Tuesday, February 15, 2005

Evolusi keberpihakan

Apa yang kita lakukan untuk memahami dunia luar serta menerapkan wacana berpikir dalam konteks lokal ?

Ini yang saya pikir bisa di lakukan dalam mengkaji keberpihakan kita terhadap bingkai bingkai kontestual, selain banyak hal lain yang di pakai dan ramai di bahas untuk mengkritisi euphoria kebebasan sosial politis yang cenderung menjamur, dalam karya seni, sastra dan film eksperimental belakangan ini.


Nam June Paik /the Electronic Superhighway, 1990/"Global Encoder"

Lihat bagaimana globalitas memaknai tayangan televisi dan seluruh kaki tangan media itu sendiri, dan bagaimana pula kita lebih berhati hati menyikapi trend dan apa yang ada di sekeliling kita itu sendiri. Kehati hatian yang lebih majemuk.Walau secara sadar kita menggunakan hal tersebut.

Membingkai persoalan yang muncul dan apa yang kita santap sehari hari, visual, estetika, media dan informasinya,serta budaya dan hidup-gaya. Adalah utuh untuk lebih merayakan sikap penolakan dan penerimaan secara bersamaan. Seperti inilah, sikap provokasi yang lebih halus dengan wilayah Kaji Budaya, yang menghilangkan batasan populerisme dalam keseharian kehidupan masyarakat dengan estetika tingkat tinggi sehingga muncul nilai nilai nisbi. Sebagai wujud naluriah manusia, Vica Activa : kerja, karya dan tindakan, maka sepantasnya wilayah kaji sosial tak terhenti dengan sekedar pemahaman saklek akan kondisi perubahan dan dinamika konteks bepikir, terus menggeber dengan oktan tinggi dalam mencapai hakikat esensial hidup yang berpacu dengan waktu.(ini saya kutip sedikit dari pemikiran Hannah Arendt, tentang refleksi kritisnya terhadap etos kerja manusia)


"Helen Against Wall with Door," by George Segal, painted plaster and wood, 38 by 55 by 15 inches, 1987

Ada nilai nilai politis dan agenda sosial yang kerap melintas dalam pemahaman kita untuk mengapresiasikan sejenis penyajian estetika tingkat tinggi saat ini. Sesuatu yang diumbar sebagai pemahaman akan ketertarikan tema dan wilayah “basah” para praktisi, pemikir dan individu sosial dalam mengkreasikan medan “permainannya”.

Ketika ini menjadi sebuah titik tolak akan munculnya skeptisitas dalam wilayah dan area berpikir saat ini. Narasi yang muncul karena titik temu dan nilai jenuh yang kerap kali menghantui esensi pluralisme dalam wilayah lokal. Hanya bagaimana kita secara sadar mempergunakan wilayah ini untuk sekedar “berpihak” dan menggunakan elemen sosial dengan tidak lagi menelan mentah mentah selayaknya pola pikir sederhana segolongan sosial dalam konteks lokal.Dialektika sederhana tentang bagaimana menafsirkan bingkai bingkai keberpihakan kita selama ini terhadap budaya, yang timbul karena arus perubahan.

Mungkin saja ini adalah refleksi kritis atas pemikiran yang menoleh dunia ketiga, kesadaran oposisi yang dualistis. Yakni melakukan kesadaran mengikuti perkembangan internasional dan mencoba menentang pemikiran sama rata dan arus universalisme global demi melakukan kepentingan identitas dan yang satunya lagi melakukan kesadaran untuk mengidentifikasikan diri, mengenali wacana terdalam yang sayangnya tak diikuti oleh kompromisitas.Suatu titik tolak yang saling bertentangan, berawal dari kesadaran yang sama.

Ada baiknya jika kita sebaiknya menentang nilai nilai relative dan nisbi ini. Bukan sekedar akumulasi kekecewaan yang kian menggunung akibat suguhan informasi, hiburan, suguhan dan refleksi wilayah batin sosial yang seperti sampah, junk food,yang cenderung kurang santun dalam mengaplikasikan diri dan kerapkali mendongkrak tuduhan pendangkalan wahana berpikir. Namun apa yang ada di balik itu, motivasi dan tujuan yang hendak diungkap.

1 comment:

/ n i k k / said...

menolak atau memakai secara sekaligus produk populer entah itu yang disetir mainstream atau oposan memang sudah biasa di masa sekarang. sedangkan ketidakmampuan masyarakat menopang idealismenya sendiri tanpa dibantu referensi yang memadai. idealisme yang demikian walaupun kecil isinya akan sempoyongan, kurang tanggap, dan minim kritisisme, kalo saja dia berdiri tanpa perisai referensi yang kuat. jadi pada hematnya, justru yang konsisten dan berdedikasilah yang akan keluar sebagai pemenang, walau tanpa idealisme secuil pun. dan dia merupakan pemenang di antara mesin penggerus zaman. kaum urban dan pinggiran di kampung-kampung kumuh adalah salah satu contohnya. mereka harus dihargai karena menang dari kita yang kalah ini.