Monday, January 17, 2005
Televisi Bertanya dan Zapping Culture ( budaya pencet pencet)
( gambarnya terlalu biasa - sorry -)
Andaikata sebuah televisi dapat berbicara dengan waktu dan keadaan. Dan kemudian berbincang bincang dengan sang pemirsa setia acara televisi yang notabene adalah kita sendiri. Dan tanpa kita sadari Televisi ternyata merasa ikut mempunyai hak untuk menanyakan pendapat sang manusia terhadap eksistensi keberadaannya, itulah keajaiban.
Dalam menuntut haknya, televisi merasa berkewajiban untuk lebih mengutamakan pendapat umum secara filosofis di bandingkan kestatusan dirinya sebagai objek dan benda. Agak berat sebelah memang, namun itulah tetap sebagai keajaiban.
Dan inilah hasil cuplikan wawancara televisi terhadap manusia,
TV : Hai !
Pemirsa : Hai juga
TV : Kami sangat senang berjumpa dengan anda dalam saat ini. Bersediakah anda kembali menjadi bagian daripada kami untuk satu sesi wawancara ? dan menikmati apa yang kami tampilkan ?
Pemirsa : Nanti dulu, ini untuk tujuan apa ? bagi kami kau hanya sebuah tabung kaca yang di transformasikan dari gelombang listrik dan magnetic menjadi semacam ruang virtual yang menyajikan apa yang terjadi di luar sana , di luar objek tubuh kita sendiri. Kami hanya cukup menikmati apa yang kau tayangkan !
TV : Ha ha ha, tapi tanpa kau sadari ketergantunganmu terhadap kami amatlah besar, sadarlah akan hal itu , kau separuh lebih jumlah penduduk bumi ini telah menikmati televisi sebagai kultur dan media terpenting dalam menyajikan informasi. Dan setelah 60 tahun pun semenjak moyang kami di kembangkan dan teknologi dunia internet di temukan, kami tetap ada !
Pemirsa : Mungkin kau benar, tapi yakinlah kau tetap mesin yang di ciptakan dengan rangkaian transistor yang tak hidup tanpa tersambung dengan listrik sebagai sumber enersi kuat yang dapat memberikan apa yang kami butuhkan sampai saat ini.
TV : Kalian tetap mencari logika visual sebagai wujud representasi keingin tahuan alam sadar dan bawah sadar kalian. Tidakkah kalian ingat akan hal itu ?
Pemirsa : Secara jelas kami tergantung dengan kehadiranmu, namun apa yang kami rasakan ternyata sudah menjadi keseharusan dalam mencapai informasi. Percayalah dunia negara berkembang dan maju hampir tak ada bedanya dalam memvisualkan informasi, bedanya hanya pada penyampaiaan dan cecitraan yang di sampaikan. Dan kami selalu ingin lebih dalam apa yang kami dapatkan, informasi dari media yang paling efektif.
TV : Oh Ya ? Jika kalian ingin yang lebih , kenapa kalian menciptakan remote control sejak 20 tahun yang lampau? 40 tahun terlewat di mana kami diharuskan statis dan terbatas dalam menyampaikn apa yang telah kami program dan kalian program. Apakah itu sebagai keragaman hegemoni manusia yang ingin di representasikan secara visual baik rekayasa dan realita dalam pemenuhan keingin tahuan akan apapun ?
Pemirsa : Kami hanya mencoba memilah mana yang baik dan yang benar, kami mencoba menjelaskan cecitraan yang dapat kami terima dengan secara sadar dalam berbagai jalur yang telah di namakan dari angka 0 sampai dengan 99 di remote televisi tersebut, dan yakinlah setiap individu yang menggunakan media televisi sebagai informan aktif, selalu mengupayakan munculnya cecitraan yang baru dan segar sebagai santapan visual dan batiniah.
TV : kalian selalu menekan tombol untuk memaksa kami mengubah ubah cecitraan tersebut. Sadarkah kalian itu telah membudaya ? dan memaksa kalian sendiri untuk tidak lebih konsern terhadap cecitraan di salah satu stasiun televisi yang bekerja keras untuk hal itu ?
Pemirsa : kami punya hak untuk itu , kami berhak memilih mana yang bisa kami terima dan tidak. Kami secara berbeda beda memiliki kadar moral dan filter yang di gunakan dalam kaitannya dengan kemanusiaan dan etika sebagai kesepakatan norma kehidupan. Toh kalian hanya mesin ciptaan kami . . . .
TV : kalian mungkin lebih sebagai pencipta, namun kalian malah memodifikasi kami dengan mengkritisi dan mempertanyakan ulang kehadiran kami dalam skala apresiatif yang kalian terima. Apakah kalian sadar akan hal itu sendiri sebagai wujud keinginan kalian memperoleh progress dalam kesinambungan berpikir dan berbudaya sebagai manusia ?
Pemirsa : . . . . . . .
TV : kami lebih mungkin dapat berperan dalam hal yang konkrit. Kami sadar fungsi kami sebagai sebuah dualitas. Satu sisi kami dapat merayakan konsep akan cecitraan sebagai media dan satu sisi kami dapat menyebabkan kalian terpengaruh dan mengubah opini realita tanpa harus berhadapan langsung dengan sang objek . . .
Pemirsa : Sebenarnya apa maksudmu ?
TV : Berhati hatilah dengan hal itu, kami mungkin secara sadar di bantu oleh elemen media lain dalam hal ini seperti internet, surat kabar, opini publik, perdagangan bebas yang membantu kami menjadi wujud yang amat terjangkau secara ekonomis dan bagaimana kami menyajikan hal hal sampah sampai yang sangat penting melebihi ruang imajinasi kalian sendiri , bagaimana kami dapat membentuk opini publik untuk lebih mengedepankan sensasionalitas ke hadapan kalian di banding esensinya,bagaimana kami menjual mimpi dan dramatisasi dan bagaimana kami memberikan cecitraan gaya hidup dan kami mengupayakan kalian menganggap digit angka di alat telekomunikasi kalian sebagai kurir dari kesadaran hal tersebut akan interaksi dan harapan akan peruntungan, dan kami menyatakan netralitas kami yang semu sebagai alat media massa yang tersambung ke tenaga elektronika, kami menjual suara dan polling untuk lebih mengalahkan nurani dan objektivitas, . . . . kami merasa yakin tayanga di tubuh layer kaca ini dapat meracuni kalian sendiri dan sesaat kami telah menjadi budaya tersendiri dan di anggap sebagai salah satu souvenir penting di abad 20 ini. Kalian telah menciptakan kami dan kami sekarang perlahan mengubah status menjadi pengendali kalian. Secara gampang, manusia tidak dapat terlepas begitu saja dari kami. Dan kami tak akan hidup tanpa kalian dan kalian tak akan hidup dalam konteks sekarang tanpa informasi di televisi.
Pemirsa : terima kasih ….namun kami tidak akan menganggap hal itu sebagai ancaman serius . . . kami tetap menggunakan fungsi anda seperti biasa untuk saat ini dan kami berupaya untuk lebih dan lebih mengoptimalisasikan realitas yang di tampilkan menohok batiniah dan akurasi makna.
TV : ……….sama sama
Kami terperangkap namun kami bahagia.
Untuk itulah kultur visual sebagai informan terdesak dalam keadaan yang sangat genting, untuk lebih vokal dan menyuarakan keinginan menggantikan mata batiniah inderawi lewat apa yang di berikan sebongkah barang bernama televisi.
Sekali lagi menatap televisi dan berulang ulang memindahkan gelombang saluran televisi.
(terima kasih kepada Grundig Piko Supercolor Multifeature yang telah setia menemani saya selama 7 tahun)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
hehehe, gw jadi inget Abang gw si Tyler Durden, di "Fight Club" dia ngomong gini, "We were raised on television to believe that we'd all be millionares, movie gods, rock stars, but we WON'T."
Post a Comment