Monday, March 28, 2005

Menjawab Iklan

Kejadian ini terjadi pada hari Minggu kemarin. Ketika saya membeli koran Minggu di tempat langganan saya. Sang penjual, Pak "XXX", bertanya kepada saya, yang jika saya sederhanakan seperti ini kira kira; " Apa pendapat kamu tentang iklan ?"

Bukan suatu jawaban yang cenderung mudah. Untuk sesaat saya lebih banyak terdiam, dan mencoba menjelaskan secara lebih sederhana bahwa iklan merupakan alat dan juga merupakan suatu strategi industri yang menggunakan elemen sosial. Tak lebih dan tak kurang. Jika menjelaskan panjang lebar sampai mengarah ke dinamika maknanyapun saya bakal malas dan saya sendiri tak paham. Dan saya jawab saja seadanya.

Dan disini saya mencoba menjelaskan secara global saja.

Iklan jika dibahas kedalam milis kritik iklan, dan biro biro lainnya, pastinya melahirkan ribuan definisi dan konsep. Pertentangan, wacana arus konsumsi, gaya dan keadaan yang dimodifikasi sedemikian rupa. Kaki tangan dan kepentingan industri. Korban negara berkembang dengan pencerapan imaji seluas luasnya. Suatu daya tarik dari segmentasi industri. Dan lainnya tentang iklan itu sendiri. Suatu istilah ini sendiri saya sadari ketika saya mulai mengerti bagaimana tayangan televisi swasta hidup dan menjalani dinamika dalam proses keberlangsungannya.

Iklan dalam produksinya dimotivasi kultur pemenang namun tak jadi jaminan. Iklan harus bergulir seperti berita disiarkan atau seperti pentas digelar. Sejauh mana emosi masyarakat terlibat, apakah mampu menimbulkan rasa haru, iba, ngeri atau memanfaatkan mimesis. Iklan di canangkan untuk melakukan pemurnian emosi atau bisa jadi mimesis batin. Masyarakat makin menjadi jadi membenturkan kepentingan fisik dan batin dalam satu wahana yang di industrialisasikan. Komoditas dan persaingan sengit dalam berebutan mengunyah faham modernitas dalam hidup. Yang selalu ter up-to-date.

Iklan ternyata sudah ada dimana mana, secara sadar atau tidak sadar. Pro dan kontra. Membiarkan dan memperdulikan. Kesadaran kolektif dalam kultur 'kota'. Menembus batas dan membiarkan hilangnya kesadaran identitas yang makin lama tercampur dengan dominasi citra dari industri. Semoga saya tak kelewatan, dengan memproduksi 'mimpi', masyarakat ternyata bisa hidup. Bahkan dengan identitas yang terbentuk oleh iklan itu sendiri, masyarakat mempunyai strata baru yang bersifat virtual dengan aplikasinya dalam 'identitas'. Mimpi menjadi nyata, jagad wilayah ini otomatis terbentuk secara paradoks. Mengeruk keuntungan dengan memoles bedak untuk tampil lebih 'cantik'. Tak mengiyakan dan tak menolak.

Mari kita melihat tentang bapak dari segala ini, yakni Kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang mencoba menghasilkan bentuk bentuk komoditas-komoditas, dan secara alamiah pula penciptaan komoditas adalah inti dari praktek ideologi ini sendiri. Kapitalisme, jutaan buku sudah mencoba membahas hal ini sendiri. Kapitalis memang kejam, tapi itulah topeng di wajahnya tak pernah berhenti menyebarkan senyum. Yang memang membius kita semua. Segmentasi dan segalanya tak akan pernah berhenti. Iklan bisa menjadi alat, senjata (sebuah wacana basi tentunya), tapi bisa menjadi tumpuan kajian dan refleksi hidup orang orang pemimpi seperti saya...Ha! :P.

Begitulah, dinamika suatu pergeseran makna terhadap iklan itu sendiri. Jujur saja, wilayah ini terkait langsung dengan cecitraan yang dibangun akan kehendak memaparkan realitas yang (saat ini ) berlebihan. Ada iklan yang bagus, ada iklan yang menarik dan ada iklan yang pasti dudul dowel. Dalam hal ini, konsepsi tentang iklan itu sendiri telah dibangun semenjak arus industri pertama kali dimunculkan. Iklan merupakan wahana refleksi kepentingan yang didalamnya terdapat berbagai macam kepentingan gender, pembentukan identitas tubuh, kepentingan maskulinitas dan kecantikan, ini baru sedemikian. Yang ini saja jika dikaji, mengarah pada citra tubuh yang dibentuk dengan negara ini (baca : Indonesia), standarisasi kepentingan pasca atau post-kolonial. Ada konsepsi yang di tawarkan secara dualistik. Sebagai wujud percepatan hegemoni globalisasi,dari yang disebut hidup-gaya.

Kompilasi dari hal ini mengakibatkan munculnya masyarakat pasif dan konsumtif. Penjejalan cecitraan yang dilematis tentunya. Pertentangan yang disyahkan dalan satu babak. Babak yang menghadapkan dua sisi, dimana satu sisi menghidupi sektor kreatif dan jembatanisasi dengan masyarakat. Dan disisi lainnya penjejalan isi otak terhadap pembentukan hidup 'sebagai masyarakat ideal' dengan rendengan pola konsumtif dan materi terus berjalan. Ini pula strategi ideal yang mengikuti fluktuasi makna. Arus bebas menjadikan intrik dan polemik sosial di negeri ini amat nikmat untuk dikaji. Rasanya menjaga jarak dan memperhatikan sampai dimana kepentingannya, lebih penting saat ini.

Image hosted by Photobucket.com

Kalau kata seorang rekan, Iklan memang digubah untuk menyenangkan sebagian pihak ..., tapi entah pihak yang mana.

2 comments:

Anonymous said...

iklan itu kan binatang yg bernafas dengan insang. :p

/ n i k k / said...

iklan kok dipercaya...

ckckckc...

iklan itu bekerja memakai mesin bernama invasi-subliminal....