Thursday, February 03, 2005

Globalisasi = Bisa Jadi masih Setan Alas

Kenapa tidak ?

Globalisasi seakan-akan dipandang sebagai penghapusan identitas dan batas-batas negara-bangsa sehingga dengan suka cita menyerahkan diri ke dalam pelukan ideologi
baru yang sekaligus dianggap sebagai jimat menuju masyarakat adil dan makmur.

Pemahaman yang berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya ternyata masih menyisakan pemikiran yang belumlah lebar untuk di kaji. Bagaimana Globalisasi itu sendiri menyimpan dimensi pemampatan ruang dan waktu, yang kian lama kian sempit. tanpa kita sadari terseret secara kuat ke dalam wilayah kepentingan " mendunia" ini.

Sebab itu, globalisasi dengan cara atau pola yang tidak berbentuk dan tidak terarah seperti sekarang akan menyulitkan negara berkembang untuk berdiri sama tinggi dengan partnernya, negara maju.


Jenny Holzer, artwork -series-

Globalisasi memperkaya yang sudah kaya dan bikin melarat yang sudah miskin.

Mempersempit jarak dan massa.

Masih dengan struktur dasar narasi yang sama, globalisasi ternyata di lewatkan begitu saja tanpa sadar untuk memahami kebekuan pola pikir penerimaan saja. Bagaimana arus sempit dan ketakutan akan runtuhnya koridor religi dan seni misalnya, yang semakin lama semakin kuat. Batas batas yang tercermati semakin jauh dan semakin masuk kedalam transparasi batasan. Itulah, eklektisisme dan percampur bauran segmentasi elemen sosial dan politis sedemikian kuat.

Ideologi yang dimasukkan dengan liar, kasar dan penuh pemaksaan.

Percampur adukan faham, fashion,ideologi, Seni, budaya dan teknologi merupakan kekuatan yang telah lama di bentuk dan di kondisikan sebagai amunisi yang di tembakkan keseluruh dunia. Menjadi satu bagian dengan siapa yang terkuat memimpin dunia. Dalam hal ini , konteks itulah sesusungguhnya kesatuan global telah menjadi semacam system nilai tunggal, yang harus ditaati, ada proses dominasi sistemik


Jenny Holzer, artwork -series-

Itulah Globalisasi yang sedemikian kuat di tanamkan oleh para pemikir , di kondisikan sedemikian alamiah walau ternyata inilah kolonialisasi gaya baru lewat wahana berpikir dan kolektif.Seperti yang dituliskan oleh Susan George dalam bukunya Republik Pasar Bebas.

Saya tercenung sejenak, hal ini merupakan kekuatan pasif yang harus di nilai sebagai wujud nyata yang kian lama mendesak dan mengubah nilai nilai dari diri sendiri. tanpa saya, kita sadari sendiri arus ini telah lama menghantam tata letak norma dan estetika kehidupan dan barui tersadar belakangan setelah wilayah kritisisime yang lama terbungkam, terbuka lebar.Dalam era yang penuh persaingan luar biasa ini, bukan tak mungkin melahirkan kemungkinan kemungkinan luar biasa yang menjadi penentang dan bibit bibit ideologis baru yang saling menerkam.

Euforia kritis yang saya harapkan tak akan berhenti sampai di sini saja.Secara sadar dan hati hati dalam menyimak dan memaknai hasil berita dan informasi sampai saat ini merupakan wacana kritis yang membangun kesadaran. Lihat betapa buruk dan pekatnya ideologi tentang "Globalisation" dengan sekedar mengetikkan kalimat tersebut di mesin pencari Google.com. Dan betapa banyak arus pemikiran yang ramai ramai melongok kedepan dan menjatuhkan klaim penentangan secara sepihak.

Inilah salah satu bentuk kehati-hatian dan kesadaran untuk lebih mawas diri.

(dari berbagai sumber baik di internet dan di buku buku)

No comments: