Sunday, May 08, 2005

Bijak dan tidak bijak.

Ini yang terpikir pada saya saat melihat tayangan di televisi tentang sebuah acara yang menampilkan sosok warga kelas bawah yang ketiban untung menerima uang kaget untuk dihabiskan dengan membelikan barang kebutuhan hidupnya. Lumayan besar. Dan lihatlah apa yang sudah mereka belanjakan saat itu.

Saya jadi bingung, terharu juga tidak, untuk kecewa pun rasanya enggan.

Kawasan kumuh di ibukota? di India, toh masih ada Calcutta, kalo di Bandung masih ada Cicadas dan lain sebagainya. Daerah Bedeng di Kebon Kembang, kawasan Bandung Selatan juga sama parahnya.

Saat ini problematika tentang kemiskinan memegang peranan penting dalam perkembangan negara negara dunia ketiga sampai saat ini. Epilog kisah tentang ketergantungan dan potret muram negara dunia ketiga terus menerus beranjak dalam sintesa kemiskinan lingkaran setan. Bukan hal yang nyaman ketika meniadakan dan mengenyahkan pandangan sinikal dalam lingkup proletar. Potret muram, diperparah dengan konstituasi pihak pemerintah dan sistem yang dengan suka cita merayakan ketergantungan akan 'Kapital' dengan harapan besar seperti keseimbangan mata uang, sistem administratif yang lebih dipermudah, pasar dan kebutuhan yang kian luas dan ekonomi yang lebih stabil. Namun sayangnya dalam skema saling menguntungkan ini tak ada belas kasihan dari sistem atas(baca:Negara Kapital) yang mengadakan konsepsi seperti ini. Secara sadar dan tidak sadar belengu ini menciptakan ketergantungan mesra lintah darah yang merangsang kelenjar hidup kaum miskin. Gunnar Myrdal, Hernando de Soto dan lainnya telah jauh jauh hari telah menuliskan berbagai ketimpangan dan kesenjangan kebijakan yang melahirkan keterpurukan serta kemiskinan. Negara dunia ketiga bersuka cita ketika (seolah-olah)keseimbangan ekonomi yang berhasil dan diatur secara sadar dengan kerjasama penguntungan salah satu pihak, yakni negara maju, tentunya. Kita gembira dengan merayakan pesimisme akan lautan asa.

Pahit bukan?

Sosok realita dan potret masyarakat kita dengan jelas, termakhtub dalam opini wacana pemirsa. dan sang audiens, bergumam, ..oh kasihan. Bukan main. Potret ketakberdayaan yang sebenarnya memang ada. Dengan sistem yang luar biasa busuk namun masih mengisi relung relung hati kita dengan aduhai.

Bahkan kita pun dengan tegas (mengutip lirik lagu band HC almarhum, Puppen) dapat dengan enteng mengatakan sistem yang kamu dukung adalah sistem yang kamu benci, benci tapi rindu rupanya.

Mereka sangat tergantung pada nasib dan takdir.

Mereka menyadari telah terjebak kedalam sistem penghisapan manusia atas manusia yang berlaku di dusun-dusun, desa, kota, materi, orientasi dan makna hidup. Untuk selanjutnya apakah ini bakal berlanjut? Simak tulisan Dominique Lapierre (1986), tentang menghadapi kemiskinan dengan kasih sayang, lewat bukunya, "City Of Joy". Mungkin bisa berhasil, namun apakah relevan dengan kondisi sekarang?

Menjadi bijak atau tidak bijak terhadap situasi, ternyata tidaklah gampang, apalagi menyikapi kondisi dan realita saat ini. Ini benar benar ada dan nyata. Menggadaikan ideologi demi uang, mungkin sudah basi, demi harga diri? banyak sekali. Tak ada yang tak kita gadaikan semuanya. Zaman telah berubah.

Hidup rasanya lebih nyaman dengan tidak ketinggalan zaman.

4 comments:

Anonymous said...

aha! sama tuh aku juga nggak terharu ngeliat uang kaget, kecewa jg enggak, pingin dapet uang kaget jg enggak...

biasa aja deeeeeehhhhhh

boit said...

uang kaget ? euuggghhh..
mending ketinggalan zaman kali..
pernah ngerasa enak banget ngga' kalo ngga' nonton tivi? coba sekalikali deh.. :p

Anonymous said...

kalo gw mah terganggu nonton joe millioner. asyuuh teu penting pisan !

nona cyan said...

buat gue yg paling bijak adalah YODAaaa