Wednesday, March 05, 2008

Ketidakadilan (kah?)


Saya sering mendengar cerita bagaimana hutan di Indonesia habis berhektar-hektar, dalam hitungan jam. Saya juga mendengar bagaimana dunia dilanda krisis energi, tetapi produksi alat-alat elektronik dan kendaraan jalan terus. Saya melihat seorang gelandangan yang tidur setiap hari dekat tempat saya tinggal, tanpa ada masyarakat atau tetua lingkungan yang mau memberinya makan. Saya ini sebenarnya banyak bertemu dengan ketidakadilankah di dunia ini ?

Saya terus terang muak dengan ketidakadilan ketika membaca tentang seorang ibu dan anaknya yang mati kelaparan berdampingan dengan berita tentang pernikahan seorang putri konglomerat papan atas di Indonesia ini.

Saya pasti bisa menyalahkan kaum kaya, tapi apa yang membikin mereka kaya ? Apa yang bikin mereka tetap miskin ? apa yang menyebabkan puluhan tahun berjalan arah perkembangan malah menuju titik nol secara mental. Inilah ketidak adilan, tapi yang akan saya bahasa adalah globalisasi. Loh kok bisa?.

Saya percaya (menyalahkan juga) dan meyakini jika yang disebut globalisasi adalah arus utama untuk mendukung pelebaran kekuasaan ekonomi-politik dan mendukung arus ekonomi negara-negara maju yang otomatis menempatkan negara dunia ketiga dalam skema produksi terendah. Dengan menciptakan jurang kemiskinan dan ketergantungan dalam berbagai sektor kehidupan akan mengakibatkan tetap ada si bodoh yang miskin dan si kaya yang pintar. Sadar atau tidak, arus utama sudah dimulai dengan kesadaran politis, arah liberalis di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.

Apa bukti yang diharapkan lagi, jika inilah salah satu efek nyata dari ketidakadilan dimuka bumi ini yang didukung oleh mitos yang ditumbuh kembangkan dan mewarnai inti apa itu globalisasi.

Mitos globalisasi menjadi suatu renungan tentang penjajahan negara maju terhadap dunia ketiga. Saya mungkin akan dibilang terlalu pecicilan dan mementingkan hal yang tidak perlu oleh orang lain, toh bagi saya inilah apa yang disebut melawan pragmatisme. Masyarakat yang tambun akan segala borok dan kenyamanan ala dunia maju mengakibatkan muncul riak-riak ketidak adilan yang berakibat hilangnya empati manusia terhadap sesamanya.

Dan hiduplah kalimat sakti : PERDULI SETAN (!).

Saya jadi miris, pada saat itulah, segala aspek spiritual, kemanusiaan hilang tak berbekas kecuali mampir dalam benak sebagai artefak politis kehidupan umat saja.

Cek artikel menarik tentang mitos globalisasi di sini

2 comments:

Herru Suwandi said...

ya itulah kondisi negara yang ber-keadilan bagi seluruh rakyat endonesia

wahyudi pratama said...

saya pikir itulah Ru, ga bisa ngga kalo ga liat kemana-mana banyak yang hidupnya makin susah ...saya jadi bertanya2 ada apa dengan manusia sekarang ?? apakah memang udah selayaknya negara ini dicerai berai saja biar mengurusi dengan kadar yang lebih baik ....