Thursday, September 01, 2005

Menyikapi Rasisme

Image hosted by Photobucket.comSaya sering mendengar ungkapan seperti ini; " Dasar Jawa lo!", atau malah " Dasar Cina!" (mohon maaf buat teman-teman yang dirinya memang orang Jawa dan Cina, jika tersinggung, ini saya ambil hanya sekedar contoh belaka). Mungkin akan terdengar lucu saat itu diungkapkan sambil tertawa dan ditujukan untuk memuji atau memberi hormat, karena keakraban sering menembus batas etika dan kesopanan kadang kala. Namun apa jadinya ketika, kalimat diatas diucapkan dengan penuh amarah dan keluar dari umpatan mulut sekelompok orang bermata merah dan berpenampilan berangasan? Saya akan malas untuk meladeninya, dan memilih kabur, kalau saya meladeninya, mungkin bisa jadi saya mati dengan kepala pecah, akibat dikepruk. Rasisme kemudian menjadi alasan untuk melakukan tindak represif.

Tersirat perkara penting dalam hal tersebut, yakni Rasisme memang kemudian menjadi alasan untuk menjalankan tindak kekerasan.

Rasisme dalam sejarahnya selalu menjadi hantu ideologi sosial yang menyebalkan dan menjijikkan, sampai sekarangpun, rasisme rasanya masih berupa ketegangan upaya dalam mengucap eksistensialitas diri dan kelompok lebih baik daripada yang lain. Dengan kata lain ini menyangkut persoalan identitas, biologis dan optimasi fisik yang dipandang lewat kacamata perspektif diri sendiri. Dan parahnya itu menjadi faham, diteriakkan tanpa mempunyai rasa malu dengan membayangkan ideologi yang ada dibelakang mereka sebagai satu kekuatan superpower yang mampu meluluhlantakkan apapun yang menghalangi jalannya.

Image hosted by Photobucket.comRasisme, rasanya masih ada sampai sekarang. Semenjak era propaganda NAZI di awal tahun 1920-an sampai kini adanya kelompok haluan keras, dari suporter klub sepak bola Italia, LAZIO yang rasis dan fasis (perlanjutan dari ideologi Musollini?). Namun masih teringat ideologi politik pembedaan warna kulit yang sebenarnya amat sangat menjijikkan untuk diperhatikan. Apakah itu merupakan ucapan umum yang diklaim sebagai wakil sekelompok massa, rasa bangga terhadap wujud fisik dengan memandang orang lain lebih rendah dari dirinya dan upaya menindas bangsa lain, bahkan sampai ucapan keseharian yang jamak dilakukan dalam konteks sosial. Lihat saja, masih ada anggapan bangsa lain yang merasa dirinya lebih besar dan berhak menirukan suara kera ketika seorang pemain sepak bola berkulit hitam bertanding melawan sebuah klub sepak bola internasional, atau yang merasa berbeda dan berhak mendapat perlakuan berbeda dengan masyarakat lain hanya karena dirinya mempunyai golongan darah biru. Termasuk Ethnic Cleanse, di Afrika, Boznia dan lainnya. Bahkan adanya kepentingan yang lebih besar dengan menyelamatkan segolongan kaum kulit berwarna dibandingkan lainnya di daerah yang terkena bencana besar. Sampai bahkan ada yang mengatas namakan golongan beragama (dan notabene orang dewasa) dan merasa berhak menghancurkan sebuah sekolah dasar yang berbeda agamanya dengan mereka? Ataukah rasisme muncul dalam peraturan yang sedianya disediakan untuk kehidupan bernegara ? rasanya kengerian yang lahir dari masalah ini sudah terlalu menakutkan dan menyedihkan untuk didiamkan.

Rasisme memang menjadi cikal bakal untuk melakukan kekerasan. Selalu.

Berubahnya wujud keyakinan menjadi materi, bentuk rasisme, atau aturan ideologi, akan merusak konsep negara demi kepentingan golongan, atau organisasi yang akan menggantikan konsep kehidupan. Keyakinan dan keteguhan iman adalah poses batiniah yang sangat dekat dengan kepribadian universal, yang amat sangat menakutkan jika dimaterialisasikan kedalam ideologi, negara bahkan kelompok terkecil pun, karena kemudian mereka menjadi satu aturan yang ingin diterapkan kesemua hal tanpa memandang perbedaan dan keinginan untuk saling melengkapi atas perbedaan itu.

Image hosted by Photobucket.comApakah rasisme memang lahir karena rasa superioritas yang muncul dai beberapa bangsa maju? ataukah memang karena ketakutan dan sensitifitas tinggi terhadap keberagaman? atau memang rasisme telah diciptakan secara sengaja dan turun temurun guna mendukung pemuasan hasrat sifat terkeji dari manusia?. Keponggahan yang akhirnya mungkin hancur dalam kekuasaan Sang Maha Kuasa, atau malah menelan sang pelaku rasisme itu sendiri. Karma berbicara.

Dalam wujud skala yang lebih global, contoh terpenting, misalnya adalah anggapan dimana Barat harus terus berkuasa sebagai yang dipertuan agung dalam konteks politik, sosial dan ekonomi, sedangkan wilayah Asia (Timur), Amerika Latin dan Afrika wajib tunduk sebagai subordinatnya. Dan polah arogan Amerika yang merasa harus terus unggul dan menguasai seluruh pojok bumi dengan kekuatan militer dan pengaruh dolarnya yang disiapkan setiap saat untuk menopang hegemoni imperialistiknya itu.

Secara sadar, rasisme memang lahir dalam wilayah yang dikategorikan heterogen sebenarnya, memang terkait dan saling berbenturan antara kepentingan yang muncul bahwa konflik masih terjadi dalam menuangkan kepentingan ideologi, dimana memang kita masih mengalami tekanan ideologi dari muatan media yang dicitrakan untuk membentuk superioritas kaum penguasa golongan kapital, yang kebetulan dalam hal ini adalah barat.

Rasanya masih sanggupkah kita menghitung untuk berapa lama lagi bumi ini harus diracuni dengan cara-cara sangat brutal ini?

Image hosted by Photobucket.com Manusia diciptakan dalam perbedaan yang seharusnya bisa saling melengkapi. Bahkan hidup manusia secara fisik sudah dilengkapi oleh rasa dan moralitas. Apalagi cita rasa. Cita Rasa kemudian menjadi suatu logika pembeda yang terpenting antara binatang dan manusia. Bagaimana perilaku masinal dan instingtif dibedakan dalam menjalani kebutuhan untuk hidup yang akhirnya berakhir dalam kepentingan batiniah. Sayangnya selalu ada kebutuhan untuk menguasai wujud lain dan kepentingan kelompok yang telah berubah menjadi upaya menegakkan hegemoni kemanusiaan, peradaban lewat perang dan jalan menghancurkan sesuatu yang menjadi ancaman.

Prasangka buruk atas suatu identitas kebangsaan (rasis) memang belum sepenuhnya lenyap. Prasangka itu masih ada terutama saat ini. Rasanya hanya keteguhan hati dan solidaritas sesama yang akan menghilangkan perilaku prasangka buruk ini,dengan integrasi dan kesadaran akan perdamaian rasanya bukan mustahil, perilaku biadab ini bisa perlahan dihilangkan. Manusia sebenarnya tidak ada yang berbeda, perilaku genetik mereka semua identik dalam DNA. Rasanya kita masih ada harapan untuk melakukannya, bukannya malah menambah-nambah pentas sejarah manusia yang memang sudah selalu diwarnai dengan darah dan pertikaian dalam menyokong peradaban di masanya.

link : klik disini

5 comments:

/ n i k k / said...

mungkin termasuk xenophobia yang bisa menimbulkan rasa benci berlebihan, semacam trauma yang lepas kendali.

"... I loathe, I loathe you. You're sickening." (CRYPTOPSY, Whisper Supremacy; 1998)

wahyudi pratama said...

alahhhh CRYPTOPSY ...... supaya gak rasis mesti punya Ilmu Pangling Rupa !!! ghimana???

Anonymous said...

Pada saya Rasis itu berpunca dari jiwa yang prejudis. Antaranya kerana satu bangsa itu merasakan dia adalah terbaik dr bangsa yang lagi satu..

wahyudi pratama said...

Hi, He :)

Memang benar, bangsa yang suka merasa seperti itu adalah bangsa yang pandir :P

herizal alwi said...

Nice Job
:)