Tuesday, June 14, 2005

Edvard Munch

Biasanya karya seni yang jenius dihasilkan oleh pribadi penciptaan para seniman yang 'depresif'. Sedangkan ketika suasana ceria, yang lahir malah biasa biasa saja (?). Untuk itulah ketika sesuatu yang subjektif terkait dengan produk cita rasa pribadi. Latar belakang penciptaan karya-karya cenderung dihasilkan oleh kekuatan mengekspresikan rasa yang cenderung terpuruk, empati dan apa yang melatari keberpihakan secara total terhadap mood. Tak salah, seperti karya yang dihasilkan oleh Edvard Munch, Van Gogh, sang filsuf; Frederich Nietschze dan jika para penikmat musik rock pasti tahu, bagaimana Jim Morrison, Richie Edwards (Manics Street Preachers), Ian Curtis(Joy Division), Kurt Cobain, Michael Hutchence (INXS) mengakhiri hidup secara tragis. Tak usah jauh jauh, sosok seperti Chairil Anwar pun mengalami rentang usia karir yang terbilang sangat pendek, ditengah keterpurukannya oleh nikotin, alkohol dan perilaku kehidupan seksualnya yang notabene liar. Karya yang luar biasa dihasilkan oleh sosok-sosok yang secara pribadi yang luluh lantak oleh ego kehancuran dan tenggelam akan ketakutan terhadap kehidupannya sendiri.

Image hosted by Photobucket.com

Kali ini karya karya Edvard Munch (1863-1944), menarik perhatian saya akan salah satu sisi tragis daripada wujud ekspesionis dalam sebuah karya seni. Munch, seniman kelahiran Norwegia dan juga merupakan sosok founding father dari expressionist movement di Jerman tahun awal 1900-an.

Image hosted by Photobucket.com

Selain terkenal akan karya lukisnya, Munch juga terkenal akan kepiawaiannya dalam membuat karya Grafis atau cetak. Hal yang cukup wajar, mengingat dimasa itu, Seni Cetak (cukil kayu/woodcut, intaglio, etching dan lainnya), sebagai acuan berkarya mengalami salah satu masa keemasan di Eropa khususnya era Republik Weimar (Jerman), yang lebih cenderung representasi politis, sebelum era Nazi.

Image hosted by Photobucket.com

Karya-karyanya banyak mengundang pertanyaan yang memperkaitkan skema ketakutan akan hidup, cinta dan kematian dalam emosi terdalam. Sesuatu yang mengundang decak kagum atas keberhasilan Munch merepresentasikan ketakutan terdalam terhadap situasi dan kondisi sekelilingnya yang mulai dimakan oleh industri dan 'masyarakat' yang mulai sakit. Munch mengelaborasikan tanda, sosok-sosok pribadi dan cerminan diri sendiri yang terkait dengan pemahaman sureal akan makna dari ketakutan. Pencarian demi pencarian saat itu telah melahirkan arahan penting tentang makna terdalam dari esensi sebuah karya. Keyakinan bahwa seni merupakan suatu dogma dalam kehidupan yang lahir dari sisi empati terdalam sebagai refleksi terhadap keadaan sekitar, telah mengakibatkan Munch kehilangan kepercayaan terhadap esensi terdalam dari hubungan personal antara diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Suasana perang, kondisi sosial yang timpang, kegelisahan prbadi dan campur aduk lainnya terpancar dari karya-karya Munch yang terlihat makin absurd dan figuratif. Pencarian yang tak kenal lelah dalam setiap karya-karyanya adalah sisi kontemplatif yang penuh perenungan, bukan sesuatu yang main-main jika dia pernah mengatakan seni adalah sebuah totalitas kehidupan. Pada akhirnya, pencarian rupa dalam haluan besar ekspresionisme tersebut mengakibatkan konsekuensi yang fatal, keseimbangan mentalnya terganggu. Salah satu karyanya yang paling terkenal, yang bertemakan kegelisahan (Anxiety), The Scream(1893), muncul dan didominasi oleh berbagai macam kode simbolik akan dialog fakta tekanan pada sebuah kondisi kejiwaan yang timpang. Lukisan ini merupakan salah satu kajian visual psikologis yang banyak diterapkan sebagai satu contoh oleh Sigmund Freud, salah satu tokoh psikologi terkenal di masa itu. Munch, dalam perjalanan karirnya memang banyak menghasilkan karya lukis yang senada dengan pandangannya akan ketakutan, kecemasan akan kematian dan cinta sebagai sesuatu yang buram dan berjarak, seiring dengan kondisi mentalnya yang makin memburuk pada tahun 1908.

Munch kemudian meninggal pada tahun 1944, di lokasi peristirahatannya di Norwegia. Setelah mengalami nervous breakdown yang cukup parah, dan pneumonia yang merengut hidupnya.

Klik untuk lebih lanjut: +++

6 comments:

Anonymous said...

frustasi dan ketakutankan yang mengapungkan kreativitas hingga level ektasi tertingginya ...?

atau kitanya aja sebagai konsumen yang senantiasa haus akan 'aura noir' dari hidup tanpa mau susah payah menjalani konsekuensinya ... cukuplah dimamah lewat hidup dan karya orang lain.

wahyudi pratama said...

hmmmm mestinya tulisan tadi diawali dengan kata "kadang kala.." karena memang gak semuanya seperti itu. Adapula kok yang senang senang jadinya bagus juga, tapi yang ya gitu selintas lewat.Jadinya ya banal atawa biasa aja hehehe terkadang totalitas (dalam berkarya rupa)benar benar nampak nyata ketika kondisi psikis yang rapuh melatar belakangi proses penciptaan karya.Kan subjektif ..hehehe

Konsumen kan perlu mengakomodir kepentingan orang 'sakit' yang dijembatani buat pembelajaran hehehehe wah jangan jangan kita mesti total sampe 'sakit' buat menghasilkan sesuatu yang wah ..moga moga nggak deh....bukan parameter yang bagus juga saya rasa gitu loh mas....

Anonymous said...

pernah baca dimana ya? lupa. katanya the scream itu langitnya merah gara2 terinspirasi sama letusan gunung krakatau.

Emang krakatau meletus tahun berapa sih?

nona cyan said...

gue pernah nonton feature ttg dia di BBC. Jadi,jembatan itu tragis,temen baeknya pernah loncat dari situ dan mati, terus kalo ngeliat ke bawah ada RSJ tempat sisternya dirawat. Jadi dari situ kedengeran jeritan2 para pasien.Pantesan...stoker berat gitu the scream.

wahyudi pratama said...

iyaa kenapa karya lukisnya sempet beberapa seri gambar jembatan ..ternyata pak lik Munch rada paranoid sama jembatan...

Unknown said...

Edvard Munch the best one