Friday, March 24, 2006

Barbarella ? Who?

Image hosting by Photobucket

Who Give up the pill ? Who take sex to outer space? Whos' the girl of 21st century? Who nearly dies of pleasures? Who seduces an angel? Who conveys love by hand? and ....Who strips in Space?

Tagline yang tertera dalam poster Barbarella, salah satu film terburuk era 60's yang beberapa kritisi ogah untuk mengakui sebagai salah satu wujud eksistensi terbaik film Cult. Bukan terbaik, tetapi terpopuler.

Apakah trend di waktu itu dan sekarang, menjadi anggapan sebagai epitome dari pop Art merasuk dalam konteks generasi eklektik saat ini. Jijay dan norak tapi keren untuk diungkap?, karena Bule, atau malah jadi identitas Local Freak untuk dicantumkan dalam wilayah indonesia, untuk mengacu pada majalah Aktuil*?

Persis judul berita POS KOTA.

Oke, saya tertarik dengan tagline tersebut yang merepresentasikan tema tentang kedalaman makna tubuh sebagai komoditas industri. Sexual oriented dalam konteks Glamour, Kitcsh (dangkal) dan murahan. Pertanyaan dan pernyataan retorik.

Sejalan dengan konsep murah dan hedon, saat itu, mungkin secara kritis kita melihat ada masa sebuah kebudayaan massal yang ternyata bangkit lagi saat ini sebagai acuan form dan visual. Murahan, norak dan bebas dalam mengartikan warna. Saya tak bisa berkomentar tentang porno sebelum melihat bagaimana definisi pornonya suatu bentuk bisa difahami. Begitu halnya media, apakah yang berita murahan, sensasional dan seksi, kemudian serta merta diterapkan sebagai orientasi yang dijual dengan mengusung konsep sama seperti yang diterapkan dalam Barbarella tersebut?

Barbarella, cuma sebuah kasus yang terkenal dan dibakukan dalam ujud komoditas film. Sementara media, dan trend telah merasuk dalam wacana pucuk gunung es. Nampak hanya sensasi belaka, namun didalamnya menyimpan macam-macam konsepsi dan kepentingan yang lekat dengan arus mass media. Dan kepentingan budaya masyarakat modern. Media yang mudah dan lekat dengan kepentingan 'pemudahan' pemikiran masyarakat.

Harus selalu gampang dan tidak perlu berpikir rupanya untuk membaca suatu judul berita. Perputaran pola berpikir masyarakat selalu ada rupanya, di setiap jamannya, dan memang membutuhkan pola segar dan menjual sebagai ujud kedekatan yang merendahkan pola pemahaman dengan lebih mudah dan simpel. Gampang dan laku!, apalagi rada 'ngeres'**.

Saya pikir media massa seakan sudah tanpa permisi lagi menyajikan konsep murahan tersebut. Terkadang kita dianggap seperti daging sapi import yang tak pernah habis walau dicacah sekalipun. Dua sisi yang harus dijalani, bukan diprotes habis-habisan.

Saya pikir permasalahan belakangan ini karena ribut-ribut teu puguh***, akibat salah tafsir, terburu-buru pula.
--------------------------------
* Salah satu majalah musik terkenal di era 70-an, di pimpin oleh Remmy Silado. Yang merangkum hampir semua kisah dan pergerakan musik di tanah air. Kalau membaca sekarang, niscaya kita bakal terperanjat dengan banyaknya fashionista di masa itu. Dari Sabang sampai Merauke, pake korespondensi surat pula ! - sahabat pena.
** Sayang saya belum dapat hasil scan Tabloid Lipstick dan Exotica, nanti deh saya carikan lagi.
*** Nggak jelas (bahasa sunda).

Wednesday, March 15, 2006

TODAY a mad-dog slayer!

Image hosting by Photobucket

The Cry Baby Killer (1958)
Tagline: YESTERDAY a Teenage Rebel... TODAY a mad-dog slayer!

Terkadang saya lebih menyukai poster sebuah film dibandingkan filmnya sendiri. Bukan karena pecinta Cult Movies, tetapi poster film ini sudah saya modifikasi dan edit. Itu saja. Selebihnya jangan tanyakan saya, karena film ini tak saya ketahui siapa pemerannya kecuali Jack Nicholson dan low budget.

click here.

Saturday, March 04, 2006

Made In Heaven

Image hosting by Photobucket

"Made in Heaven" series of paintings, photos and sculptures, 1990-1991.

Jika Jeff Koons berani berkarya seperti ini, pastilah ada alasan kuat baginya untuk mencoba sikap sensasional sekaligus mematahkan tabu dan dilema moral dalam penyajian tema seks sebagai visual seni. Koons memang seringkali kontroversial dan dianggap sebagai genuine leader dalam controversial tradisi semenjak DADA, wuihhh ....

Saya yakin, Pornografi dan Seni disini adalah kabut tipis yang menyertai istilah deskripsi karena perupaan yang sangat berani (dari kacamata moral masyarakat) dan sangat standar (dari kacamata seni kontemporer). Koons selalu punya alasan kuat untuk menyertakan karyanya dalam Gallery, selain memang ini menjadi ujian kepekaan artistik seseorang, dengan makna yang sangat luas dibalik perupaannya yang menggunakan elemen seksualitas.

'Made In Heaven' ditampilkan di Indonesia? 'Pinkswing Park' jadi tak terasa.

Made in Heaven Image Gallery dan Jeff Koons - A Collection of Images

Seni memang mewadahi dirinya dalam wujud otonom. Saya yakin, Koons pasti akan dibui jika secara tak sengaja menaruh keryanya di luar area galeri, dalam jarak dekat sekalipun.

Friday, March 03, 2006

The Power of Love

Image hosting by Photobucket

LOVE(1966), Robert Indiana (b.1928)

Ke empat huruf, L O V E, dalam bentuk dalam termampatkan, kotak dan welding, masih menyisakan kepenasaran bagaimana gambar ini sangat terkenal di seluruh dunia.

Karya Robert Indiana ini, merupakan salah satu icon dari gerakan Pop yang terus diadaptasi sebagai bentuk semiotis, dalam melambangkan kata-kata LOVE itu sendiri. Simple, bold, iconic image, numbers dan jelas , merupakan salah satu bagian upaya dari Robert menterjemahkan konsep komunikasi massal. Selain itu penggunaan kata-kata yang singkat dan sederhana seperti EAT, HUG, LOVE dan lainnya merupakan konsep simplifikasi yang sangat dekat dengan komunikasi urban dan keseharian masyarakat modern.

Sebagai salah satu pionir dalam gerakan Pop, dia sendiri sering mendefinisikan simbol dan tanda sebagai identitas. ".. a tag with your name on it tells everyone that it is yours". Itulah secara prinsip, Indiana dan gerakan POP yang diusungnya telah bersusah payah mengorbankan entitas ujud anomali seni kedalam keseharian yang populis dan dekat dengan masyarakat sendiri.

Indiana telah terlambat untuk mengklaim visual itu sebagai hak ciptanya, akhirnya tak semua orang tahu siapa aktor perupa dibalik karya fenomenal ini. Semua orang menggunakannya, mengkutak-katiknya dan memparodikannya untuk kepentingan masing-masing, kedalam berbagai bahasa dunia, ke dalam tulisan, simbol, logo bahkan sampai cover album. Itulah resiko, populis merupakan bagian dari kebebasan untuk menerima sesuatu sebagai bagian dari masyarakat, tanpa mengindahkan siap sang penggagas.

Indiana saat ini sendiri telah pensiun dari kesenian dan hidup sebagai pertapa di Vinalhaven (tempat yang juga tidak dapat saya bayangkan dimana itu).

check here.

kilas balik : Eric the King

Image hosting by Photobucket

The Art of Game, Michael J. Browne, oil on canvas, 1997.

The Art of Game painting featuring: Eric Cantona, Phillip Neville, Gary Neville, David Beckham, Nicky Butt and Sir Alex Ferguson ( Manchester United).

Ternyata saat itu (1997), visual tentang mereka jauh lebih penting dari sosok saint atau visual tentang apostle sekalipun. :)

Monday, February 20, 2006

Manifes Seni Rupa Indonesia

Teman-teman pencinta Seni Rupa Indonesia,

Sehubungan dengan kasus kriminalisasi karya seni rupa Indonesia yang dialami rekan perupa Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar menyangkut karya mereka Pinkswing Park, kami, mewakili setiap orang yang selama ini mencintai Seni Rupa Indonesia, serta bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan Seni Rupa Indonesia, sepakat untuk menyatakan sikap. Pernyataan sikap kami dapat dibaca di bawah ini. Kami membutuhkan sebanyak-banyaknya dukungan dari rekan-rekan seniman, penulis, kurator, kolektor, pengelola galeri, jurnalis, dan lain-lain untuk menyuarakan sikap ini.

