Seni dalam prosesnya memang membutuhkan tokoh, namun perjalanan seni memunculkan gerakan-gerakan seni rupa yang nyaris bergerak sendiri, walau awalnya dijalankan dan dipopulerkan oleh para pendiri dan pelopor. Mungkin, tanpa adanya sosok pelopor di dalam gerakan seni rupa apapun, sebenarnya perjalanan wujud seni rupa hanya membutuhkan waktu untuk berubah. Dan sang pelopor, adalah orang yang mempercepat akan hal itu. Orang mafhum akan sosok Picasso, Dali, Christo sampai Affandi dan Sudjojono, merekalah yang menggerakan poros perubahan visual sebuah perupaan. Namun mengingat selalu ada sisi kontra dalam segala hal, dan ada yang disebut sebagai ujud tandingan yang menciptakan pemahaman baru tentang seni, bahwa seni seharusnya tidak berindah-indah, bahkan sinis terutama, untuk itu terimakasih diucapkan kepada sebuah nama :
Marcel Duchamp (1887-1968).
Publik seni rupa mengenalnya sebagai pendobrak aturan baku yang menyatakan : Perwujudan Seni sebagai Anti Seni. Karya-karyanya dipenuhi oleh penyangkalan dan penggunaan material massa/populer sebagai hasil akhir kekaryaannya. Elemen-elemen karya seni rupa, (lukisan, patung, galeri,proses ide dan imajinasi) cenderung berjarak dan dikultuskan, pada akhirnya luluh dalam wujud yang dangkal, banal dan sangat biasa, namu mampu menaklukan stigma kuat galeri sebagai ujud museum yang sangat sakral saat itu. Duchamp menggambari reproduksi lukisan Monalisa dengan kumis (aha!), dan menawarkan estetika roda sepeda dan mesin pembuat kopi dengan memajang langsung rodanya di dalam galeri . Penolakan demi penolakan, penyangkalan demi penyangkalan. Duchamp dan kelompoknya, menolak pranata sosial sebagai jalan tengah kompromisasi seni dan masyarakat. Dan secara moral, sama dengan para koleganya, semburat orgasme di atas panggung pertunjukan performances art menjadi sah dalam kacamata mereka. Sama halnya dengan ucapan yang bertentangan dengan kaum avant-gardis bahwa seni lukis sudah habis di era tersebut (1920-an).
Duchamp telah menampar khasanah itu dengan meletakan urinoir dalam gallery dan mentahbiskannya sebagai sebuah karya seni, dengan nama samaran R.Mutt, karya itu sukses membuat publik dongkol dan kecewa ( Fountain, 1917). Kesenian sejujurnya adalah representasi masalah dan realita yang kongkrit. Wujudnya adalah sebuah antitesa dari wujud seni itu sendiri. Filosofi tentang nihilis yang kelak melahirkan gerakan nyleneh yakni Dada, Surrealism, kemudian menjadi lebih serius dalam format modernisme, figuratif hingga akhirnya Pop, bahkan sampai saat ini Kontemporer, retro dan post-mod. Dan 60 tahun kemudian negara dunia ketiga perlahan-lahan membebaskan pilihan akan haluan perupaan dalam konteks yang lebih beragam akibat pengaruh percepatan global, sosial, politis maupun gender. Seorang Arthur C Danto, pernah berujar jika ujud seni saat ini laksana seorang anak buruk rupa yang lahir dari keluarga glamour di lingkungan mewah. Seni menjadi labil dan jauh untuk dinilai secara sederhana dalam kacamata apapun. Seni secara ujar-ujar sudah tak membutuhkan posisi yang tinggi laksana menara gading untuk menganalisa apa yang ada didalamnya. Seni cukup dijabarkan dengan sederhana dan langsung.
Itu adalah pranata lawas yang sejatinya layak diingat. Kaum akademis akan habis-habisan membobol periode nyata keadaan masa lampau pada rujukan teoritis yang terkait didalamnya. Dan kaum praktik, mengetengahkan dunia yang lebih representatif akan makna sosial. Pada akhirnya seni berucap dalam media yang sejalan dengan pencapaian apresiasi dalam masyarakat modern sampai sekarang. Ucap-ucap dan semburan filosofis yang berat dalam muatannya sekarang menjadi sesuatu yang sangat beragam, sublim dan netral, tergantung bagaimana kita menerimanya.
klik: ###
No comments:
Post a Comment