Tuesday, March 15, 2005

Saya ingin membakar Dep@#*%'s . . .

Saya ingin anak saya nantinya sekolah .... dan saya gak tahu nantinya berapa besar kenaikan uang sekolah buat mereka ...

Menyoal postingan lampau dari beberapa rekan (bertie dan nikk) yang saya maknai sebagai sebagian perhatian dan kecintaan beberapa kalangan terhadap eksistensi pendidikan di negara ini, maka persoalan tentang sekolah menjadi suatu hal yang sangat nisbi. Ada semacam perhatian mulia. Yakinlah bahwa kita semua menginginkan hal yang terbaik bagi masa depan anak cucu kita sendiri, nantinya. Bagi saya sendiri, unsur pendidikan memiliki celah dalam menyiasati arus mutlak keberpihakan 'global' dan modernitas terhadap hidup sampai saat ini.

Sekolah bagi saya merupakan wujud lingkup sosial yang amat baik. Dilema interaksi yang hapus oleh kebersamaan dan keceriaan masa kanak kanak sampai berlanjut ke masa sekolah menengah dan kuliah nantinya. Terus terang, saya merasa sedih ketika pernah mendengar kasus seorang siswa sekolah dasar yang melakukan percobaan bunuh diri karena malu belum melunasi uang sekolahnya yang sebesar Rp.2.500,00,-. Saat di bandingkan dengan uang sekolah 7 digit . . .

Image hosted by Photobucket.com

Seorang Niels Mulder, mengatakan bahwa persepsi negara sebagai penguasa mutlak ideologi bangsa mengakibatkan keseragaman yang tak mencapai hakikat inti dari pada masyarakatnya sendiri. Negara mencoba menciptakan integrasi yang ' terlihat' ajaib. Dengan mengedepankan 'represi'terhadap masalah masalah sosial kedalam wujud penyelewengan individual (!). Yang di jalankan tanpa memperhatikan stabilitas dan elemen lain pendukung kenegaraanya. Begitulah di satu sisi, negara ini dengan kondisi Departemen Pendidikan yang cukup memprihatinkannya mencoba menyusupkan aspek lain dalam pendidikan demi menyelewengkan kepentingan individual,sisi lainnya, negara tak pernah menemukan dimensi sosial yang tepat untuk memaknai dan memperbaharui ulang gaya pendidikan di negara ini. Hal mana yang nampak dari polah tolol para pejabat pendidikan negeri ini yang terus menerus merombak kurikulum.

Suatu impian dan keharusan yang menciptakan sistem, pendidikan, pembentukan kecerdasan yang di selimuti oleh lapisan pekat ideologi marketing. Dan nyatanya, tumpang tindih kesenjangan dan ketidak sama rataan demi taraf masing masing lapisan sosial, yang nantinya di ungkap dalam wujud bentuk dan patrun idealistik tentang pendidikan di tanah air.

Bagaimana mengungkap akan kondisi sedemikian ?, Apakah yang namanya pembodohan masih nampak sistematika kerjanya ?. Kondisi sedemikian semakin di perparah dengan informasi yang mulai mengalami pergeseran makna. Akibat pengaruh luas global(isasi) media tanpa di seimbangkan pencerapan dan pendidikan intelektual mengakibatkan ketimpangan tahap politis dan warna 'keseragaman' yang di anggap ideal tersebut.

Ketika jeritan siswa siswa putus sekolah karena bencana alam di Aceh, apakah hal tersebut sudah dan akan terpikirkan nantinya dalam kurun waktu 10 tahun kedepan ? Apakah pendidikan dapat menjadi makna baru yang di redefinisi sebagai obat dan wujud penyelamat epidemi traumatis secara psikis ?. Suatu hal yang kerap kali bersinggungan dengan kepentingan 'yang ini' di dahulukan dan 'yang itu ' nanti saja' selagi sempat.

Dari beberapa hal tersebut, dan mencermati pola lainnya, maka tidak heran nantinya, keceriaan anak anak di masa kecilnya berganti dengan polah kekerasan. Laksana polah tingkah barisan kera besar yang saling berkelahi memperebutkan betinanya di alam hutan. Hal yang berlanjut dengan menyiasati, kecenderungan apatis golongan dan generasi 'X' saat ini yang mulai merasa sekolah bukan lagi segalanya. Namun dilema yang sama di alami dengan lapisan masyarakat daerah, yang menginginkan sekolah yang, parahnya malah di persulit sebagian oknum yang memperjual-belikan instrumen dan fasilitas pendidikan.

Rasanya saya malah berpikir, bagaimana menemukan sistem yang tepat. Pendidikan kultur sekarang telah meninggalkan dan mencoba merengkuh jauh jauh warisan peninggalan pendidikan ala kolonialisme, yang kerap di anggap ideal. Dengan merasa, bahwa tingkat intelektualitas para pelajar di masa kolonial lebih di banding dengan masa sekarang, hal yang justru rasanya menggelikan karena jaman dahulu mereka terpacu dengan ketakutannya akan pola represi kaum kolonial dan idiom sentral tentang standarisasi berpikir gaya 'Asing'. Yang nyatanya berujung pada kelahiran generasi pembangkang anti dari sebelumnya. Yang bagi saya, mereka bukan pembangkang, namun generasi baru yang mengalami polarisasi baku nilai nilai baru tentang berkehidupan. Yang nantinya akan tergantikan kembali dan mewakili representasi jamannya.

Mungkin generasi kedepan berupaya menguasai teknologi informasi sebagai spirit zaman.
Semoga mereka nanti tidak hanya menelan buah dari perselingkuhan cinta segitiga apatis, polarisasi semu nilai nilai kultur dan moral bobrok.

(thks terhadap Primanto Nugroho, Niels Mulder dan Institusi negara yang mengurusi pendidikan dengan cara semprul ini )

2 comments:

Anonymous said...

kayaknya asuransi pendidikan bakal laku banget.
bertie

wahyudi pratama said...

harga pendidikan berdigit digit ...