Tuesday, February 01, 2005

Sepenggal cerita perjalanan menuju Bali + Jean-Michel Basquiat

Sudah Senen rupanya dan tanggal 1 pula, inilah cerita saya di akhir bulan kemarin untuk melihat langsung pameran Jean-Michel Basquiat di Bali, selama 2 hari lebih.

Bersama seorang rekan, Joko Dwi Avianto dan saya sendiri tentunya, mencoba menikmati perjalanan selama sehari semalam dengan menggunakan bus (yang pada akhirnya membuat saya kapok akhirnya, walau seru juga ketika mengidentifikasikan lokasi lokasi penting di tiap kota yang di lewati, yang kebetulan merupakan kampung halaman para rekan rekan kuliah kami dahulu).

Dan maka dari itu, sampailah kami pada sebuah pameran yang berlangsung lewat pembukaan yang bertele tele dengan sejumlah sambutan dan impresi awal yang sekiranya (diharapkan) mengesankan dengan sekedar membahas sisi fenomenal dan kesejarahan pop sebagai embel embel belaka muatan nilai harga lukisan yang mahal saja, maka resmilah pameran dengan tendensi menguak sekelumit jejak seniman pop new york, Jean-Michel Basquiat di buka.

Fiuh . . .euphoria dari keberhasilan memboyong karya seniman pop kelas dunia, Basquiat.

Teng, pukul setengah 9 malam di Darga Gallery, Sanur, Bali pada tanggal 29 januari 2005, pameran ini resmi di buka.

Inilah pameran yang di ketengahkan untuk memperingati kehidupan sesosok seniman yang meninggal karena overdosis di usia 28 tahun, pada tahun 1988, yang belakangan kembali hangat di bicarakan di masyarakat Seni Rupa tanah air, dengan sekitar 15 karya yang di pamerkan baik itu di atas panel pintu, kanvas dan kayu.

Pameran di mulai di lantai pertama yang mengetengahkan proses dan sekelumit visual foto perjalanan karir Basquiat. Bersama Warhol, Keith Harring, in Studio bla bla bla sebagai semacam prolog sebelum memasuki dimensi kekaryaan Basquiat secara nyata.

Jantung saya tergetar, sesaat setelah melihat karya di lantai ke dua, dan menyaksikan jejak sepatu kotor yang masih menempel di kanvas ( hmmm saya gak tau teknik spray yang ampuh buat melindungi lapisan luar karya karya seperti itu dengan hasil yang maksimal dan clean seperti itu ). Goresan kuas, pastel spidol dan cat yang sembarangan dan gambar gambar ‘ancur’ nya. Beautifully make any sense.

Sesosok seniman yang bahkan membuat orang seperti saya mencoba mengapresiasi karya karyanya sejak 7 tahun yang lampau lewat film “Basquiat” yang di sutradarai Julian Schnabel dan “ Downtown 81”yang di sutradarai Edo Bertoglio, sebuah film retrospektif tentang urban dan keseniannya, dengan basquiat sendiri sebagai bintang utama, belum lagi buku buku dan artefak tentang dirinya yang tersebar di internet.

Karya karya nya mengetengahkan sesuatu. Terkadang kasar dan kekanak kanakan.
Betapa kritis dan populis tema yang diangkat dengan ketidak peduliannya terhadap komposisi dalam konteks perupaan yang benar benar menjadikan karyanya amat sangat cool dan liar.

Justru ketidak peduliannya dalam berkarya dan gaya hidupnya, merupakan representasi kepeduliannya terhadap permasalahan yang terkombinasi sesuai berbagai elemen sosial, menyinggung masalah politis, ras, religi, kebobrokan mental, indutrialisasi, dan mengkritisi artworld itu sendiri. Wujud kebobrokan status hierarki masyarakat urban. Seperti yang di ungkapkan lewat jargon Same ‘ol Shit alias SAMO. ( seorang rekan dengan sadar dan terinspirasi untuk mengaktivasi kesadaran sosial lewat karyanya yang meniru secara telak jargon ini - Social Activator Mobile Object )

Karya karya di lantai paling atas, justru mengetengahkan sebuah puitikalisasi yang mengandung visual yang amat sangat menarik, (saya mungkin melanggar ketentuan untuk tidak mengambil gambar karya karya Basquiat, seperti yang di perlihatkan dengan tingkah laku sekuriti yang amat tengil, namun hal ini bisa di atasi dengan menipu gerak).

