding without supplements Crush+concerta