Kirimkan dukungan Anda melalui postingan di link ini. Cukup dengan mengirim balasan berupa pernyataan SETUJU atau MENDUKUNG, disertai nama lengkap dan profesi, alamat e-mail dan nomor telelpon. (Tanpa nama jelas, alamat e-mail, atau alamat lain yang bisa dihubungi, tidak akan dimuat.)

Perkembangan kasus yang menimpa Agus Suwage + Davy Linggar, juga mengenai pernyataan sikap ini akan terus bisa Anda pantau melalui situs-blog ini.

Terima kasih.

.............................................

Manifes #1:
Seni rupa adalah bidang kerja dan keahlian yang setara dengan bidang keilmuan lainnya yang memiliki aturan dan wilayah otonomi masing-masing. Karenanya, soal-soal yang menyangkut perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap karya seni rupa selayaknya mengutamakan pandangan, gagasan, pemikiran dari lingkungan disiplin seni rupa itu sendiri.

Manifes #2:
Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir dan penilaian atas suatu karya seni rupa, seperti juga kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan penciptaan karya seni rupa. Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas karya seni rupa dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat yang beradab dan demokratis.

Manifes #3:

Kami menolak penilaian atas karya seni rupa yang menggunakan sembarang pandangan dan norma yang tidak bersangkut-paut dengan disiplin dan keahlian seni rupa. Terlebih lagi jika penafsiran dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran— dengan embel-embel "mewakili suara dan kepentingan mayoritas" sekalipun.

Manifes #4:
Kami membela sepenuhnya kebebasan berpendapat, tapi bukan sebagai alasan dan cara untuk mengancam, menghukum, mengurangi, atau bahkan menghapus kebebasan berpendapat pihak lain. Maka, kami menolak segala cara dan upaya yang secara sembrono memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni rupa sebagai tindakan kriminal.

Manifes #5:
Kami membela sepenuhnya hak dan kebebasan setiap pihak untuk menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan yang mempertemukan karya seni rupa dengan masyarakat-pameran, pertunjukan, diskusi, penerbitan, dan lain-lain-karena kami percaya bahwa masyarakat Indonesia memiliki hak untuk menikmati dan mengapresiasi karya seni rupa dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka.

Maka, kami menyayangkan dan mengecam pihak-pihak yang terus berdiam-diri membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap penciptaan karya seni rupa dan penyelenggaraan kegiatan seni rupa. Kami menagih peran negara (cq. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dan badan lain yang terkait), dan juga lembaga-lembaga pendidikan seni rupa untuk membela keabsahan seni rupa Indonesia sebagai bidang keahlian yang punya otoritas keilmuan dan dapat diselenggarakan di ruang sosial yang bebas dan terbuka.

Manifes #6:
Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni rupa Indonesia dan pranata pendukungnya—seniman, penulis, kritikus, kurator, model, komunitas seniman, kolektor, pengelola galeri, balai lelang, media massa, majalah seni rupa, jurnal dan lain-lain—mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang beradab dan demokratis.

Karenanya, kami akan mengatur diri dan hidup kami sendiri. Kami akan berhimpun untuk menyatukan pikiran dan pendapat, menyusun prinsip-prinsip etik bagi penyelenggaraan kegiatan seni rupa yang menjamin pekembangan dan kemajuan Seni Rupa Indonesia di tengah perkembangan seni rupa dunia.

Cemara Galeri-Kafe, Jakarta
15 Februari 2006
(Tim perumus pernyataan ini: Aminudin TH Siregar, Arif Ash Shiddiq, Enin Supriyanto, Hendro Wiyanto, Rifky Effendy)

.............................................

Sekedar berbagi, membantu upaya rekan. Thk's buat Ucok dan Dhani 'Sancok'.

Sumber dari link ini : http://pinkswing.wordpress.com/

Antara Seni melawan Keras Kepala

Salah satu dari aksi yang ramai belakangan ini di beberapa kota besar di Indonesia selain kontroversi karikatur bodoh itu adalah:

Aksi melawan pornografi dan porno-aksi yang katanya merupakan teror kedua dalam urusan kebersamaan dan ketentraman masyarakat beragama yang (katanya lagi) beradab dan berbudaya ketimuran.

Arus informasi dalam perjalanannya akan tetap terus berkembang, sampai mulut kita berbusa-busa pun, kita tetap butuh asupan informasi yang jelas dan maksimal. Arus informasi, merupakan aspek lain yang terdekat dan hidup dalam relung nafas masyarakat perkotaan. Bukan sekedar mendefinisikan konteks informasi perkotaan dalam artian sentralisme urban, masyarakat dalam perkembangan kadar intelektual, memang mau tak mau harus mau dibesarkan oleh informasi. Itulah, mengapa arus informasi yang begitu deras mmampu mengakibatkan lapisan bias yang nyata apakah kekerasan, hiburan, gosip dan politik sampai libido, dan kemudian salah satu acuan yang hendak di berantas: pornografi, kemudian menjadi sajian, hiburan dan ekstase bagi bunga-bunga perjalanan menuju (yang baru mau) nuansa modern di negara ini.

Dan sangatlah biasa arus perubahan tema pengalih beritaan untuk menunjang aksi sosial informasi di negara ini. Setelah isu maraknya demo anti pornografi mungkin anti pembangunan PLT Nuklir, setelah anti PLT nuklir mungkin wabah ulang flu burung yang bermutasi, setelah itu mungkin saja demo anti harga TDL yang semakin aduhai. Saya yakin, beberapa dari kita semua memang sangat terkena dampak akan hal ini, selebihnya kita berpikir lepas dan cenderung cuek bebek dan sibuk melakukan pergerakan lainnya demi menunjang kelangsungan karir dan perut. Sedangkan bagi sebagian lagi merasa berhak menghantam Porno-tittude ini dengan keras, sebagian malah kebalikannya, dengan mengkhawatirkan susahnya nanti distribusi DVD porno terbaru di lingkungan sejawat dan sebagian lagi acuh tak acuh karena itu memang konsekuensi sebuah perjalanan kebebasan kenegaraan dalam konteks yang lebih global.

Rencana mengesahkan cakupan anti pornografi di negara ini adalah kebijakan yang disahkan dalam rencana undang-undang. Kekhawatiran bagi sejumlah kelompok memang dilihat dari adanya upaya mengkebiri habis-habisan kebebasan arus media, campur tangan negara yang terlalu dalam, aparat yang membabi buta menangkap para pengecer koran Kuning, Koran Rakyat sampai tabloid ecek-ecek tersebut, ormas-ormas keagamaan yang merasa berhak menjadi polisi Moral, sampai ( fiuh ..lagi lagi) salah kaprah dalam mengkategorikan nudity sebagai pornografi Apalagi dengan kemasan yang lebih halus dan memang segmentif, Seni, Part of Art. Boro-boro untuk mencoba mendefinisikan pornografi, mereka sendiri malah mematahkan perkembangan untuk mencoba melihat permasalahan tentang batasan, definisi dan lingkup cakupan Pornografi dengan jernih. Semua di babat, apapun ujudnya yang mencoba memamerkan organ vital adalah Pornografi, entah pria, wanita maupun kaum tengah-tengah. Pornoaksi, saya merasa istilah ini tidak tepat, apa yang menjadi batasan dan statemen jika ada sifat yang dilakukan mengarah kepada pornografi? Apakah aksi hubungan seksual suami istri dianggap pornografi pula?. Inilah wajah RUU Pornografi – Porno-aksi dinegara kita yang menganggap kisi-kisi Pornografi sebagai materi mati yang saklek dan tak bernyawa, bukan sesuatu yang terkait dengan kepentingan lain, sudut pandang lain, batin, rasa, selera dan wilayah moril.

Oh ya, saya hampir lupa, Seni (rupa) sebagai gagasan dalam tulisan ini, memang kemudian terlihat menjadi semakin terkekang. Keterbukaan?, saya tidak yakin, jika tematik tentang tubuh manusia yang saat ini semakin terbuka dan menyajikan realita dalam wacana seni makin bebas diumbar dalam proses kekaryaan. Tema seni kembali mundur berpuluh tahun kebelakang, ketika nudity, anthroposentris, anatomi dan segmen realita menjadi sangat tabu untuk diungkap. Pretensi dangkal lain yang hinggaplah yang menjadi acuan polisi-polisi moral dan riil itu sendiri, dalam menentang tematik pornologi ini. Ternyata kekeraskepalaan dalam upaya menegakkan konsep dan haluan memang susah. Seniman memang dituntut keras kepala, bagaimanapun juga itikad konsep dan wujud kekaryaan tidak pernah dibatasi dalam benak sampai kemudian lahir dimensi nyata yang bersentuhan dengan sosial, etika dan norma tradisi ataupun modern yang dihadapinya. Dan untuk kembali bertentangan dengan lingkup sosial yang keras kepala juga. Tentunya kita seharusnya bisa membedakan mana yang lebih berkualitas, kualitas artistik foto tabloid Exotica atau karya Darwis Triadi.

Apa yang salah rasanya dari hal ini? Jelasnya, ini yang terpenting, batasan yang jelas!, rembukan dan mengakomodir kepentingan aspek lain, bukan prinsip kacamata kuda, yang merupakan acuan yang penting dalam menyimak ruang lingkup sesuatu itu menafikan nilai moral, pornografi atau tidak. Negara maju di Luar Negeri (katanya pula) membiarkan acuan hakiki yang menilai porno atau tidaknya suatu produk masyarakat, media, budaya, estetika dan artistik dalam nilai kelayakan masyarakat, bukan undang-undang institusi negara yang membabi buta membabat semua aspek terkait yang nantinya malah akan melahirkan standar ganda. Saya tidak yakin, apakah analogi: membakar lumbung padi yang digerogoti hama tikus, cukup efektif untuk hal ini. Saya hanya mempercayai bahwa Pornografi sebenarnya memang ditujukan untuk segmen dan kalangan dewasa dengan afiliasi dan komoditas industri. Lalu apa gunanya batasan 17 tahun keatas? Hanya batasan yang mengaturnya, bukan institusi.

Keragaman muatan informasi yang dipilih oleh kita adalah hak, kita berhak untuk memilih, kita berhak meniadakan nilai morak, dan kita juga berhak memutuskan informasi mana yang layak. Bukan malah seperti seorang pembeli yang kebingungan dalam toko kelontongan yang hanya di isi oleh satu produk industri, standar pula. Apa layak itu disebut swalayan atau toko kelontongan?. Karagaman bukan keseragaman.

Maju memang membutuhkan keberanian. Negara ini baru saja lahir dalam proses demokrasi yang dibilang telat, dan euforia kebebasan mengakibatkan semua orang merasa berhak mengemukakan pendapat dan melanggar hukum. Lihat saja dalam keseharian, apa sih yang membuat masyarakat sampai saat ini semakin patuh rambu lalu lintas? Sedangkan Aparat sebagai institusi hanya sibuk memproduksi retorika semata. Apa sih yang mengakibatkan beberapa segmentasi generasi muda merasa berhak memberontak dari sistem distribusi fashion, gaya hidup dan intelektualita, pada akhirnya mereka malah sibuk menggali uang dari sistem yang mereka ciptakan?. Mengapa eksploitasi yang nampak dalam rancangan undang-undang malah mengakomodir kepentingan definisi porno yang diciptakan kaum Pria, dengan menjadikan Wanita dan anak-anak sebagai objek penderita, cenderung tidak netral dan berpihak manapun?. Mengapa kita tidak melongok aspek televisi yang dengan bebasnya tanpa permisi seringkali menyajikan moralitas semu yang dibungkus dengan estetika dangkal tentang kekerasan dan mesum? Padahal pengaruh kebutuhan televisi lebih menggila dibanding media cetak di negara ini.

Sudah patutkah kita ikut berteriak di jalanan untuk menghantam segala aspek yang dianggap pornografi ( yang memang tidak jelas apa definisinya?), sembari (ikut-ikutan) mengalami ketakutan atas serbuan arus informasi tanpa polarisasi nilai baik dan buruk yang memang tak bisa dibendung mentah-mentah dan sembari tidak bisa berpikir bijak melihat hal ini?. Sementara sebagian dari kita dengan santai menganggap kebutuhan tentang wacana seks dimulai dari materi yang berharkat (seni) dan juga memang kitsch (murahan).

Selalu ada pro dan kontra. Selalu ada hitam dan putih dalam memandang persoalan, abu-abu masih bebas berkeliaran dengan ujud penjernihan. Selalu ada tafsir yang merasa benar, dan merasa bijak dengan melakukan kebijakan tanpa blue print persoalan yang jelas kecuali hantam kromo asal bablas ala mafia proyek. Merekalah sebagian dari kaum puritan yang takut atas perubahan informasi arus lintas benua, batasan dan muatan melanggar kedaulatan spiritual. Sebagian ikut-ikutan dan lainnya kebanyakan sok tahu. Sedikit yang jernih memandang persoalan. Karena kebutuhan tentang erotisme ternyata sangat wajar. Bukan liar beredar dalam kehidupan masyarakat tanpa batasan yang jelas.

Ternyata banyak sudut pandang yang berhak untuk ditelaah dan dijalankan, bukan sekedar mencak-mencak dan membakar sesuatu yang jelas-jelas masih terbuka untuk dibahas. Semestinya mereka semakin dewasa, bukan menjadi tambah pandir dan bebal. Sebagian bangsa kita terlalu takut untuk hidup dalam keragaman, namun memilih nyaman dengan keseragaman. Apalagi kemudian merasa berhak menjaga Moral.

--------------------

Agak telat mungkin. tapi lebih baik terlambat daripada tidak. Tidak ikut ngomel maksudnya hehe.

Friday, February 10, 2006

Stones A'!

Image hosting by Photobucket

Ternyata, setelah sekian lama, saya lupa jika logo The Rolling Stones yang sangat terkenal ini dibuat oleh John Pasche, bukan Andy Warhol seperti yang saya kira sebelumnya. Logo ini memang sangat terkenal, karena keterkenalan itu pula sampai saat ini memang merangkum para pecinta musik yang memang beragam, bahkan sampai para kaum bromocorah, begajulan, berandalan tukang palak atau apapunlah namanya, intinya sih kaum preman, (terutama yang saya ketahui banyak berada di Bandung) sering menggunakan istilah Stones sebagai ke'akuan' dirinya. Stones, stun, nyetun atau apapun istilahnya memang dikonotasikan sebagai mabuk. Mabuk selain tindak kriminil memang salah satu acuan wujud ke-Preman-an mereka toh?

Logo yang (entah katanya tapi emang benar sih) terinspirasi dari bibir ndowernya Oom Mick Jagger, sebenarnya patut dipertanyakan. Karena Keith Richard maupun Bill Wyman sama sama ndower. terlebih setelah mereka menjadi kakek-kakek saat ini.

Tak dapat dipungkiri, karena keterkenalan band ini di seluruh dunia sampai ke Indonesia di tahun 70 dan 80-an, image bad boy yang lekat dalam diri personil Stones, menjadikan dirinya sebagai ikon keberandalan yang tak lekang dimakan masa. Sejarah band ini memang tak akan terlupakan sebagai anti daripada image anak baik-baik the Beatles. Drugs, Sex, Rock N Roll dan kasus perceraian tiap personilnya menjadikan tipikal wajah generasi muda yang dicintai dan dibenci. Mungkin hanya Motley Crue di dekade saat ini yang bisa menyaingi perilaku liar mereka.

Transformasi logo ini dalam wujud simbol (dan kaos terutama) telah membius generasi muda yang saat ini semakin rajin menggali otentisitas masa lalu. Cool-nya retro Rock n Roll semakin membumbungkan identitas yang sempat terlupakan saat ini.

Stun A' !

check ini : John Pasche dan the Rolling Stones.

Tuesday, January 24, 2006

SUREALIS

Lukisan 1
Image hosting by Photobucket
Rene Magritte - The Son of Man
1964 oil on canvas 116 x 89 cm

Apa yang dibahas sebenarnya dari visual apel yang menutupi sosok pria dalam lukisannya?. Terkaitkah semiotika wujud Apel sebagai mitos dari persoalan gender? Simbolisasi dari Adam dan Hawa yang dibutakan oleh pesona buah apel? Ataukah ada persoalan lain dalam sosok figur pria tersebut. Teng tong! Magritte (1898 – 1967) sendiri, selalu menjelaskan secara filosofis tentang apa yang dilihat sebagai makna misterius sesuatu visual dalam lukisannya yang tidak pernah dilihat oleh orang lain. Apel hanya simbol belaka. Mungkin ujud lain dari sisi semiotis sebuah tawaran sederhana untuk masuk kedalam wilayah dalam dan kritis.

Lukisan 2
Image hosting by Photobucket
Dream Caused by the Flight of a Bumblebee around a Pomegranate a Second Before Awakening
Salvador Dalí, 1944
oil on canvas, 51 × 40.5 cm

Bukan main, judul yang membuat nafas sedikit tertahan untuk menyebutkannya. Takut salah soalnya haha. Ok, Dali (1904 - 1989), memang dikenal seringkali meniadakan konsep utuh selain memberikan penjelasan yang minim dalam konsep-konsep karyanya, namun seringkali diikuti gaya berdandan seperti tokoh yang dilukisnya. Hidup penuh kontroversi dan cukup eksentrik. Berbeda dengan sejawatnya, Magritte yang cenderung serius dan merupakan seorang pemikir. Di tahun 30-an, Dali pernah membuat heboh pengunjung stasiun di New York, karena mengajak berjalan-jalan hewan kesayangannya; seekor binatang pemakan semut raksasa, Giant Anteater. Maaf, agak melenceng, lukisan Dali yang ini, memang menanggalkan sedikit dari konsep tentang mimpi, namun lebih mengarah pada obsesi tertentu, hasrat cintanya pada sang istri – Gala. Dengan bahasa visual yang agak membingungkan. Maklum surealis.

------------------------------------------------------
Perkara surealisme atau tidak, bagi saya, lukisan Magritte adalah buah tangan dan perpanjangan pemikiran tentang eksistensi kebendaan dalam konteks misteri. Sejalan dengan Surrealist Movement, yang mengetengahkan kesatuan tema; melebihi dari yang ‘real’. Yeah, sejarah Surealisme yang sejalan dengan pergerakan Dada dan pertautan dengan sejumlah teori psikis, menyebabkan banyaknya anggapan Surealisme merupakan fasilitas interpretasi mimpi semata. Apakah itu teori dari Sigmund Freud, dialektika Hagel, sampai gagasan sang pencetus gerakan ini, Hans Arp (1887 – 1966), Andre Bretton (1896 – 1966) Salvador Dali, Max Ernst (1891 – 1976), Réne Magritte (1898 – 1967), Joan Miró (1893 – 1983) dan Man Ray (1890 – 1976). Bahwa ada istilah menarik yang sering dikaji disini, kelebihan beban berpikir dan mengeluarkan tematik antara kegilaan, mimpi dan realita sering menjadi batas tipis antara waras dan tidak waras. Dali, masih sering dianggap unik, nyentrik dan sedikit gila. Walau ia selalu menolak anggapan dirinya menderita kelainan kejiwaan, tetapi perilakunya terkadang merupakan terjemahan dari karya-karyanya. Ataukah ini kerap disebut kegilaan yang intelektual (idiosinkratik)?

Surealisme merupakan sebuah pergerakan yang meliputi dari seni, intelektual dan kajian teori. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari Dada Movement (1914) dan berdiri semenjak periode 1920an di Eropa. Jika Dada merupakan penolakan terhadap kungkungan norma teori dan batasan, maka surealisme merupakan ide menarik bagaimana menterjemahkan mimpi dan harapan dalam kenyataan saat itu.

Misteri merupakan elaborasi dari khayalan dan kenyataan, dalam wujud tanda tanya. Dengan harapan, misteri tetaplah merupakan misteri. Sebuah wujud dasar dari perkembangan visual jaman sekarang, yang kesemuanya berpadu dalam lingkup eklektik. Surealisme yang diusung oleh sang pelukis dan perupa pada umumnya adalah memvisualisasikannya. Dengan harapan, meniadakan arti makna visual setelah memberikan pertanyaan tentang hal itu sendiri. Bagi beberapa orang, menikmati surealisme adalah menikmati perjalanan ke dalam alam pikiran sang seniman. Secara simbolik, surealisme dalm konteks seni rupa merupakan fasilitator reka bentuk dalam imajinasi, mimpi dan dunia khayal. Dengan bersandar pada wujud riil yang kerap muncul di alam nyata. Dan jika dilihat secara dalam dan prinsipil, rasanya ini merupakan bahasan dari sisi psikologis dan filosofis.

Ketika teknologi belum memadai untuk menciptakan ilusi dan skema yang ganjil dalam visual sebuah karya seni, faham surealisme telah menciptakan kepentingan tersendiri akan hal itu. Dengan realisme yang digabung dalam kombinasi alam mimpi, maka cerita tersendiri lahir dalam runtutan benda dan ikon yang tergambarkan dalam lukisan tersebut. Lihat bagaimana Salvador Dali, Magritte sendiri, kerap mensimbolisasikan alam bawah sadar dengan sosok wanita, diri sendiri dan ikon-ikon simbolik dari benda sekitar yang tak terpikirkan, bahkan kerap memberikan sifat berlawanan dalam benda-benda masif tersebut. Semua memberikan arti yang sulit ditebak kecuali menanyakan langsung pada senimannya, dan dengan jawaban yang pastinya akan tidak mampu memuaskan ke semua pihak. Kecuali mafhum sudah seperti itu jawabannya.

Pada jamannya, mereka telah menjual mimpi dan memberikan jalan sebuah arena berpikir kritis bagi sebagian orang ditengah laju perkembangan industri yang sedemikian cepat. Sementara gerakan surealis kita untuk beberapa puluh tahun kemudian, masih tertatih-tatih untuk mencapai mimpi tersebut, sebelum hilang dikarenakan akar identitas yang memang rapuh.

check this out: ini dan ini

Saturday, January 21, 2006

TRANSPLANTS

Kembali ke akar bersama dalam kadar 40% Punk, 10% Soul, 10% swing beat, sisanya adalah Funk, Hip Hop dan Reggae.

Image hosting by PhotobucketSaya sedikit terkejut ketika menyaksikan video klip band ini, yang berjudul "Gangster and Thugs". Beberapa baitnya yang terucap dengan mengatakan "..Some of my friends sell records, some of my friends sell drugs ..". Yihaaaa ..lolos tanpa sensor. Terutama bagian "drugs". Okay, saya agak sedikit melenceng untuk menjelaskannya disini, namun album band ini merupakan salah satu rekaman yang menarik perhatian saya beberapa waktu belakangan ini. Dengan tampilan personil yang sejujurnya lebih mirip perpaduan Street Punker, skater kids dengan penjahat berafiliasi kaum hispanik daerah kumuh di New York, band ini menyediakan musik yang asyik, terlepas dari lirik yang sangat sembarangan dan eksplisit.

Image hosting by PhotobucketSecara musikalitas, gak usah untuk mempertanyakan kapabilitas permainan drum Travis Barker (blink 182) dan Tim Armstrong (gitar dan vokal dari Rancid) di bandnya masing masing, tetapi di album ini mereka jadi lain. Sementara personil satunya, saya malah ngeri melihat tongkrongannya. Rob Aston, merupakan salah satu mantan roadie dari A Fire Inside(band punk), yang lebih bergaya hip hop. Yang paling menarik adalah beberapa roots musik yang diusung, mulai dari track “ Killafornia”: reggae yang masih menggunakan backsound organ dan piano, punk di track “ Not Today”, dan soul a la Marvin Gaye wanna be di track “ What I Cant Describe” yang sangat ghetto. Bahkan muncul nuansa swing beat a la ‘30-’40 di lagu “Doomsday”. Tidak ketinggalan pula nuansa Hip Hop dan latin yang dipaparkan dalam track terakhir, ”Crash and Burn”. Ternyata dalam sebuah wawancara dengan Aston, beberapa musisi luar, seperti Boo-Yaa Tribe, Rakaa (Dilated Peoples), B-Real dan Sen Dog (Cypress Hill) ikut turut serta dalam proses mixing lagu-lagu mereka ini.

Nuansa gangster jadi malah cantik di album ini. Sejujurnya, cover albumnya mengingatkan saya akan masa-masa keemasan Cypress Hill. Berita bagus, album ini sudah beredar dalam bentuk kompilasi mp3.

TRACK dan sample

1. Not Today
2. Apocalypse Now
3. Gangsters & Thugs
4. What I Can't Describe
5. Doomsday
6. Killafornia
7. American Guns
8. Madness
9. Hit the Fence
10. Pay any Price
11. I Want It All
12. Crash and Burn

klik situs mereka: ++++

Friday, January 20, 2006

Chaos dan Chaos

Mengikuti saran teman, akhirnya tiba juga saatnya untuk menuliskan apa yang ada dibenak saat ini. Puah!

Chaos Theory


Image hosting by PhotobucketEntahlah, saya tidak begitu nyambung dengan paradigma atau wacana tertulis kecuali dari buku-buku filsafat sains, kajian esensi agama, cultural studies. Banyak sumber yang mengatakan bahwa ini merupakan lanjutan skenario kajian filosofis dari lintas sejarah pemahaman spiritual dunia timur, yang pada akhirnya ditransformasikan dalam wahana tekstual oleh kaum pengkaji filsafat. Setelah puyeng dan berbusa untuk memahami gerak lintas sebuah teori tentang gerak maya ini, maka saya berkesimpulan bahwa Chaos Theory merupakan;

1. Sebuah nature tersendiri.
2. Terinspirasi dari analisa gerak dan perkiraan sebuah massa di jagat raya secara fisikawi ( istilah macam apa pula ini) dan matematis.
3. Keteraturan yang muncul dari ketidakteraturan itu sendiri.
4. Sebuah wujud nisbi yang relatif rapuh dalam batasannya. Antara chaotic maupun tidak.
5. Definisi sebuah bentuk dalam gerak yang mengalami ketidak teraturan luar biasa.
6. Saya sendiri bingung.

cek bagian ini: Chaos

Splinter Cell: Chaos Theory.

Salah satu game tersukses dalam 3 tahun belakangan ini. Selain didukung cerita yang menarik,game ini merupakan transformasi dari serial Splinter Cell yang ditulis oleh Tom Clancy, penulis novel bertemakan perang dan spionase terkenal. Game ini merupakan kisah tentang misi mendebarkan dari seorang Agen rahasia NSA, bernama Sam Fisher yang sangat lihai dan jitu dalam membunuh, dalam upayanya menyelamatkan ... dirinya sendiri, bukan NSA dan pula Amerika. he he he

Image hosting by PhotobucketSerial terakhir dari game ini adalah yang bertitel : Chaos Theory. Mengambil setting di Jepang, Cina dan Korea Selatan, game merupakan mata rantai dari kelanjutan konspirasi internasional untuk menggulingkan pemerintahan di negara-negara berkembang dan yang sedang dalam pengembangan senjata hulu ledak nuklir. Seri sebelumnya, Pandora Tomorrow, mengambil setting di Jakarta, East Timor serta gorong-gorong bawah tanah di Paris, Perancis.

Bagi penggemar game third person view, ini merupakan salah satu acuan wajib untuk mengukur kadar kemampuan grafik adapter komputernya. Kalo memori dan prosesor kuat, kemudian bajakannya bagus,rasanya sayang melewatkan game ini begitu saja.

Chaos Metal

Metal. Musik metal merupakan artefak terpenting untuk catatan revolusi pembangkangan nilai normatif dalam bermusik sepanjang 30 tahun terakhir ini. Cari saja sumbernya di wikipedia. Chaos metal, rasanya tidak pantas dialamatkan dalam hal ini. Metal memang telah menunjukkan reaksi pembangkangan semenjak dahulu kala. Dalam sejarahnya, metal melahirkan sebuah gaya hidup, Punk. Mungkin bagi saya, Punk lebih tepat mengalamatkan dirinya kedalam keterpurukan musikalitas, hidup dan anarkis sebenar benarnya.

Bagaimana bergaya partisan Metal itu? Gondrong, mengenakan jaket kulit, jeans ketat hitam-hitam, tangan di penuhi asesoris gelang kulit dan tatto. Mengenakan kaos hitam bertuliskan dari King Diamond, Necromancer, Morbid Angel, Bathory sampai generasi metal jaman sekarang; Probot, Chimaira, Avenged Sevenfold dan Mastodon.

Image hosting by PhotobucketMetal adalah genre yang mengafiliasi kepedulian terhadap yang tertindas, nihilis dan kritis. Anarkis merupakan sampingan. Bagaimanapun juga selalu ada avant gardis yang mengilhami perkembangan musikalitas setiap masanya. Dengan dibarengi Sex dan Drugs, sampai akhirnya mengelaborasi dengan ritual satanic dan tema-tema great war di negeri antah berantah dan kemudian kembali dalam performa kritis tentang ketimpangan sosial. Sejujurnya Metal memang dilahirkan untuk selalu berontak dan tak akan pernah patuh terhadap generasi yang lebih tua darinya.

No komen buat yang namanya Hip metal atau Nu metal.

Thursday, December 29, 2005

Selamat Tahun Baru 2006

Penghujung tahun 2005, sudah didepan mata. Hitungan jam akan membawa diri kita masuk ke dalam suasana dan beban psikologis baru (yang secara faktual sih sama saja, cuma berbenah untuk menggulung kalender 2005 dan setting agenda di PDA). Biasanya saya tidak pernah peduli apakah itu mau pergantian tahun dipercepat sampe lebih cepat 2 kali lipat pun atau diperlama dan diundur kalo tahun baru jadi 31 Januari sekalipun, yang namanya tahun baru cuma ganti kalender saja. Karena semenjak dulu saya paling malas memasang kalender.

Ah, semoga tak terjebak sama kaleidoskop di TVRI dahulu. Yah.. namanya juga masih penganut faham calendar Gregorian, 1 januari awal segalanya. Namun lain halnya tahun baru faham lain,seperti tahun baru China, Cambodian, Islam, Hindu, Sunni bahkan Iran. Unik dan berbeda beda, tapi ya itu, intinya tetap saja sama, merayakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, hingga secara psikis orang akan terpikat untuk mendapatkan dan menerima tantangan terbaru, baik buruk atau baik.

Lucunya, walau ini sudah biasa kita dengar, seringkali ada yang menggunakan momen tahun baru untuk mabuk sampai batas maksimum dan hedon gila-an sebagai ritual mendatangkan rezeki di tahun selanjutnya, atau malah ajang melakukan having sex. Ah mending nanya Mama Loren buat hal itu.

Begitulah akhir tahun diselingi berita dan kejadian yang unik, lucu menyebalkan dan sangat berkesan. Apakah itu patah hati, gaji naik, dapet tawaran naek haji, jadi pecandu sop dan gulai kambing, keuangan naik turun, ribut besar di kantor, bah!, sampai romantika ecek ecek yang gak jelas. Apalagi berita heboh akhir tahun tentang salah kaprah tentang new age spiritualism sama boraks dan formalin di mie bihun yang sempat saya makan, dan dengan sukses sampai sekarang sewot dan berdoa semoga tidak kena yang namanya penyakit - ingat rumah sakit itu terkadang jahat, sobat! dan sekali lagi Selamat tahun baru buat teman-teman semua :)

Semoga tahun 2006 lebih baik .... dimanapun deh baiknya.

Thursday, December 15, 2005

Duchamp

Seni dalam prosesnya memang membutuhkan tokoh, namun perjalanan seni memunculkan gerakan-gerakan seni rupa yang nyaris bergerak sendiri, walau awalnya dijalankan dan dipopulerkan oleh para pendiri dan pelopor. Mungkin, tanpa adanya sosok pelopor di dalam gerakan seni rupa apapun, sebenarnya perjalanan wujud seni rupa hanya membutuhkan waktu untuk berubah. Dan sang pelopor, adalah orang yang mempercepat akan hal itu. Orang mafhum akan sosok Picasso, Dali, Christo sampai Affandi dan Sudjojono, merekalah yang menggerakan poros perubahan visual sebuah perupaan. Namun mengingat selalu ada sisi kontra dalam segala hal, dan ada yang disebut sebagai ujud tandingan yang menciptakan pemahaman baru tentang seni, bahwa seni seharusnya tidak berindah-indah, bahkan sinis terutama, untuk itu terimakasih diucapkan kepada sebuah nama :

Marcel Duchamp (1887-1968).

Image hosted by Photobucket.comPublik seni rupa mengenalnya sebagai pendobrak aturan baku yang menyatakan : Perwujudan Seni sebagai Anti Seni. Karya-karyanya dipenuhi oleh penyangkalan dan penggunaan material massa/populer sebagai hasil akhir kekaryaannya. Elemen-elemen karya seni rupa, (lukisan, patung, galeri,proses ide dan imajinasi) cenderung berjarak dan dikultuskan, pada akhirnya luluh dalam wujud yang dangkal, banal dan sangat biasa, namu mampu menaklukan stigma kuat galeri sebagai ujud museum yang sangat sakral saat itu. Duchamp menggambari reproduksi lukisan Monalisa dengan kumis (aha!), dan menawarkan estetika roda sepeda dan mesin pembuat kopi dengan memajang langsung rodanya di dalam galeri . Penolakan demi penolakan, penyangkalan demi penyangkalan. Duchamp dan kelompoknya, menolak pranata sosial sebagai jalan tengah kompromisasi seni dan masyarakat. Dan secara moral, sama dengan para koleganya, semburat orgasme di atas panggung pertunjukan performances art menjadi sah dalam kacamata mereka. Sama halnya dengan ucapan yang bertentangan dengan kaum avant-gardis bahwa seni lukis sudah habis di era tersebut (1920-an).

Duchamp telah menampar khasanah itu dengan meletakan urinoir dalam gallery dan mentahbiskannya sebagai sebuah karya seni, dengan nama samaran R.Mutt, karya itu sukses membuat publik dongkol dan kecewa ( Fountain, 1917). Kesenian sejujurnya adalah representasi masalah dan realita yang kongkrit. Wujudnya adalah sebuah antitesa dari wujud seni itu sendiri. Filosofi tentang nihilis yang kelak melahirkan gerakan nyleneh yakni Dada, Surrealism, kemudian menjadi lebih serius dalam format modernisme, figuratif hingga akhirnya Pop, bahkan sampai saat ini Kontemporer, retro dan post-mod. Dan 60 tahun kemudian negara dunia ketiga perlahan-lahan membebaskan pilihan akan haluan perupaan dalam konteks yang lebih beragam akibat pengaruh percepatan global, sosial, politis maupun gender. Seorang Arthur C Danto, pernah berujar jika ujud seni saat ini laksana seorang anak buruk rupa yang lahir dari keluarga glamour di lingkungan mewah. Seni menjadi labil dan jauh untuk dinilai secara sederhana dalam kacamata apapun. Seni secara ujar-ujar sudah tak membutuhkan posisi yang tinggi laksana menara gading untuk menganalisa apa yang ada didalamnya. Seni cukup dijabarkan dengan sederhana dan langsung.

Image hosted by Photobucket.comItu adalah pranata lawas yang sejatinya layak diingat. Kaum akademis akan habis-habisan membobol periode nyata keadaan masa lampau pada rujukan teoritis yang terkait didalamnya. Dan kaum praktik, mengetengahkan dunia yang lebih representatif akan makna sosial. Pada akhirnya seni berucap dalam media yang sejalan dengan pencapaian apresiasi dalam masyarakat modern sampai sekarang. Ucap-ucap dan semburan filosofis yang berat dalam muatannya sekarang menjadi sesuatu yang sangat beragam, sublim dan netral, tergantung bagaimana kita menerimanya.

klik: ###

Friday, December 09, 2005

Game : Sebuah Revolusi Provokasi Imajinasi

Definisinya kira-kira seperti ini;
Game1 —n. 1 form of play or sport, esp. a competitive one with rules.

Sampai saat ini, teknologi telah memungkinkan terobosan besar tentang media imajinasi yang saling terkait dengan interaksi. Game merupakan salah satu artefak abad 21 yang telah menghasilkan pemahaman besar tentang nilai spirit juang dalam sebuah daya interaktif buatan. Abad teknologi telah menciptakan peradaban terpenting dalam hidup manusia, manusia menciptakan ketidak pastian interaksi kedalam suatu dunia buatan. Game saat ini, telah berkembang menjadi industri, struktur dagang dan infrastruktur produk yang dibayangi oleh upaya memenuhi hasrat persaingan dalam diri manusia (modern) (game peperangan seperti Doom, Painkiller, Wolvenstein dll ), kekuatan (God of War, Halo2), teka teki dan petualangan (Prince of Persia: Warrior Within), kuasaan (Blietzkrieg, Rome Total Empire), hasrat maskulinitas dan kekerasan (Max Payne), libido (Leisure Suit Larry) , keingin tahuan hasrat memperindah secara fisik (beauty oriented), Horror dan kekerasan (Cold Fear, Silent Hill, Manhunt) hidup ideal, keinginan untuk yang tercepat (Need for Speed Underground: Most Wanted)dan tangan-tangan sang Pencipta (the Sim), sampai keinginan terdalam untuk merusak tatanan ideal dalam masyarakat (depraved desire) , lihat game seperti Grand Theft Auto. Dengan kata lain, imajinasi tentang kuasa diri manusia dalam apapun merupakan fantasi terdasar dalam perkembangan Game. Skenario untuk menjadi ‘robot’ dalam dunia yang tidak nyata. Dan memang ada produser yang memproduksi dan menjajakan mimpi tersebut.

***

Game sejatinya adalah permainan. Yang membutuhkan lebih dari seorang untuk menghasilkan interaksi yang terkait dengan apa yang ingin disampaikan. Muatan selanjutnya adalah pemecahan masalah, solusi dan interaksi manusia. Namun perkembangan selanjutnya adalah hawa teknologi. Yang memang tak bisa dipungkiri.

Game adalah kaki tangan produk elektronik dan nilai dagang (lihat produk seperti Sony Playstation, Sega, Atari, Nintendo), produk yang memfasilitasi tempat untuk meliberalisasikan kekerasan, persaingan dan rasa kompetitif dalam diri manusia. Game bahkan dapat menciptakan ketergantungan, kebutuhan dan kehilangan dengan interaksi sosial sesungguhnya. Manusia memang makhluk masyarakat yang memiliki jaringan, kebutuhan dan tatap muka sebagai nafas dinamika kehidupan. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi, game (media) secara perlahan mengambil alih hal tersebut, dan mengintegrasikan kepentingannya dalam dunia virtual. Banyak hal postif maupun negatif yang dihasilkan oleh media ini. Selayaknya sebuah ideologi, yang dimampatkan dalam wujud bentuk dan bisa mengeliminasi kepentingan sosial. Media saat ini memang sangat ramah - dan menusuk dari belakang.

***

Permainan semenjak saya kecil, amatlah berbeda dengan saat ini (maklum besar di kampung). Wah rasanya amat kelewatan dan tidak perlu dipertanyakan, membandingkan esensi gobak sodor, layangan dan ketrampilan dalam gamewatch ('gimwot keliling' tarif 200 perak sekali main) atau ke pusat ketangkasan game di pasar-pasar yang banyak diisi oleh remaja-remaja tukang palak uang recehan, untuk dibandingkan dengan ketangkasan menguasai permainan di GameBoy, saat ini.

Waktu dan masa yang telah berubah. Itu mungkin belasan tahun yang lampau. Sekarang kultur menjadi sangat progresif dan populis. Banal atau kedangkalan adalah kedalaman yang sangat lumrah. Nilai relatif menjadi nisbi dan bukan sekedar ilusi belaka. Ketika generasi sekarang asik menempuh intensitas gadget (playstation, nintendo 64, game boy, PC game) dalam usia dini, maka perlahan tapi pasti perubahan nilai dan cara pandang akan sebuah kompetisi dalam diri manusia telah jauh berubah. Untuk menyicipi permainan lompat tali, apakah mungkin masih ada dibenak para generasi muda, generasi dunia virtual saat ini? Realita dalam layar kaca adalah apa yang dipercayai. Manusia hidup dalam memelihara kompetisi, persaingan. Ketika ada etika, agama dan tatanan sosial yang mengharuskan manusia memiliki toleransi dalam hidup, maka endapan terdalam diri, rasa dan saling menguasai suatu unsur dipendam dalam-dalam, demi menuruti hasrat toleransi tersebut. Imajinasi liar dalam penyelesaian masalah diadaptasi dengan kemampuan manusia dimasanya.

Semenjak pertama kali olah daya kecerdasan dan pencarian suatu masalah dalam solusi, dimasa ribuan tahun silam (sejarah permainan), sampai masa digital awal di pertengahan tahun 50 an, dimana manusia mensimulasikan diri dalam citra yang saling terkait dengan wahana dan ujicoba, mode permainan telah sukses menembus batas impian dan imajinasi manusia. Simulasi, yak memang hal inilah yang mendorong manusia memiliki kemampuan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Kemampuan, sampai pada yang yang heroik sekalipun dalam game, adalah upaya memberikan solusi penting.

***

Game adalah alam nyata dalam imajinasi yang dibekukan dalam keadaan sebenarnya. Sebuah realita yang dimampatkan dalam sekeping cd, dvd, dan data digital. Penciptaan kenyataan yang dihantam dengan simulasi dan artefak yang tidak lagi menyisakan ruang bathin untuk lebih menciptakan fantasi imajinasi personil. Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kuasa imajinasi, tanpa mewakili pribadi secara nyata, bersentuhan dengan realita ilusif dalam jaringan. Benar adanya, sudah hilang upaya untuk memelihara persaingan dalam kenyataan. Berganti dengan kenyataan yang tidak nyata.

Generasi yang dalam ke ambang-sadaran atas realita yang tertaut dalam dunia layar kaca amat jauh dengan rentan waktu yang bisa dibilang sangat pendek. Generasi yang setiap 5 tahun mengalami perubahan orientasi. Lebih lambat daripada percepatan teknologi itu sendiri yang dalam kurun waktu bulanan.

Saya sendiri penyuka game, untuk sampai saat ini, rasa-rasanya game adalah candu yang sangat bertolak belakang dengan eksepsi kaum puritan dalam melihat pemecahan masalah etika, moral dan pendidikan. Kemapanan moral suatu sistem, mungkin tidak akan terganggu oleh sekedar dan secuil game, namun percayalah, anak-anak adalah sebuah kanvas bersih yang kerap di isi dengan realita hidup secara mendasar secara perlahan, dan masuknya aspek moral dalam media permainan virtual ini sangat labil dan sangat rentan ....

Apa artinya batasan usia jika bajakan sudah demikian mudah didapat.
Sampai saat ini, saya tidak tahu lagi batasan yang tepat untuk hadir dalam laju perkembangan game ini, kecuali kemampuan hardware yang rasanya semakin kuno, dalam waktu bulanan. Kenapa saya jadi ribut gini???

lihat : EA dan Sierra

*************

Aspek seni dalam game? ntahlah. Bagaimana Aspek Game dalam sudut pandang seni? yang pasti semua sudah dimanipulasi dengan yang disebut CG. Kecuali sebuah karya seni kontemporer tahun 90-an yang cukup terkenal, karya Feng Mengbo, dengan judul: "Taking Mt. Doom by Strategy CD-ROM". Dia mungkin bisa jadi the next Nam June Paik.

cek ini deh : ++)

Monday, November 28, 2005

Jack The Dripper

Cat lukis yang diteteskan (dripping) lewat ujung kuas kering di atas kanvas dan bergerak sesuka hati melintasi batas normatif penggunaan kanvas.

Inilah yang nampak dalam lukisan ini, yang dibuat oleh Jackson Pollock (1912 -1956).

Image hosted by Photobucket.comPollock, telah mendeskripsikan seni lukis yang lebih mengikuti irama hati. Sebuah gaya melukis yang disebut sebagai: Action Painting, sebuah mode aksidental dalam gestur dan irama ekspresi penggunaan leleran cat lukis yang jatuh di atas canvas. Sebenarnya tidak ada yang menarik jikalau sekedar menghayal bahwa Pollock lahir di era sekarang, dan mentahbiskan format digital (penggunaan komputer) selayaknya mode action painting ini. Tetapi itu berbeda, karena yang dibahas disini adalah seorang seniman besar Amerika, yang terkenal karena suatu teknik dan terobosan baru dalam inovasi abstrak dan kemudian menjadi mahakarya penting, dalam era seni sesudah perang. Alkisah perjuangan Pollock berawal dari lukisan figuratif yang dibuat ditahun 40-an awal sampai inovasi dalam mengungkap gaya yang kemudian dikategorikan Abstrak Ekspresionisme, adalah memang sebuah upaya enerjik untuk mencuatkan kebebasan artistik dan tekhnik, dengan ujud tak baku dan memang sangat subtil. Memang terungkap filsafat bentuk, makna dan ekspresi rupa dari sebuah medium, yang dalam hal ini adalah bentuk baru seni lukis abstrak Amerika, sebelum era Pop.

Image hosted by Photobucket.com

Ia memang sukses memberi warna baru dalam perjalanan ’akhir’ dari formalisme seni lukis.

Pollock lahir disaat seni lukis amerika membutuhkan sebuah terobosan di tahun –tahun itu. Simak ucapannya, yang mengatakan keinginan kuat untuk mengekspresikan perasaan, dibandingkan melukiskan perasaan itu. Dengan kata lain, opsi bentuk yang chaotic dan tak ada awal dan tak ada akhir, Pollock memang sukses mengatakan itu kepada para audiens karya-karyanya, tanpa harus memperdulikan penamaan karya yang terlalu sering diberi judul ”Untitled” dan "Number".

Sang bintang dan tokoh seniman terkenal itu akhirnya takluk oleh alkohol, dan meinggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil, di tahun 1956.

Check it dan yang ini.

Thursday, November 24, 2005

Let's Have a War

Ada yang berperang.

Berjuang atas nama satu tujuan.

Sampai mati pun, rasanya tidak rela melihat musuh makin menggila. Mati, mati .. ayo mati demi kemenangan.

Kalaupun mati jangan sampai sia-sia.Titik.

.............................................

Saya baru sadar kembali, ternyata peperangan masih belum selesai. Diam-diam masih menggeliat dan hadir di depan mata untuk terus berlangsung, bahkan dalam eksepsi media sendiri. Perang melawan sesuatu yang nyata. Konsepsi perang memang bisa dituliskan dalam ribuan buku, tapi intinya cuma satu, perlawanan terhadap kedua belah pihak.

Perang di seluruh muka bumi ini, tidak pernah ada yang membawa pada kebaikan atau paling tidak perubahan yang lebih baik. Perang selalu membawa malapetaka, kengerian, duka, tangis dan penderitaan yang berkepanjangan. Apapun alasan yang dikemukakan dan demi tujuan apapun perang tidak dan tidak akan pernah bersifat konstruktif justru sebaliknya ia amatlah destruktif. Perang selalu dan pasti membawa dampak psikologis yang mendalam dan meluas pada banyak orang hingga luka dan trauma akibat peperangan itu sulit untuk disembuhkan bahkan untuk jangka waktu yang cukup lama.

Image hosted by Photobucket.com

Apakah manusia memang ditakdirkan lahir dengan kekerasan untuk melatar belakangi peradabannya?. Sejarah berkata demikian.

Perang memang sudah lama muncul disekeliling kita. Apakah itu terasa secara langsung atau tidak, urusan nurani memang paling kental untuk terpanggil. Mulai dari Mahatma Gandhi sampai Ernest Hemmingway yang tidak percaya dan muak dengan politik, sampai seorang Misno, sang pelaku bom bunuh diri sekalipun, ada rasa kemuakan terhadap representasi politis pihak penguasa yang memang mengibas-kibaskan aroma arogansi kuasa, dan bedanya mereka dalam kurun waktu yang jauh berbeda pula merepresentasikan keyakinan untuk melawan dalam wujud yang berbeda, tulisan, ideologi, novel dan yang terakhir bom!(bunuh diri pula).

.............................................

Saya sadar, banyak kepentingan yang melatar belakangi hal ini. Terorisme, peperangan antar etnis, perang karena perbedaan keyakinan, tawuran anak kuliahan dan lainnya, itu hanya secuil dibandingkan dengan peperangan lebih besar yang melanda belahan dunia lain, dengan alat yang lebih kejam tentunya.

Teror dan untuk melawan teror itu sendiri.

Rasanya banyak yang putus asa, dan berbelok untuk mendukung peperangan dengan harapan sesudah itu semua akan berakhir. Salah besar. Upaya ini malah melahirkan proto-proto baru untuk membiakkan bibit kebencian dari pihak yang kalah. Perang sebagai salah satu jawaban utama, dan untuk itu siapapun bisa memulainya. Dengan alasan jihad semua bisa dibalikkan. Dengan alasan kesucian semua bisa ditundukkan. Dengan alasan keselamatan, semua nurani dan belas kasihan dikesampingkan demi apa yang disebut emas hitam. Semua orang menangis pilu melihat penderitaan nun jauh tak terperi. Dan semua orang ingin tahu apa yang telah terjadi. Sayang hal ini menjadi komoditas media yang nikmat untuk dilahap dan sasaran empuk nilai filosofis bedah opini kemanusiaan. Semua orang turut ambil bagian tanpa mau merasakan penderitaan. Instingtif, brutal tapi nyaman. perang adalah komoditas, jaman ini memang edan, Raden Mas Ronggowarsito mungkin sekarang sudah gatal-gatal ketika apa yang diramalkan tentang ke-edanan manusia mulai nampak ujudnya.

Harapan selalu ada, namun semua kandas melihat kondisi sekarang.

Ketika kekuasaan mulai menindas dan selalu ada gerakan yang merasa terpanggil untuk menghadangnya. Dan ketika segala cara terasa tak bisa dikompromikan, hanya satu kata : lawan!. Sama saja, hal ini muncul karena kuasa dan dialog yang terputus. Kesan heroik, tapi tetap tidak jelas. Untuk mengatakan dengan intonasi kuat, kata "Lawan", yang ada malah anarkis. Arogansi akan selalu melahirkan reservoir potensi terhadap sebuah Perang baru.

Sayang, efeknya selalu salah sasaran. Dan suasana hening damai tercipta ketika manusia terlelap di malam hari. Dan untuk kemudian bernafas di pagi harinya dan untuk bermain dengan ego dan naluri masing-masing. Untuk saling memuji kepalsuan dalam meloloskan birahi kuasa.

Tuesday, November 22, 2005

Conceptual Art

"If you like conceptual art, think about honking." - Bumper sticker, c. 1977 -

Beberapa orang mungkin berpikir jika sebuah karya seni, dibuat memang untuk merepresentasikan tentang suatu imajinasi, suatu jarak dan keterkaitan yang absurd, dan selebihnya lagi, cenderung tidak mengerti.

Untuk itulah gunanya penjelasan. Tapi tentang apa? (omong-omong sudah hampir sebulan ini saya tidak posting di blog ini)

Namun saya juga tidak akan merepresentasikan tentang hal itu, bagaimanapun perbenturan dengan solusi pemikiran khalayak ramai masih ada, apalagi tentang hal ini, seni.

Oh ya,sudah sangat jamak, seni rupa tak sekedar seni lukis, patung, instalasi dan performance semata. Seni merambah ke dalam wujud pemikiran dan wahana pemikiran yang lebih kompleks. Andaikata hal itu bisa dinikmati pun, rasanya kening berkerut dan pemahaman terbengong-bengong oleh visual kompleks adalah layak. Karena dalam hal ini ideal dan hal yang memang ideal nampak dalam sebuah karya seni. Seorang seniman memang selalu dituntut egois, dalam berkarya, sangat.

Walau kerja kelompok sangat penting dan menjadi trend saat ini.

Ok, kali ini saya akan membahas sebuah jenis karya rupa yang telah menjadi trade mark akan apa yang disebut sebagai seni konseptual. Karya-karya ini memang lekat dengan wujud yang cenderung simpel, minimalistik dan biasanya tiga dimensional. Karya konseptual biasanya merupakan sebuah karya yang menyajikan tentang apa yang ada dibalik realita. Dimana realita menyimpan kekhawatiran bagi setiap seniman akan wujud lain yang lebih kompleks.

