Thursday, February 17, 2005

Republik Orang Gak Punya

Miskin adalah ketakutan.

Hidup berkecukupan, bahagia dan punya simpanan materi sampai tujuh turunan.Dan sudah mati pun ingin masuk surga.

Semua orang punya mimpi yang sama, hidup dalam dunia yang nyaman dan tentram. Semua impian yang saling menautkan ketergantungan akan hidup yang lebih baik. Mimpi yang tidak salah. Dan bermimpi pun tak akan pernah dianggap bersalah.


Kathe Kollwitz,Poverty (1893-94) etching and drypoint

Bam! bagai peluru yang menembus lapisan tengkorak menuju inti otak dan menghancur leburkan jaringan fisik dalam isi kepala sampai terburai keluar dan menyapa dunia. Realita menghantam dengan kerasnya!.

Realita adalah kehidupan yang terkadang penuh dengan konflik,imaji, kelas dan kekerasan.Terkadang pun kekerasan yang terlahir dari refleksi dan luapan moral terbentur dengan realitas. Moralitas terungkap dalam bentuk tekad bathin dan menjadi pendorong paling kuat terhadap tindakan moral. Yang bersumber pada kaidah bathiniah yang terdalam.

Hidup menjadi penuh dengan letupan letupan friksi yang satu sama lain saling bertentangan. Kemakmuran batiniah menjadi jalan akhir dari perjalanan fisik dalam mengarungi hidup. Kekalahan dan kemenangan mereka dalam mengarungi hidup ternyata bukan main luar biasa artistik. Ini menjadi penyangkalan dalam mencapai orientasi kebendaan.Sama halnya dengan perbedaan kelas dalam hidup.Lapisan sosial yang terdiri dari benda dan wujud materi mengesampingkan kebersamaan dan memunculkan naluri terdalam. Ketakutan menjadi miskin. Dan kemiskinan adalah musuh.Ini juga yang membuat sebuah pertanyaan : memerangi kemiskinan dimananya ???

Jurang ketidakadilan terjadi,kesejahteraan rakyat pada umumnya meratap ketitik nadir .Kuasa hasrat budaya masyarakat besar dan kecil.Menjadi konsumtif karena dorongan aksi kapitalistik besar ternyata menjadi pilihan politis masyarakat awam sekalipun.

Dan pada akhirnya, segala bencana dan musibah akhir akhir ini, melempar wujud kemanusiaan dalam empati paling dasar ke dalam dunia yang sesungguhnya.Wujud kemanusiaan tanpa batas. Friksi dalam memanusiakan dirinya sendiri.

Kemanunggalan eksistensial itu ternyata sangat mahal harganya. Maka baiklah tidak ada yang memanipulasinya.Bagaikan mutiara yang sudah hilang, namun kini diketemukan kembali.Kami berhak untuk hidup layak dan lebih layak tentunya.

(gara gara postingan hari ini di blognya pakde kere kemplu neh hehehe)

2 comments:

/ n i k k / said...

Ya: semua orang percaya dan menegaskan bahwa persamaan kondisi identik dengan persamaan hak, bahwa kekayaan dan pencurian adalah istilah yang sinonim, bahwa setiap keuntungan yang diberikan, atau lebih tepatnya dirampas, atas nama keunggulan bakat atau pelayanan, adalah ketidakadilan dan pemerasan.Semua orang dalam hati mereka, menurut saya, menjadi saksi atas kebenaran-kebenaran itu; mereka hanya perlu diajak untuk memahami.

Apa yang meragukan kita ketika diminta jawab terhadap perampasan hak? Barangkali kutipan dari Proudhon di atas tidak banyak membantu menahan kehancuran stratum social.

mokohot said...

http://mokoasik.blogspot.com/


coba di buka

numpang lewat