Monday, January 24, 2005
Kriminalitas ( Kekerasan) dan Nuansa Naluriah
senjata yang menarik bagi para pelaku kekerasan
Dunia di kejutkan pada tahun 1910, ketika Perang Dunia Pertama dimulai.
‘Pol Pot telah membantai 3 juta jiwa penduduk Kamboja yang di anggap memberontak. Metode genocide yang pernah di kemukakan dalam disertasinya sewaktu mempelajari politik sayap kiri di Perancis, benar benar di terapkan’.
Seorang rekan pernah berkata, sesaat setelah menyaksikan perkelahian di sebuah pasar;
“ Dalam kesempatan apapun dan kondisi di manapun, semua orang akan melakukan apapun untuk men-zhalimi sesamanya, bahkan dalam tujuan sekecil apapun . . .”
“…Seorang rekan pula kemarin bercerita dalam perjalanannya di Jakarta, menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana perampokan di tengah jalan dengan menodongkan pistol tepat di wajah sang korban, yang syukurlah tidak berakhir dengan korban jiwa..”
“…Dan saya sendiri pernah merasakan dinginnya pisau belati yang menempel di perut ketika mengalami penodongan dan perampokan yang di lakukan beberapa orang di tengah malam…”
Kekerasan adalah istilah yang bermuatan dengan nilai nilai ‘emosi’. Lekat kaitannya dengan agresi, suatu upaya menyerang dan mendapatkan sesuatu dengan kasar dan brutal, terhadap individu lain.
Kriminalitas, di pandang dari sudut apapun merupakan suatu akar masalah sosial, menyimpan penyakit kronis dari ego manusia dalam memaksakan kehendak terhadap sesamanya. Semenjak sejarah manusia pertama kali di ungkapkan dalam aspek cerita Agama, kriminalitas telah berumur sama dengan sejarah manusia itu sendiri. Suatu rasa ungkap terhadap apa yang di sebut sebagai pemuasan nafsu secara naluriah.
ilustrasi dari http://www.christophniemann.com/
Bagai suatu kepentingan yang kerap terjadi, kriminalitas menyimpan esensi penting dari apa yang di sebut sebagai konsekuensi perebutan hak dan pemaksaan kehendak dari apa ayang di maui nya lewat kontak fisik, psikis dan berakibat pada salah satu pihak yang teraniaya atau kalah.
Ada hal penting di mana secara naluriah, kita seakan memiliki apa yang di sebut kepentingan untuk saling menguasai. Dalam hal ini penciptaan tekanan terhadap aspek fisik di luar manusia baik itu rekanan sosial dan benda non manusiawi pun, dapat mengalami hal itu.
Manusia ternyata gampang sekali di bentuk untuk menghancurkan apapun
Dunia dapat di kendalikan lewat kekejaman dan tiran.
Dan ketika sang penguasa terbentuk, maka kekerasan dapat menjadi salah satu cara penting untuk memaksakan kehendak.
Seorang Yasraf dalam bukunya yang berjudul ‘ Sebuah Dunia yang Menakutkan ‘ pernah membahas dengan detil dalam skema filosofis bagaimana kekerasan, horror dan kenikmatan yang terbentuk setelah nuansa chaotic dalam dinamika masyarakat Indonesia saat ini mengarah kepada wujud asli wajah dunia yang menyeramkan – horror mundi.
Prediksi yang jitu jika mengarah kepada apa yang saat ini sedang di rasakan, bagaimana manusia berubah dengan saling menerkam sesamanya demi memuaskan kebutuhan ego dan nafsu menguasainya. Sebuah deskripsi yang jenius dalam mengungkapkan kekacauan dan wajah sosial yang tertutupi oleh euphoria kebebasan menjadi tak terkendali ketika berhadapan dengan kebutuhan akan hidup. Simak bagaimana institusi religi di penuhi oleh dinamika dan gejolak politis ketika institusi negara mengadaptasikan kepentingannya terhadap masyarakat banyak. Bagaimana juga masyarakat telah membudayakan kekerasan secara tidak sadar lewat media dan lingkungan sehari hari .
Hal ini meyakinkan saya jika kebutuhan akan kebendaan dan hasrat ( yak HASRAT !) penghidupan memotivasi orang lain menguasai sesamanya. Hal mana yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat kelas bawah, bagaimana ketentraman sosial satu sama lain timbul ketika ada kelas di bawahnya yang harus rela menjadi penunjang dan alas kaki.
Kebersamaan terhadap masyarakat kecil dalam keberpacuan hasrat akan materi yang salah.
Manusia menguasai sesamanya dan serigala bagi sesamanya, Homo Homini Lupus.
Hal ini menjadi polemic bagi sebagian pemikir. Jika seorang Baudrillard dalam bukunya, ‘ The Perfect Crime’ mengindikasikan kekerasan ini sebagai bentuk atau wujud kepentingan yang mengarah kepada ‘kejahatan’ yang di ciptakan untuk menciptakan kebutuhan, sehingga kekuasaan atau institusi Negara yang mengatur sosial menciptakan kebutuhan itu sendiri untuk menjadi suatu mekanisme umum yang terkait pada wilayah hitam, putih dan abu abu serta nuansa politis.
Alhasil potret masyarakat yang akrab dengan kekerasan ternyata telah menjelma menjadi semacam konspirasi sosial dalam menjadi bahan baku konsumsi psikis dan bathin secara keseluruhan. Ternyata hal yang sama menjalar dalam strata yang sama. Negara negara yang setaraf.realita yang massive. Peleburan identitas Machoistic dalam keseharian dan bukan tentu menjadi sekedar persoalan gender. Suatu hal di mana awalnya konteks kelelakian dalam wacana sejarah di anggap sumber segala masalah . Hal ini telah di wariskan dalam konteks genetis semenjak sejarah manusia awal dalam mempertahankan diri terbentuk.
Lihat, apa kerja polisi tanpa adanya kasus kriminalitas ?Apa yang bisa di liput oleh media untuk mendapatkan berita ? Apa yang bisa terinspirasi untuk menciptakan pertarungan Full Body Contact ? Untuk apa Senapan di ciptakan ?
Dan apa rasanya jika kekerasan dan kriminalitas menimpa diri anda sendiri.
Naluri menciptakan kebutuhan untuk saling menguasai dan memuaskan hasrat itu sendiri.
Kekerasan adalah naluri terdalam yang tak kita sadari akan muncul sewaktu waktu, dan akan menelan dan meluluh lantakkan manusia itu sendiri.
Dalam hal ini keindahan dan ketentraman menjadi sosok anima mundi.
(terinspirasi dari berbagai macam artikel dan buku)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment