Tuesday, September 13, 2005

Busana, kostum, pakaian, baju , kaos, celana bla bla bla

Saya mungkin setuju dengan ungkapan ini; saat ini, ‘pakaian adalah segalanya’, pakaian adalah penampilan dan segala aksesorisnya merupakan pelengkap dari bungkus dari tubuh telanjang. Pakaian memang penting, yang menciptakan pemahaman bahwa yang terpenting adalah penampilan, isi otak nanti dulu. Tapi memang sebaiknya kompromi memang ada, pakaian hancur, otak ada, tapi rasanya gak mungkin juga.

Maaf, jika ada yang kurang berkenan, bagi saya saat ini pakaian memang adalah sebuah sistem tersendiri yang amat sangat terkenal di muka bumi sampai saat ini.

Alhasil, hal ini telah menciptakan upaya untuk sesuai dengan pemahaman tentang pakaian itu sendiri saat ini, dengan berlomba-lomba berkomunikasi satu sama lain dengan berbusana, etika berbusana dalam setiap kelompok yang menciptakan kelas dan makna tertentu. Baik antara pria dan wanita, anak kecil dan anak muda, dewasa dan tua, bahkan ketika meninggal pun, kostum untuk berjalan jalan di alam baka pun masih dipikirkan.

Pakaian memang menyisakan kompromi dalam kehidupannya, kemudian orang mengambil jalan tengah, bolehlah penampilan ala kadarnya, asal bersih dan rapih. Tapi kemudian orang berpikir, karena perut lebih penting, maka berpakaian toh seadanya saja, kami tak butuh pakaian untuk mengenyangkan status harga diri kami. Kemudian ada segolongan orang yang tak mementingkan pakaian, masyarakat dan perut, mungkin mereka orang yang gila, ataupun memang tak mengharapkan kegembiraan material dan duniawi di kalangan pengabdi agama konvensional. Dan akhirnya ada juga orang yang tak menggunakan pakaian selama berlibur di pulau tertentu, mereka adalah kaum Nudist. Atau memang ada yang tidak membutuhkan pakaian ? saya tidak tahu, mungkin memang saat ini masih ada.

Pakaian memang menjadi dewa dalam sebuah sistem sampai saat ini.Pakaian sebagai tanda, dan tubuh didalamnya adalah tanda yang dibungkus oleh tanda.

Manusia sudah lama mengenal konsep pakaian sebagai antisipasi terhadap perubahan cuaca dan ganasnya alam. Dimana semenjak intelektualitas mengalami evolusi, manusia dalam sejarahnya mulai mempercayakan insting bertahan dalam melihat tubuhnya, untuk mencapai aspek ketahanan dalam hidup. Pakaian kemudian memang sebagai representasi fisik, dari perlindungan terhadap cuaca dalam melindungi organ-organ tubuh dan tubuh biologis manusia itu sendiri. Manusia butuh perlindungan dan pertahanan dalam diri sendiri, sebuah cikal bakal antroposentris, dimana manusia memandang diri lebih unggul dari alamnya, dan berlaku seolah-olah penguasa jagat raya. Manusia telah menciptakan evolusi dan pemahaman tentang pakaian sesuai dengan pentas sejarah dimasanya. Setiap Abad dan masa, serta menciptakan definisi tersendiri tentang apa itu pakaian bagi setiap bangsa-bangsa di dunia ini. Bisa jadi, pakaian memang makhluk 'hidup' tersendiri.

Pakaian adalah sejarah jutaan tahun, pakaian adalah perlepasan dari materi, dan umur pakaian mungkin memang telah sejalan dengan usia manusia dimuka bumi ini. Apakah mungkin pakaian nantinya akan berubah fungsi?, sebagai sebuah alat, sebagai sebuah jarak diluar pemaknaan hakikat terdalam dari seorang manusia?. Apakah manusia membutuhkan pakaian sebagai komunikasi dalam ragam pentas sosial? Dengan adanya modernitas, pentas sosial yang digantikan oleh televisi, mall dan beragam informasi, pakaian menjadi ilmu tersendiri yang dikaji oleh manusia dan menjadi tanda yang memperluas tentang struktur yang terkait dengan hegemoni mode, trend, politik, industri, golongan bahkan sampai keyakinan atau agama. Pakaian memang mencitrakan tanda yang tak lagi sederhana seperti dahulu kala. Semenjak diketemukannya metode penggunaan baju dari kulit (berbulu) binatang untuk menghangatkan tubuh kaum Homo Neanderthal, untuk menghadapi ganasnya musim dingin, sampai jutaan tahun kemudian di masa kini, penggunaan bulu binatang sebagai sebuah alat komunikasi tentang gengsi, tanda dan martabat, dan kemudian di masa lalu berperang dengan tombak yang terbuat dari bebatuan sampai jutaan tahun kemudian dimasa kini, masing-masing pelaku peperangan menggunakan rompi dari serat Kevlar untuk melindungi tubuh dari terjangan timah panas. Pakaian saat ini menjadi status simbol, status gengsi, sebuah ideologi yang hidup dimasa modern, bahkan sampai menyeruak kedalam relung wilayah kemanusiaan, bagaimana Martunis, bocah ajaib yang selamat dari bencana Tsunami di Aceh, dihujani hadiah oleh pihak Badan Sepakbola Portugal, karena menggunakan kostum kesebelasan nasional Portugal, bernomor 10, bertuliskan nama pemain legendaris Portugal; Luis Figo. Pakaian memang menjadi sebuah alat komunikasi yang kemudian mampir kedalam pemahaman tentang diri dan orang lain. Bisa juga memang sah jika pakaian adalah harkat dan kesetiaan tubuh yang tunduk pada insting untuk mengeluarkan pemaknaan tentang identitas diri manusia.

Untuk perkembangan selanjutnya, pakaian adalah konsep dari penanda dan makna atas identitas sebuah diri, yang saya sebutkan disini adalah harkat, martabat, status dalam lingkup sosial dan pergaulan. Dan kemudian, pakaian menjadi alat komunikasi, manusia berkomunikasi secara tidak langsung tanpa membutuhkan upaya untuk melakukan pendekatan secara personal. Dengan kata lain, pakaian mencitrakan sesuatu dan nilai dibaliknya, dan ketika melepas baju hingga telanjang bulat pun, manusia menciptakan pembenaran sendiri yang masih mengkaitkan antara seksualitas, pornografi dan kesepakatan bersama sebagai kaum Nudist. Tetap, apapun wujudnya, pakaian telah meninggalkan nilai dan pemaknaan yang hakiki tentang budaya, manusia adalah budaya itu sendiri.

Era yang menyebutkan kebebasan dan modernitas sebagai wahana pikir manusia, menyebutkan dan menciptakan pemahaman pakaian adalah konsep baku antara biologis dan kebutuhan untuk bertahan hidup dengan entitas diri dalam lingkup sosial dan kemasyarakatan. Manusia memang hidup di alam yang berbeda, saat ini dahulu alam adalah sumber utama yang menyakiti tubuh manusia, dan tidak selalu selaras dengan upaya bertahan hidup manusia, sekarang manusia dengan tubuh yang dibungkus beragam tanda dan komunikasinya malah menciptakan perang terhadap alam dan sektor apapun dalam keberlangsungan hidup suatu umat, apakah itu bahan baku tekstil, penebangan hutan, serat organik dan kulit hewan , hasil kerajinan biologis hewan sebagai bahan baku pembungkus tubuh manusia.

Manusia memang hidup di alam yang serba kompleks, sangat padat dan tak terkira dalamnya. Wahana dunia yang penuh dengan gejolak pemikiran tentang modernitas dan posmodernitas yang mencanangkan nilai-nilai ambivalen, tak jelas dan terkadang abjektif. Era pasca-modernisme telah menyebabkan manusia menghadapi dilema dalam menyikapi masalah sebagai teks, sebagai pemaknaan dalam unsur kehidupan. Begitu banyak teks hadir dengan berbagai pembelaan ilmiah, di tengah krisis kemanusiaan yang beragam kerumitannya. Dan memang pakaian telah berubah fungsi dan imajinasinya. Toh pada akhirnya, kehidupan di dunia ini, lebih dari sekedar pakaian pun (saya kutip dari ungkapan seseorang) terkait dengan denyut jantung dunia modern saat ini, degup jantung dunia sendiri kemudian adalah naik turunnya fluktuasi ekonomi dan nilai tukar mata uang, dan posmodern untuk menganalisa fenomena perkembangan makna pakaian sebagai wacana kritis, adalah buku-buku dan diskusi semata.

Toh yang penting adalah gaya, hehehehehe.

No comments: