Friday, February 11, 2005

Bias gender dalam posisi kesetaraan

Masalah ini muncul ketika saya melihat gerak dan pola perilaku berpikir dalam media ungkap dengan melihat buku buku yang saya baca di latar belakangi masalah gender.

Saya menilai ada landasan logika hitam putih yang mengarah pada perlawanan secara frontal landasan logis permasalahan gender dengan masih memberikan logika yang senada. Ini bukan sekedar tarik ulur kedalam wilayah yang lebih dalam,yakni feminisme dan upaya membongkar permasalahan di dalamnya. Dimana upaya memandang dan mengangkat sesuatu yang baru menjadi amat sangat ringkih dengan akumulasi logika dan bias kesetaraan yang kerapkali di pertanyakan. Sesuatu yang saya pikir jika di bahas saat ini akan memberi reaksi keras bagi teman teman saya yang berjenis kelamin wanita, dengan anggapan mengungkit terlalu dalam akan politik kesetaraan yang sudah mulai usang di makan oleh dinamika warna hidup dan area kontemporer saat ini pula. Bisa jadi saya akan terlihat seperti mengulur ulur benang dan menautkannya kedalam selubung permasalahan feminisme, yang di bungkus oleh gender dan kesetaraan, namun saya hanya mencoba memaparkan apa dan bagaimana gender itu di mata saya.

Saya kerapkali mendengar permasalahan gender dalam aplikasi apapun selalu berteriak lantang dan “marah-marah”. Menentang superioritas kaum lelaki yang di nyana dari dulu telah mendominasi baik lewat ideology dan pemahaman budaya yang di sosialisasikan lewat agen agen sosial yang cenderung seksis dalam medium dan budaya itu sendiri. Penentangan sepihak yang saya rasa lebih baik di camkan dan di cermati dengan baik. Bahwa sebenarnya mengamati kesetaraan adalah tugas kita semua, saling mengamati dan memberikan takaran terbaik dalam proses epistemik kita. Dimana saat ini amatlah jarang, proses pembelajaran dan penghargaan terhadap konsep androginitas yang nyatanya memang sangat sulit untuk diterapkan. Perbedaan adalah khasanah nyata dan kasat mata. Bukan lagi semacam persamaan dalam kondisi lintas global, kemanusiaan. Tapi mendadak menjadi isu gender ketika salah satu aturan yang dijalankan di pegang dan di utamakan dalam konteks sosial yang cenderung dari sudut pandang negara dunia ketiga, di pegang oleh dominasi kaum pria.

Ketika seseorang berteriak dalam media ungkap seperti contohnya penulisan, novel dan media film, mengungkapkan bahwa politik kata kata dalam mengungkapkan konotasi seksual secara vulgar adalah sah dan biasa, ini mungkin harus di telaah lebih lanjut, dalam konteks apa yang pantas dan urgensi yang tercakup dalam hal ini. Untuk menghindari semacam pendangkalan etika dan proses kritis. Yang saya rasa ini wajar untuk dikaji ulang, sedemikian dan serumit apakah masalah yang di teriakkan sebenarnya ? mengingat konteks lokalitas di kita yang sebenarnya terhitung baru menghirup euphoria kebebasan dalam mengekspresikan pendapat. Lihat saja bagaimana tulisan dan pemikiran Pram (yah standar lah) benar benar sudah dapat dinikmati secara bebas dan orientasi kekirian (yang sering salah kaprah), dapat di susupkan lewat media sosial dan jargon kebebasan gerakan anak muda di kota kota besar. Meredefinisikan system dan ideology yang telah lama dilarang dengan wujud baru yang cenderung menghindarai polarisasi nilai nilai.

Untuk itulah jika kita mengamati media sebagai agen sosial, betapa permasalahan dan wacana seksis yang di tawarkan begitu luar biasa padat dan tak terkendali.Selama TV culture terus bergerak, dengan muatan nilai ideologis, kepentingan komersil yang tak bisa di pisahkan, semakin mengukuhkan bawaan nilai nilai yang bersifat “kelontongan”.

Hal ini tentunya menawarkan suatu wacana pergulatan nilai kritik. Tawaran akan suatu upaya memaparkan apa itu hak dan ekualitas dalam posisi sosial. Ini bisa jadi sekedar semacam solusi tentang apa dan bagaimana gender dapat di adaptasikan secara normal dan bukan lagi penyama-rataan hak dan posisi yang seringkali masih di anggap sekedar angin lalu.

Dan bagaimana pula gender sering di kaitkan dengan area pertentangan hierarki antara lelaki dan perempuan yang masih sering di dengung dengungkan. Suatu permasalahan klasik semenjak feminisitas muncul. Inilah upaya mereduksi hubungan dan dominasi salah satu pihak yang cenderung opresif dengan kehadiran kuasa. Sebentuk permasalahan klasik yang kian lama kian memuncak dalam suatu konteks globalitas hak dan nasib.

Begitulah, masalah ini muncul begitu saja ketika menalar dan melihat permasalahan yang terjadi di dalam konteks lokal. Apa yang saya rasakan ketika mendengar informasi tentang pandangan dan struktur baru yang terlihat lebih “mapan”. Bagaimana ideology patriarchal perlahan mulai berubah. Ideology kapitalisitik yang memberikan ruang gerak yang meluas secara perlahan bagi kaum wanita. Inilah emansipasi, yang di manfaatkan sebagai perluasan wilayah industri dalam masyarakat. Emansipasi di susupkan secara rinci dalam kesetaraan untuk mengaktifkan kesadaran produksi yang mana tak mengenal batasan usia, kelamin dan status. Kesemuanya di tarafkan dalam kesadaran dari struktur masyarakat feodalistik yang kemudian menjadi industrialis kapitalistik. Kesemua batasan di hilangkan dalam penunjang industri tersebut. Sexual dan permasalahan kesetaraan telah perlahan menjadi komoditas, yang makin menegaskan “ke-suara lantang-an” bahwa kesetaraan adalah hal yang paling hakiki dalam hidup dan sosial di masyarakat. Sex yang lebih kepada kesepakatan dan mengesampingkan tabu-isme dalam komoditasnya berubah menjadi mesin pencetak uang,mesin hasrat yang di komersilkan, sebagai sesuatu yang menjadi sumber inspirasi isu isu yang di angkat dalam politik kesetaraan dan posisinya.Sekali lagi pemutar balikan posisi permasalahan dalam hal ini adalah salah satu dari konsep utama hierarki kapitalistik, sama halnya Amerika Serikat mencari dan membuat musuhnya sendiri dengan menegaskan posisi sebagai polisi Dunia.

Anggap saja ini sekedar sekelumit pemikiran, merupakan suatu bentuk kepentingan filosofis dalam sudut pandang perspektif pribadi tentang gender dan posisi kesetaraan itu sendiri.

(saya teringat film " I Shoot Andy Warhol" yang mengetengahkan SCUM manifesto dari Valerie Solanas, walau tak seekstrim itu dan tulisan dari Kris Budiman tentang topik2 seperti ini)

3 comments:

Anonymous said...

...dan Andy Warhol "membalas" S.C.U.M. (Society for Cutting Up Men)-nya Solanas dengan P.I.G. (Politically Involved Girlies)?

-badu

wahyudi pratama said...

hehehehe iya juga bud ....

ini kali yang menginspirasikan berbagai macam ekses atas gerakan ini lahir dan mulai menggeliat kepermukaan lewat seni, sastra dan pemikiran ...

T.G.I.F termasuk gak ya hehehe dan S.H.I.T ... kok jadi singkatan kabeh kieu

Anonymous said...

secara fisik dah beda, cara berpikir pun beda laki2 logis dan kritis perempuan didominasi emosi, bahkan gaya bahasanya pun beda..sampe pusing saya baca tulisan bapak satu ini hehehe..
jadi sebenernya isu gender tdk perlu dibesar2kan..sudah gak jamannya lagi..emansipasi juga kan masa lalu..sekarang perempuan sudah sangat maju banyak yang berkarya dan berprestasi..