Image hosted by Photobucket.com
Jenny Holzer, Truisms, 1983, computerized electronic sign

Conceptual Art, menurut beberapa sumber yang terpercaya (hehe), merupakan suatu babak baru (di masa 60-an loh) dalam karya perupaan yang lebih menekankan ide, dibandingkan visual akhir, bagi mereka ini merupakan bentuk penentangan terhadap formalisme yang memang menciptakan wujud ideal dalam perkembangan seni, dan mereka mengusung sebuah gagasan yang menolak mentah –mentah seni sebagai hasil akhir dari sebuah perjalanan ide.

Pada dasarnya mereka memang mengandaikan ’upaya pemetaan’ nilai simbolik suatu wujud, khasanah yang telah lama dilupakan dan menyeruak langsung kedalam nilai yang cenderung nihilis dan minimalis. Sebagai wujud nyata ekspresi sebuah masyarakat barat yang makin dingin dan cenderung terjauhkan oleh teknologi. Dan memang para seniman ini lebih menyeret permasalahan visual, kedalam wilayah yang labil, berat dan dingin dan serta merta menyeret pemahaman terlalu ke wilayah diskursivitas-intelektual ketimbang intensifikasi perasaan seperti indahnya lukisan, menariknya sosok figur dalam fotografi dan patung tembaga yang menggambarkan sosok seorang pemikir, lebih menarik dan meracau akan insight philosophy ketimbang insight aesthetic.

Selama 10 tahun kemudian, perkembangan seni rupa jenis ini memang perlahan buram, dan sejarah seni berubah kedalam wujud yang lebih masinal, dan ide pada akhirnya menjadi mesin hasrat yang telah di kembangkan secara umum dan biasa. Dan kemudian hal-hal yang biasa itu menjadi sesuatu yang eksklusif, ketika dikemas dalam ruang-ruang bersih galeri seni (Pop Art dan Contemporary).

Image hosted by Photobucket.com
Joseph Kosuth (American, 1945-), Clock (One and Five), English/Latin version, 1965, clock, photograph and printed texts on paper.

Secara umum karya ini mengasyikkan, aneh dan cenderung datar, sejurus kemudian kita sudah lupa dengan rumit dan kompleksnya dibalik realita yang (visual yang nampak) mereka tawarkan sesudah itu.

cek : Klik disini

Monday, October 24, 2005

The Incredulity of Saint Thomas (Doubting Thomas)- 1599

Image hosted by Photobucket.com

Whoah ....sekali lagi saya mengulas tentang sepak terjang salah satu pendekar seni lukis Italia. yang di abad pencerahan, sukses menelurkan karya-karya dramatis dengan teknik lukisan chiaroscuro (kontas pewarnaan antara gelap dan terang) dan realistik yang shocking.

Michelangelo Merisi da Caravaggio (1573-1610).

Saya pribadi awalnya hanya mengenal karyanya yang saya paparkan disini, Doubting Thomas. Hanya itu dan itupun masih dalam buku yang sama, The Art Book dari Phaidon Press. Sama halnya saya mengenal sedikit sekali tentang sosok Rembrandt, berdasarkan kuas Rembrandt yang pernah saya pakai melukis cat air dengan hasil yang ...ah memalukan.

Doubting Thomas, berkisah tentang keraguan seorang St. Thomas atas sosok nyata seorang Yesus Kristus dan luka yang dialaminya pada bagian lambung kanannya, sesaat setelah crucifix (penyaliban). Komposisi jenius, pandangan seluruh sosok dalam lukisan yang mengarah pada gerakan jemari St. Thomas, yang menusuk, merasakan kedalam lubang di lambung Yesus, bekas luka akibat tusukan tombak salah seorang serdadu Romawi. Penggunaan realisme yang sangat hidup, vivid dan penolakan idealisasi gaya lukisan di jaman itu. Bagi saya, sensasi dalam reproduksi diatas kertas telah membawa nuansa yang mampu membuat saya merinding takjub, apalagi kalau sanggup melihat aslinya.



Caravaggio, memang sangat terkenal akan kebiasaanya menggunakan model saints dan apostle. Caravaggio secara nyata sudah membawa pengaruh revolusi dalam realisme dalam seni,sesuatu yang sudah sulit untuk dilihat saat ini. Berlanjut kedalam Realisme Baroque, Rococo, Klasik dan hingga kini, Surealisme Modern.

Ah.. bahkan sang priyayi Jawa, seniman lukis nyentrik, Raden Saleh Sjarif Bustaman mungkin termehek-mehek ketika bertualang di Eropa di tahun 18-andan terpengaruh oleh realisme yang berasal dari gaya seperti ini.

Hebat, 500 tahun lebih masih sanggup mencerap sensasi.

check it

Wednesday, October 12, 2005

Judith Slaying Holofernes

Image hosted by Photobucket.com

Saya sangat menyenangi sebuah karya yang terpampang dalam salah satu halaman di buku seni; "The Art Book", keluaran Phaidon. Karya itu berjudul "Judith Slaying Holofernes (1620)". Saya berpikir jika ini memang sebuah maha karya dari seorang pelukis wanita yang besar di era post-renaissance, yang saat itu didominasi pelukis pria, bagaimana dengan ketokohannya kaumnya sendiri, yang bisa dipastikan sangat sedikit diwaktu itu. Di mana hampir jarangnya dan sedikit sekali sejarah seni rupa mencatat karir seniman wanita. Perjalanan waktu dan sejarah seni rupa, kemudian telintas ratusan tahun sesudahnya, untuk menempuh perkembangan selanjutnya dalam mengkategorikan seni sebagai seni yang bermartabat, seni tinggi atau high art yang dibedakan dengan seni rendahan, kepentingan masyarakat banyak dan instan, low art. Dan itulah seni rupa dalam bentuk lukisan, sebagai sebagai salah satu ujud seni yang paling riil saat itu (era paska zaman emas), selain seni patung tentunya.

Secara visual, adegan yang dilukiskan terasa sangat dramatis dengan memanfaatkan unsur temaram cahaya, ketegangan atau rasa hingga teknik yang digunakan seperti pencahayaan secara langsung, chiaroscuro (pengkontrasan antara gelap dan terang). Ini bisa jadi salah satu lukisan terbaik yang menggunakan teknik yang disebutkan di atas, dengan adegan yang dipenuhi dendam, nuansa dramatis dan brutal.

Image hosted by Photobucket.com Dengan menggunakan ide dari sebuah lukisan lawas, kyang juga terkenal, karya dari Michelangelo Merisi da Caravaggio yang dibuat tahun 1598-1599, yang kemudian dimodifikasi oleh Gentileschi, berpuluh tahun kemudian. Tentang kematian seorang jenderal perang bangsa Assiria, Holofernes, yang dibunuh oleh seorang janda yang bernama Judith, dari daerah Bethulia. Daerah yang ditaklukan laskar Assiria. Di tangan Artemisia,kesan memperkuat adegan malah tambah lebih mencekam dan penuh dengan nuansa yang cukup brutal. Benar-benar terlihat kehendak dan keinginan dendam yang tertangkap pada gestur sang tokoh wanita.

Ini bisa jadi sebuah maha karya dari Artemisia Gentileschi (1593 - 1652/1653), yang ternyata sangat terpengaruh oleh dramatisasi perjalanan hidupnya sendiri.

How come?

Saya tak pernah sadar sampai ketika membaca kisah hidupnya sendiri. Pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru lukisnya, Agostino Tassi yang juga rekan seniman ayahnya sendiri, telah menghasilkan perasaan terkucil, malu dan dendam. Hal yang mengakibatkan sebagian besar karyanya mengetengahkan katarsis dari simbolisasi perasaan pahit dan dendam terhadap kaum lawan jenisnya. Dengan menggunakan realisme dan apa yang disebut para kritukus sebagai powerful female protagonists. Realisme yang nampak dan berada di ambang batas pemahaman antara kejahatan dan kebaikan.

Woah! rasanya saya terlalu naif untuk menjabarkan sejarah kebesaran seniman italia di era sesudah renaissance ini. Saya hanya kenal sedikit dari beberapa lukisannya saja. Secara jujur, saya adalah pengagum seniman yang menggunakan teknis lukisan yang menggunakan efek realisme dan dramatis cahaya seperti ini, selain seniman seperti ya Caravagio itu tadi, Rembrandt, Durrer dan lainnya.

link: gentileschi

Wednesday, October 05, 2005

Selamat Berpuasa ...

Dengan segala hormat dan rendah hati ....

"Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan ini dan semoga bagi yang berpuasa, lebih baik puasanya di tahun ini ..."

Maafkan kesalahan saya selama ini :), baik yang tertulis dan ataupun salah ucap . . .

-----------------------------------

Semoga di bulan ini orang sedikit terbuka mata hatinya untuk kemudian sadar dan saling menerima perbedaan positif dan menjalankan apa yang disebut sebagai T O L E R A N S I terhadap segala aspek K E M A N U S I A A N dalam kehidupan ini.

Semoga aja.