Karya karyanya di atas panel panel pintu apartemen dan studio ataupun memang berkarya di atas media pintu pun, masih menyisakan kekaguman. Bekas tendangan kaki basquiat yang menembus lapisan pintu pun masih terawat dengan baik dan serpihan kayu masih menempel dengan baik.



Sekali lagi komplektisitas yang lebih luas di paparkan lewat karya karya yang di mix sekenanya tanpa memikirkan komposisi, puisi, graffiti dan goresan kapur yang di perlakukan sama dengan di tembok jalanan kota New York dan dengan di atas kanvas. Seperti layaknya improvisasi liar musik jazz yang kerap berubah dengan pakem standar namun berbeda beda setiap penyampaiannya.



Mungkin juga tidak. Improvisasi dan ketidak harmonisan liar ini malah menjadi keseragaman karya juga ujung ujungnya yang mewarnai dan mencirikan karya karya seorang Basquiat. Dan itu biasa di tiap seniman lewat karya karyanya sampai saat ini.





Namun saya pikir tanpa untuk mengomentari lebih lanjut ada sesuatu peyampaian dan hasil yang di dapat oleh para audiens yang berbeda beda di tiap pameran seni rupa. Baik itu karya seniman yang hanya tahu menggambar ikan dan kuda sampai karya yang kedalamannya sudah antah berantah penyampaiannya.


Ini blog gue wajar dong numpang pasang poto gue ndiri..jangan protes

Begitulah ketika kami pulang pun, ingatan tentang embel embel tentang harga yang fenomenal tentang lukisannya, sambutan bertele tele yang di paksa mencoba mengerti apa yang menjadi pijakan karya sang seniman dan spontanitas sang almarhum sampai kemudian apa yang menjadi urgensi kepentingan Pop-isme basquiat sebagai salah satu literatur penting sejarah seni modern ( Barat ), spontan menjadi semacam memori yang amat indah bagi saya dan rekan rekan yang hadir saat itu tentunya.

Dipamerkan di sebuah ibukota provinsi di sebuah pulau yang mendunia dan terletak di bagian tengah Indonesia yang telah lama menjelma menjadi sebuah halaman belakang negeri Eropa dan Asutralia. Indah dengan alamnya dan masih selalu terbebankan dengan pariwisata yang akan selalu dan selalu menjadi bagian dari itu , dan sayangnya masih mati matian mempertahankan tradisi yang makin lama makin terkombinasi dengan acuan barat yang menghilangkan kebanggan itu sendiri. Menghasilkan pemahaman orientasi seni tradisi semata dan kombinasi kultural dan menghasilkan even even yang kebanyakan gagap menterjemahkan hal hal ini sendiri, termasuk wacana dari pameran basquiat itu sendiri.Internasionalisasi yang keteteran karena tradisi.

Kritisisme yang tak nampak.


-punten atuh Basquiat, karya maneh di oprek ku abdi, All Beef jadi All Beer :p-

Secara keseluruhan hal ini menjadi memori yang cukup mengasyikkan dan jelang tengah malam di pinggir pantai Kuta sambil minum beer sesudahnya.wakakakakaka

Selamat kepada penyelenggara :)

(thks buat Pande, geng yang lagi lagi ketemu melulu di Kebon Bibit eeh ini ada di Bali dan ibu ini)

1 comment:

Anonymous said...

Basquiat was great be he is now dead and no new work.
Now Gregg Griffin at Blah Blah Gallery is the next new Basquiat.